Perempuan itu berdiri beberapa lama tepat di bawah Arc de Triomphe yang megah itu. Udara masih sedingin dua hari lalu ketika dirinya memutuskan keluar dari dalam apartemennya. Dia sedang melarikan diri. Itu faktanya. Namun, entahlah, dua hari yang telah berhasil ia lewati telah mengubahnya menjadi seorang yang membenci rumah, membenci apa pun perihal rumah, begitupun penghuninya.
Perempuan itu menggumam seperti melafalkan mantra-mantra yang tidak jelas. Beberapa kali ia menggosok-gosok kedua tangannya yang tanpa kaos tangan pelindung untuk memastikan bahwa kedua tangannya masih bisa digerakkan, tidak membeku. Wajahnya terlalu pucat dengan hoodie menutupi sebagian besar bagian kepala belakangnya. Matanya yang sewarna hijau hazel seperti menyiratkan kepedihan yang mendalam. Tatapannya yang kosong melesat terlalu jauh hingga hinggap di bagian atas Arc de Triomphe. Ia mendesah, seseorang melintas di hadapannya lalu berhenti seolah ingin memastikan bahwa perempuan itu sedang baik-baik saja. Seseorang itu seorang lelaki paruh baya dengan mantel tebal panjangnya yang berwarna abu-abu, berkacamata, dengan wajah yang tirus.
"Tu vais bein, Mademoiselle?"
Perempuan itu menoleh dengan wajah sebegitu dinginnya seperti butiran salju yang sedang jatuh satu-satu. Perempuan itu sepertinya tak berminat untuk menjawab.
"Maaf, bila pertanyaanku tak berkenan untuk kamu jawab. Permisi," sesal lelaki setengah baya itu atas kalimatnya barusan.
"Non, Monsieur. Tak mengapa. Je vais bein. Merci," jawab perempuan itu seraya menyunggingkan senyum. Senyuman yang bisa ditangkapartikan lelaki setengah baya itu sebagai senyuman ketidaktulusan.
"Baiklah," jawab lelaki itu.
Lelaki itu hampir berlalu, tetapi setengah detik setelahnya ia menghentikan langkah, lantas menoleh.
"Apakah aku mengenalmu sebelumnya?" tanyanya.
Perempuan itu terperangah. Sesaat terdiam, lantas menjawab, "Sepertinya tidak, Pak."
"Kamu tersesat?"
"Sama sekali tidak."
"Baiklah," pungkas lelaki setengah baya itu lantas berlalu, menghilang di antara benderang lampu-lampu sepanjang Jalan Champs-Elysees. Perempuan itu hanya memandangnya dari balik matanya yang kini tampak lelah. Mungkin capek, ataupun mengantuk.
Perempuan itu masih berdiri ketika malam mulai merangkak, sayup-sayup terdengar dentang bunyi lonceng yang diterbangkan angin dari arah Cathedrale Notre Dame de Paris. Ia menoleh ke arah pulau Ila de La Cite, tempat di mana katedral itu berada. Ia terlihat seperti ketakutan. Tiba-tiba tubuhnya bergetar. Bukan karena dingin sepertinya.
"Maafkan aku, Tuhan," gumamnya. Entah ditujukan untuk siapa. Lantas setelahnya ia bergerak menyusuri sepanjang jalan yang hanya dilintasi oleh satu dua buah mobil dan orang-orang. Cuaca sepertinya lebih membuat orang-orang nyaman di atas tempat tidur hangatnya ketimbang berada di luaran.
*****
Dustin melenguh. Segala sifat keliaran binatangnya barus saja ia tuntaskan, ia begitu menikmati pergumulannya malam ini, hingga tak menyadari bahwa sesuatu yang buruk baru saja terjadi. Ia tak menyadari, kekasihnya, Alona yang baru saja mengantarnya ke puncak sedang merasakan gejolak menyakitkan dalam setiap inchi tubuhnya. Ia mengerang saat Dustin melenguh. Ia merasakan lambungnya serasa terbakar. Ketika Dustin terkapar, ia menggeliat dan bergegas dengan buru-buru dalam keadaan setengah telanjang menuju toilet yang lampunya lupa mereka padamkan.
