01. Puing-puing Lara

1K 111 21
                                    

Jujur, aku menantang diri banget nulis ginian. Kalian jangan jengah ya. Jangan capek bacanya. Hehe.

•••

Arkadama, 2010

"Kamu sudah lihat pengumuman di mading?"

Aku menengok pada pribadi yang duduk di sebelahku. Hingga kepalaku menggeleng sejenak kemudian mengutarakan sesuatu, "Belum. Apa penting?"

Adam itu mengangguk dengan tangan masih bergerak mengisi catatannya yang kosong. "Iya. Katanya, kampus diliburkan seminggu penuh. Bisa lebih pula daripada itu."

Aku tentu tak terkejut dengan hal itu. Justru diri ini malah bakal heran jika kampus tidak memberi libur saat situasi betul kacau begini.

"Ah, begitu." Aku menyahut sekadar saja.

"Kamu bakal pulang ke kota asalmu?" tanya Baekhyun—nama si lelaki—lagi. Ia nampak cukup penasaran dengan jawabanku. Sampai-sampai berhenti menulis begitu.

"Mungkin saja. Mana betah di kos jika sedang liburan," kataku menjawab. 

Dia tersimpul, menatap diriku dengan penuh maksud berguyon. "Mana tahu kamu justru tidak betah bila tidak bersamaku," kelakarnya yang disanggah lewat dengkusan olehku.

"Percaya diri benar. Aku justru kewalahan jika ada kamu." Aku mencibir tapi dia malah lanjut tergelak. Pundaknya naik-turun dihantam gelitik.

"Kewalahan karena menampung rasa sukaku ini?" Dia menanya bersama alis yang digerakkan usil.

Aku mengibaskan tanganku di depan muka. Tidak berkehendak menanggapi candaannya. Ia suka sekali berguyon soal rasa dan untung saja aku bukan tipikal gadis yang mudah terbawa suasana.

"Liburnya mulai kapan?" tanyaku mengalihkan topik percakapan.

"Besok. Kan kamu sudah tonton di tv kalau bom mulai dijejali dengan nakal di mana-mana."

Aku mengangguk singkat. Teringat bahwa sempat melihat tv di salah satu warung kopi yang aku singgahi. Informasi soal benda-benda peledak itu sudah menyebar luas. Barangkali, negara ini akan hancur jika begini terus. Penanganan sangat lamban. Mau berapa puluh jiwa lagi yang akan dikorbankan? Sudah macam tengah memberikan tumbal saja.

"Kamu tidak takut?"

Kedua manik milikku menilik si Baekhyun yang bertanya sedikit menyimpan ragu. Aku mengangkat sebelah sisi alis. "Takut apa?"

"Mati. Mati karena ledakan bom itu."

Aku menghela napas pelan. "Kenapa takut? Nanti juga akan mati."

"Tapi mati setelah karena terpental bukan akhir yang bagus."

Aku tertawa mendengar tuturan si Baek. Apa-apaan dengan pikiran si pemuda yang biasanya sangat suka mengulas-ulas canda ini.

"Jadi kamu mau bagaimana? Kan tidak bisa kamu ubah juga." Aku menepuk pundak si adam ini pelan.

"Benar memang. Tapi aku minta pada Tuhan agar hidup lebih lama lagi."

"Bagus. Manusia sudah kuadratnya memohon pada Yang Kuasa."

"Tahu tidak mengapa?" tanyanya. Aku merotasikan dua bola mata punyaku dengan malas kala menemukan ekspresi jenaka kembali bersemayam di wajah berpipi tembam itu.

"Tidak tahu. Tidak ingin tahu juga." Aku menyusun alat-alat tulis dan bukuku saat menjawab. Walau sudah bilang begitu, Baekhyun mana akan peduli. Ia pasti akan tetap melontarkan frasa penuh bualannya.

"Aku pengin meminangmu dulu, hehe..." Cengiran miliknya menjajah wajah yang cukup rupawan itu. Sayang sekali, aku tidak cinta. Kalau saja bisa. Mau loh diri ini dijadikan kekasih oleh Baekhyun. Lagipula dia baik, ramah, cerdas, dan ranggi pula.

Sehun dan Bumi BardatamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang