BAGIAN 2: RED BLOODED HANDS

5 0 0
                                    




Eric mendengus sebal. Ia sama sekali tak percaya bahwa Vlada akan sekeras kepala itu. Ia tak yakin bahwa apa yang sedang dilakukan Vlada di luar sana adalah penting.


"Perempuan itu memang keras kepala, Liz. Sudah kukatakan berulang kali, bahwa seseorang itu hanyalah orang asing yang bisa saja hanya seorang psiko yang sudah menandai korbannya. Kalau saja aku tidak sedang dalam perjalanan sudah kuikuti ke mana perginya perempuan itu," terang Eric.


Liza yang baru saja tiba dari tempat kerja ikut mendengus sebal. Bukan, bukan sebal atas kepergian Vlada, temannya itu, melainkan sebal atas sikap Eric yang tiba-tiba muncul di apartemennya dengan langsung melontarkan keluh-kesahnya perihal Vlada. Liza baru saja selesai dengan kepenatannya di tempat kerja; data-data yang salah diinput membuat Liza harus tertahan beberapa jam di kantor sementara keinginannya untuk segera tidur begitu menggebu. Semalam, bersama Vlada, dia habis berpesta sampanye di rumah salah satu sahabatnya. Mereka mabuk, dan hampir kesiangan berangkat kerja kalau saja Liza tidak sadar kalau boss-nya di kantor sudah mewanti-wanti bahwa hari ini meeting dengan klien dan staff direksi dimajukan. Vlada tak terlalu bermasalah, ia hanya seorang pekerja paruh waktu di salah satu penerbit mayor Paris, sebagai penterjemah novel-novel Prancis ke bahasa Indonesia.


Alih-alih bisa memejamkan mata dengan leluasa, Eric muncul dengan segala kekesalannya. Tanpa basa-basi langsung mencecarnya dengan pertanyaan : Bagaimana kabar Vlada? Sudah pulangkah dia? Apakah kamu sudah meneleponnya? Dan bla-bla-bla lainnya.


"Jangan terlalu dipikirkan, Ric. Vlada sudah bisa menjaga diri," terang Liza seraya membenamkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan masih mengenakan stelan kerjanya. Tas kerja, laptop, dompet berserakan di atas meja riasnya di sudut dekat pintu kamar, sementara Eric berdiri di bingkai jendela kamar dengan sesekali memanjangkan lehernya keluar. Ia tampak resah, beberapa kali Eric melirik jam di pergelangan tangannya, kemudian mendesis.


"Bukan begitu. Dari kemarin firasatku tidak enak. Aku tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Vlada." Ada raut kuatir pada wajah Eric, matanya yang sebiru laut, tampak menerawang ke arah yang jauh.


"Jadi korban bom bunuh diri susulan maksudmu?" Liza sebenarnya sama kuatirnya. Ia mulai terpancing dengan apa yang barusan Eric utarakan. Kasus bom bunuh diri tempo hari menjadi berita besar di Paris dan sekitarnya. Koran-koran lokal bahkan internasional telah menjadikan headline peristiwa itu hingga hari ini.


"Tidak. Lebih dari itu." Sebenarnya bukan soal bom bunuh diri saja yang jadi pemikiran Eric. Beberapa hari ini, Eric merasa bahwa Vlada sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Dan itu, membuatnya menjadi sangat resah.


"Maksudnya?" Liza mulai penasaran.


"The stranger. Orang asing yang dimaksud Vlada." Tempo hari Vlada telah menceritakannya, akan tetapi Vlada tak sekalipun menyebut nama, meski Eric mendesaknya.


"Come on, Ric. Vlada bukan anak ingusan. Yang kamu maksud orang asing itu, siapa tahu adalah orang yang benar-benar Vlada kenal." Liza mencoba menenangkan Eric.

NEXTWhere stories live. Discover now