05. Lencana Berbayar Jiwa

306 65 35
                                    

Kuliah kembali berjalan sebagaimana mestinya. Ketegangan mereda beberapa hari terakhir. Walau begitu, masih banyak yang mengambil libur pribadi.

Aku kembali dengan rutinitas di Arkadama. Belajar, mengerjakan tugas, sampai digodai oleh mahkluk ciptaan Tuhan bernama Baekhyun.

Seminggu pula lepas dari terakhir kali aku tatap sosok Arkais. Bagaimana kabar teruna itu? Apa dia baik? Apa dia rindu macam aku rindu dia?

"Irene, mari ke kantin. Pak Teguh tak datang. Takut dibom perut buncitnya."

"Ada-ada saja kamu, Baek."

Setelah berberes, kami kompak ke kantin kampus. Agak jauh memang, tapi makanan di sana tak bikin kecewa. Membayangkan saja sudah membuat aku kelaparan pula. Padahal baru juga sarapan.

Sesekali gelak tawa mengudara. Baekhyun ini benar menghibur. Guyonannya kadang jadi pelipur lara.

Masih jauh dari kantin, suara ledakan nyaring memekakkan telinga. Jeritan keras terdengar bersama api raksasa menyambar penglihatan.

Aku dan Baekhyun sama-sama diam membeku hingga diteriaki kasar untuk menyelamatkan diri.

Kantin yang baru akan kami datangi meledak keras. Bagaimana nasib kawan-kawanku yang ada di sana.

Aku dan Baekhyun lari keluar kampus. Tangisku sudah diujung pelupuk. Manalagi katanya ada dua lagi bom yang disembunyikan entah di mana.

Mobil pasukan Biruloka berhenti di depan gerbang utama. Aku merinding. Pasukan itu hebat benar. Masih berani padahal sudah ada korban berceceran.

Netraku menangkap postur tak asing. Itu dia, Sehun Arkais.

Spontan aku berlari dari kerumunan yang selamat. Menyerobot guna menghampiri pujaan hati. Panggilanku keras padanya. Namun suara keributan ini meredam segalanya.

"Arkais! Arkais!"

Ia menoleh cepat. Bola matanya terbuka lebar kala menemukan aku. Aku rebut tubuhnya, kupeluk dengan rakus.

"Irene? Kamu tidak apa-apa? Tidak ada yang terluka?"

Aku menggeleng di dadanya. Lalu melepas pelukan indah itu. Ia betul khawatir padaku. Matanya tidak bisa berdusta. Aku pandang dia lama. Kudapatkan lencana emas berliris biru tua di sana.

"Kamu sudah jadi pemimpin pasukannya?"

Ia mengangguk kecil. Pantas saja dia belum masuk ke dalam. Lucu memang negeri ini. Makin atas jabatanmu, makin dijaga dirimu. Tapi jahat aku ini. Senang pula dengan fakta itu.

"Kamu balik ke kos atau ke Bardatama saja. Tak tenang di sini."

Aku menggeleng kuat. Tak mau aku jauh darinya untuk saat ini. Sejak tadi kawan-kawanku sudah dievakuasi. Dibawa jauh dari tempat ini.

"Saya mohon, Irene. Saya tidak ingin kamu kenapa-kenapa."

"Aku juga begitu. Aku tidak mau bila kamu—"

Ledakan fantastis terjadi lagi. Sehun dan aku terkesiap. Aku panik. Ku pegang erat lengan Sehun.

"Pulang, Irene. Tolong. Jangan di sini. Saya mohon."

"Jangan masuk ke dalam Sehun. Jangan!"

Sehun menggeleng lemah. "Ini tugas saya. Saya tak boleh melanggar sumpah."

Aku sudah menangis. Sialan. Aku tidak suka permainan takdir yang kejam dan begundal. Sehun mendorong lembut tanganku. Ia lepas lencana miliknya dan ia sodorkan padaku.

"Ini, saya pastikan saya kembali. Jadi kamu pergi. Jauh. Jangan di sini. Saya pasti pulang."

Aku menggeleng lemah. Tanganku menatap nanar lencana emas itu.

Sehun dan Bumi BardatamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang