BAGIAN 4: WHERE'S VLADA?

2 0 0
                                    

"Bukan Vlada," ujar Alex sekeluarnya dari ruang forensic. Di hadapannya, dua orang sedang duduk menunggu dengan resah.

"Maksudmu, Lex?" tanya salah seorang dari mereka, yang ternyata Eric Alvaro.

"Dari semula aku sudah tidak yakin kalau sepasang tangan itu milik Vlada," ujar Alex seraya duduk di samping Eric, sementara di sisi lain, Liza sedang menatap penuh selidik Alex yang kalau dilihat sepintas tampak terlihat menyiratkan raut kelegaan.

"Maksud kamu, Lex?" Kini Liza yang bertanya.

"Itu BuKan tangan Vlada. Aku sudah meyakininya semenjak polisi memperlihatkan sepasang tangan itu. Dan tentu saja aku sangat meyakininya, meskipun, seperti yang kamu jelaskan bahwa cincin yang tangan itu kenakan jelas-jelas cincin yang pernah kamu berikan, Ric. Semula aku begitu sedih dengan kenyataan bahwa cincin yang dipakai itu milik Vlada. Namun, setelah aku cermati dengan saksama, Vlada tidak memiliki jari manis sependek itu, dan mungkin kamu tidak menyadarinya Ric. Dan itu hanya aku, kakaknya, yang mengetahuinya. Jari manis Vlada jauh lebih panjang dari jari tengahnya. Itu faktanya, makanya aku begitu yakin, meski dari berbagai sudut sepasang tangan itu benar-benar mirip tangan Vlada: kontur permukaan kulit, warna kulit, bahkan jari-jarinya sama persis. Hanya saja, insting seorang kakak menyatakan bahwa itu bukan tangan milik adiknya," jelas Alex. Eric sedikit terperanyak. Betapa selama ini ia melewatkan detail kecil yang dimiliki oleh kekasihnya.

"Let me guess?" ujar Liza. "Dan hal kecil itu menguatkan asumsimu bahwa itu bukan Vlada? Bisa saja karena satu atau lain hal jari tengah Vlada tertekuk saat kejadiaan, hingga letaknya seolah menjadikan jari manisnya jauh lebih panjang."

"Semula aku pun berpikir demikian, tetapi penemuan lain semakin menegaskan bahwa itu bukan Vlada."

"Ada ciri lain maksudmu, Lex?" tanya Eric.

"Ya. Tentu saja."

"Ciri apakah itu?"

"Tidak ada tahi lalat di telapak tangan kiri tangan itu. Vlada memilikinya meskipun itu hanya berupa titik serupa noda tinta," jelas Alex lagi.

"Ya, ampun. Sebegitu detailnya kamu sebagai seorang kakak? Salut aku padamu, Lex," ujar Eric.

"Bagaimanapun, kehilangan kedua orang tua semasa kanak-kanak, membuat kami lebih banyak menghabiskan waktu bersama. Detail sekecil apa pun kami saling mengetahuinya."

"Kalian hebat," tambah Liza.

"Bukan hebat. Lebih ke saling memahami satu sama lainnya."

"Dan aku sebagai kekasihnya bahkan tak seperti itu," sesal Eric.

"Tak ada waktu untuk menyesali," ujar Alex seraya menyentuh pundak Eric untuk menguatkan. "Ada hal lain yang harus kita lakukan dan itu tak bisa kita abaikan."

"Ya, aku tahu, Lex. Mencari Vlada."

"Yup. Kalian punya ide? Tempat pertama yang harus kita datangi?"

"Menara Eiffel," jawab Liza yakin. "Vlada mengatakannya sebelum ia hilang."

"Baiklah. Kalian bawa mobil?"

"Liza yang bawa," jawab Eric.

"Tak ada waktu untuk mandi dan makan siang. Kalian siap?"

Eric dan Liza mengangguk hampir berbarengan. Mereka segera bergegas, sebelum waktu benar-benar mempersulit pencarian.

Alex Abada adalah satu-satunya saudara kandung yang Vlada punya. Meski mereka tinggal sama-sama di Eropa, jarak yang membentang memisahkan keberadaan mereka. Vlada di Paris, sementara Alex tinggal di Warsawa. Semenjak kepergian mereka meninggalkan Indonesia, mereka kerap berjanji untuk saling menjaga dan saling memperingati. Sayangnya, pekerjaan membuat mereka pada akhirnya harus saling menjauh.

NEXTWhere stories live. Discover now