Sama sekali Vlada tak memedulikan suhu minus beberapa derajat yang kini hampir saja membuatnya seolah akan mati sesak. Ia tak yakin kalau dirinya tak melakukannya saat ini juga, hasilnya akan baik-baik saja. Paris di pengujung musim dingin bukan satu-satunya hal yang bisa mencegahnya untuk keluar rumah. Bahkan, jikapun ada seekor werewolf yang tiba-tiba muncul dan bersiap menerkam dirinya dari arah terdekat, ia tak akan mundur.
Valda kadung berjanji, meski orang yang telah membuatnya berjanji sama sekali tidak pernah ia kenal sebelumnya. Namun, entahlah, dirinya terlalu yakin bahwa seseorang itu tidak akan berbuat jahat terhadapnya, malahan sebaliknya. Dari hasil obrolannya lewat telepon beberapa waktu lalu menegaskan bahwa apa yang dicari oleh Vlada selama ini, orang itu mengetahui semuanya. Maka dari itu ia langsung mengiyakan ketika orang itu mengajaknya bertemu. Ia bukan tipe perempuan yang begitu saja abai terhadap janji yang jauh-jauh hari sudah dimuntahkannya.
"Apa kamu bilang? Aku sudah gila? Yang benar saja," jawabnya ketika seseorang di tempat yang jauh mengajaknya bicara lewat telepon. Seseorang itu sepertinya sudah sangat Vlada kenal.
Vlada berjalan perlahan mendekati tepi Sungai Sein yang permukaan airnya tertutupi salju, sebagian membeku, dan sebagian lagi mulai terlihat mulai mencair. Ia memutuskan pergi dari rumah dengan hanya berjalan kaki, dan tentu saja ia tak bersama Liza. Vlada pikir, Liza terlalu sibuk dengan pekerjaannya, jadi mana mungkin ia mau diajak pergi. Lagian, pertemuan ini sepertinya terlalu privat.
"Aku tak begitu, Ric. Terserah kamu akan mengataiku apa, sama sekali aku tak peduli. Nobody knows who's me. Itu jauh lebih dari cukup. Kamu paham?" Vlada melingkarkan syal merah jambunya yang baru saja melorot. Uar suaranya yang mengeluarkan asap tipis seakan menegaskan seberapa dingin tempat itu untuk saat ini. Vlada sedang berada di luar rumah dalam keadaan cuaca kurang bersahabat untuk sebuah alasan yang tidak bisa ia tangguhkan.
"Aku tahu," ujar Vlada kepada seseorang di seberang telepon. "Paris untuk saat ini bukan tempat yang aman, apalagi menjelang malam. Begonya aku sama sekali tak terpengaruh oleh itu semua. Kalaupun tiba-tiba menara Eiffel dibom lantas jatuh menimpaku, aku tak kan menyesal. Sure, lho, Ric."
Vlada memindai sekeliling dengan harapan ada kursi atau aoapun yang cukup kering untuk diduduki. Ia terlalu lama berdiri, nyatanya harapannya sia-sia. Semua kursi tertimbun lelehan salju. Ia kemudian mendekat ke arah salah satu kursi. Sama saja. Bersalju dan berkemungkinan kalau diduduki celana kainnya akan basah. Vlada menggelosorkan bokongnya di kursi taman yang diselimuti bongkahan salju. Rasa dingin yang mencucuk kulitnya tak ia hiraukan. Malahan ia hampir terduduk di sana kalau saja ia tak ingat kalau pakaiannya sampai basah akan membuat pertemuannya dengan seseorang bakalan membuatmya tidak nyaman sepanjang perbincangan. Ia kemudian berdiri dengam telepon masih menempel di tepi telingannya. Mobil-mobil melaju dengan kecepatan medium. Sementara itu, orang yang lalu-lalang jauh lebih sedikit dibanding hari-hari sebelumnya. Ledakan bom bunuh diri di sebuah toko aksesoris tempo hari di pinggir Sungai Seine berpengaruh banyak atas ketakutan orang-orang.
"Bukannya aku tak takut. Ini penting, kamu mungkin tak akan paham. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengannya," rutuk Vlada dengan kekesalan yang coba ia tahan.
"Ric aku tak butuh ceramahmu untuk saat ini. Mendingan kamu percaya saja bahwa apa yang kulakukan adalah benar. Jangan terlalu takut, aku akan baik-baik saja, Ric. Percaya, deh." Vlada masih berdiri di samping bangku ketika seorang dengan hoodie berbulunya melintas di hadapannya. Vlada mencoba memastikan bahwa orang yang dicarinya adalah orang itu.
"Oke, Ric. Sudah dulu. Salut!," pungkas Vlada seraya melangkah mengikuti orang yang baru saja dilihatnya.
"Monsieur Bastian?" sapa Vlada kepada orang asing itu. Yang disapa menghentikan langkahnya, kemudian membalikkan badan seraya menatap Vlada dengan sorot tidak suka.
"Non. Aku bukan Bastian. Commentvous appelez-vous?"
"Aku kira orang yang kukenal. Excusez-moi," sesal Vlada. Orang itu, yang ternyata seorang lelaki bermata kecil sebelah memperlihatkan ketidaksukaannya. Badannya yang tinggi tegap dan berbalut mantel tebal tampak menjulang di hadapan Vlada yang bertubuh kecil.
"Lain kali, cek dulu sebelum menyapa, Madame," ujarnya masih dengan nada ketidaksukaan. Ia hampir membalikkan badan ketika tiba-tiba seseorang menabraknya dan membuat lelaki itu terjungkal dan mengerang. Vlada terkejut dan menjerit ketika laki-laki itu terjatuh. Ada jeda beberapa detik bagi Vlada untuk merasakan bahwa sesuatu yang buruk tengah terjadi di hadapannya. Sebatang logam terlempar begitu saja dan jatuh tepat di atas kepala lelaki yang baru saja terkapar di atas salju. Sementara lelaki yang menabraknya berjalan perlahan seolah tidak terjadi apa-apa. Vlada yakin, sebelum hilang lelali penabrak itu sempat menatapnya dengan tatapan seolah mengatakan: santai, bukan apa-apa.
Lelaki bermata kecil sebelah itu tampak kesakitan, tubuhnya menggelepar-gelepar untuk kemudian terkapar tak berdaya. Vlada baru sadar bahwa salju di atas tubuh lelaki itu sudah berubah warna menjadi merah. Seseorang yang menabrak lelaki itu telah melukainya, ia yakin itu. Dan benda logam itu adalah sebuah senjata untuk melukainya.
Vlada jongkok untuk memastikan lelaki itu baik-baik saja. Nyatanya tidak. Ia mencoba menyapukan pandangannya kea rah sekitar dan berharap ada orang-orang yang setidaknya bisa dimintai tolong. Nyatanya tak ada. Orang-orang taka da yang melintas di sekitar sana. Hanya beberapa orang yang terlihat berjalan tergesa yang letaknya terlalu jauh untuk dipanggil. Vlada mencoba mencari cara lain untuk meminta bantuan. Telepon genggam. Sial. Lowbat. Vlada memaki dalam dirinya sendiri, pembicaraan dengan seseorang di telepon tadi sudah menguras semua kapasitas baterai ponselnya.
Lelaki itu tak bergerak untuk beberapa lama. Vlada hanya memerhatikannya tanpa bisa berbuat banyak. Ia mencoba berpikir untuk segera pergi ke satu tempat untuk meminta bantuan siapa saja. Nyatanya itu tidak terjadi, sebab ada sesuatu yang tiba-tiba bergerak dari arah belakangnya. Hampir saja Vlada berteriak, tetapi ia tak bisa melakukannya karena dari arah belakang seseorang membekapnya untuk kemudian menarik tubuh kecilnya dengan paksa. Vlada mencoba meronta, tetapi itu hanya sebuah kesia-siaan. Tangan kekar bersarung tangan tebal itu telah berhasil membuatnya geming. Tenaganya tak cukup kuat untuk berontak.
Vladamerasakan pandangannya tiba-tiba mengabur ketika aroma tangan dari orang yangmembekapnya membuat penapasannya sesak. Vlada membaui aroma alkohol yangmenyengat atau sejenisnya. Kepalanya pusing dan ia kemudian kehilanganorientasi. Gelap.
YOU ARE READING
NEXT
Mystery / ThrillerSatu persatu dari mereka mati secara mengenaskan. Vlada menghilang dan diperkirakan meninggal, tapi orang-orang kerap melihatnya berkeliaran di tengah malam. Lantas sepasang tangan berdarah di rumah Liza itu milik siapa? Bukankah cincin yang dikenak...