Dustin terlelap setelahnya sementara Alona di dalam toilet mulai merasakan perutnya seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum. Ia mengerang, menggelosorkan tubuhnya di atas lantai toilet. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya demam. Keringat mengucur deras dari setiap pori-pori tubuhnya.
"Dustin!" teriaknya dengan suara yang tiba-tiba tersa tercekik. Tak ada sahutan kecuali suara dengkuran yang halus dari mulut Dustin. Lelaki itu terlalu kelelahan.
"Dustin!" Alona mencoba, tetapi tetap saja tak bisa membuat Dustin terbangun.
Alona sekuat tenaga mencoba berdiri dengan menelekan kedua tangannya di atas wastafel. Ia merasakan seluruh tubuhnya serasa dikuras lemas seluruh tenaganya. Ia memandang wajahnya di cermin. Ia bisa melihat wajahnya memerah, begitu juga dengan kedua bola matanya. Rambutnya yang keriting tampak acak-acakan tidak karuan.
Alona mencoba berpikir atas apa ang sedang dirinya alami. Ia merasa baik-baik saja ketika Dustin menjemput untuk lantas membawanya ke pesta dansa tadi sore. Tapi kenyataanya sekarang, Alina sedang merasakan dirinya tidak sedang baik-baik saja. Ia merasakan sebuah kesakitan yang mengalir dalam setiap inchi tubuhnya.
"Apakah aku terlalu banyak minum anggur?" tanyanya dalam hati. Tapi ia menyangkalnya kemudian. Ia hanya minum tidak lebih dari dua gelas saja. Apakah itu bisa membuatnya mabuk?
Tidak. Bukan. Sepertinya bukan karena itu. Tapi sesuatu yang lain.
"Atau ...." Alona mengernyit, lantas membelalakan mata. Ia seolah merasa ingat apa yang menyebabkan keadaannya bisa jadi seperti itu.
"Perempuan sialan itu sepertinya," gumammnya kemudian. "Sial!"
Alona memutar kembali ingatannya tentang yang dilakukannya tadi malam, meski kepalanya pusing dan berdenyut hebat ketika melakukannya. Dustin menjemputnya, lantas pergi ke pesta dansa seorang kawan. Di sana Alona bersukacita seperti biasanya, tetapi tiba-tiba ia didatangi oleh seorang perempuan yang mengaku sebagai kawan lama yang sudah lama tak bertemu. Tentu saja Alona tak mengingatnya, tetapi perempuan itu memastikan bahwa ia tidak sedang berbohong. Alona hampir tak percaya, akan tetapi setiap detail cerita yang dilontarkan perempuan itu benar-benar Alona alami. Pertanyaannya kenapa Alona sama sekali tidak mengenal perempuan itu?
Alona berbincang lama dan melupakan fakta bahwa perempuan itu bukan perempuan yang lupa ia ingat sebelumnya. Sebelum perempuan itu pamit pergi, Alona diberi segelas anggur yang perempuan itu bawa entah dari mana. Perempuan itu mengajak Alona sebelum dirinya pergi. Itu yang Alona ingat.
"Apakah...?" Alona belum sempat melanjutkan gumamannya ketika rasa sakit itu memuncak dan membuat dadanya bergemuruh untuk lantas naik ke tenggorokan, lalu mulut. Darah berwarna hitam pekat tiba-tiba menyembur dari mulut Alona hingga mengotori cermin di hadapannya. Alona limbung, jatuh mencium lantai, menggelepar, meraung, setelahnya ia terdiam tanpa daya dengan sisa muntahan darah menggenang di beberapa bagian lantai toilet.
Dustin masih terlelap. Ia tak tahu sama sekali dengan apa yang terjadi dengan Alona, kekasihnya itu. Walau sebenarnya Alona bukan benar-benar kekasihnya.
YOU ARE READING
NEXT
Mystery / ThrillerSatu persatu dari mereka mati secara mengenaskan. Vlada menghilang dan diperkirakan meninggal, tapi orang-orang kerap melihatnya berkeliaran di tengah malam. Lantas sepasang tangan berdarah di rumah Liza itu milik siapa? Bukankah cincin yang dikenak...