03. Katamu Cinta Tak Ada

315 63 9
                                    

Pukul empat pagi kakiku lari luntang-lantung bagai maling yang dikejar warga. Tujuan kaki hanya satu, rumah Arkais.

Mataku tidak bisa terpejam sejak semalam. Sosok Bunda serta Sehun berseliweran di kepala. Akan aku beri si Arkais durjana itu pelajaran.

Aku sampai tak kenakan sandal dan baju hangat. Arkais mesti mendapatkan yang sepadan dengan perjuanganku yang macam serangan fajar ini.

Aku dorong saja gerbang rumah Sehun dan kontan mengetuk pintu kayu itu. Tak beringas. Aku masih tahu malu pada tetangga. Fajar saja belum menyongsong, dimaki diri ini jika menjerit bagai peluit.

Suara kunci aku dapati, hingga penghalang ini terbuka lebar. Mempertunjukkan postur wajah Sehun yang kelihatan bangun secara paksa dari pulau mimpi.

"Irene?" katanya serak dengan kelereng mata menyorotku tak percaya.

Tangisku kembali merajalela. Sial Arkais sial. Mengapa harus aku tunjukkan sisi lemahku pada kamu?

Ia tentu terkejut. Ia tarik tubuhku pada rengkuhan hangat di pagi buta. Membawaku masuk ke dalam rumah yang dahulu selalu menyambut aku penuh hangat.

Arkais memelukku erat. Aku cinta sekaligus benci dengan dirinya. Mengapa rasa ini begitu menyiksa. Apa tiga tahun tak cukup memusnahkan afeksi yang aku punya?

Aroma Sehun Arkais masih sama. Kayu manis yang meneduhkan jiwa. Sehun, aku rindu.

Saat tangisku mereda, Sehun mengajakku duduk di sofa. Masih setia tangannya mengelus punggungku agar lebih tenang.

"Apa hal yang membawa kamu ke mari?" tanyanya setelah beberapa menit kami tak bergeming. Sampai-sampai suara detak jarum jam terdengar memenuhi ruang.

"Bunda... Mengapa kamu tak mengabariku?" aku merespons lirih. Padahal diri bertindak impulsif sepagi ini guna mencaci-maki Sehun. Apa daya. Lidah dan hati tak sanggup.

Si Arkais ini malah menciptakan ukiran kurva di wajah eloknya. Tangan hangat dan besarnya menepuk puncak kepala milikku dengan lembut.

"Maaf, Irene."

Tangisku lagi-lagi membludak. Mata mengarah pada potret raksasa di ruangan itu. Foto Bunda bersama Arkais ditemani senyum lebar. Hatiku selalu menghangat acap menatap figura itu. Tapi kini rasanya sesak.

"Kamu benci aku sedemikian rupa? Kamu benci aku yang katamu tak ada cinta?" aku meringis ditiap tutur kata. Relungku serasa dicabik tiap detiknya.

"Kamu benci hingga kamu tak mau aku lihat Bunda untuk terakhir kalinya?"

Ia tak menjawab. Diam seribu atau bahkan sepuluh ribu bahasa. Malah dirinya kini mengangkat raga dari atas sofa dan berlalu ke belakang. Entah berbuat apa. Aku lagi menangis hingga kedua mata perih. Napas tersengal-sengal bagai dicekik rupa kenyataan. Aku menutup mukaku dengan kedua telapak tangan agar tak tampak lebih menyedihkan.

Hingga sebuah handuk hangat membasuh kaki yang kotor. Kaki yang menembus jalanan lengang tanpa alas. Kaki yang membopong tubuh hingga ke mari.

"Apa yang kamu lakukan, Sehun Arkais?"

Ia tersenyum getir. "Apa yang akan Bunda katakan bila aku yang membuat putrinya terluka begini?"

Aku mendengkus. "Ini bukan apa-apa jika dipadankan dengan goresan dalam yang kamu toreh di hati."

Keluar sudah. Untaian frasa yang sudah lama hendak diucap. Kala Sehun mengajak aku mengakhiri hubungan dengan alasan tak ada cinta, aku tak protes apa-apa. Kepala dan ulu hatiku seakan dihantam berton-ton baja.

"Irene Kisahasa..." Sehun menggantung perkataan. Tangannya masih membasuh kedua kakiku yang kotor dan sedikit lecet pula.

Aku tak menatapnya. Lebih suka buang muka saja.

Sehun dan Bumi BardatamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang