02. Bumi Bardatama dan Luka

419 79 10
                                    

Di lampau, momen di mana term 'sepasang kekasih' masih tersertakan antara diriku dan Si Arkais yang masih aku puja ini, hujan selalu jadi alasan kami menepi.

"Kalau-kalau kamu sakit gara-gara hujan, saya malu sama langit Bardatama. Kok, kesayangan saya tidak bisa saya jaga dengan baik, Irene?"

Ia akan berucap panjang begitu setelah mendengar aku protes perihal kami yang berakhir berdiri melintang berdampingan di emperan toko. Menunggu tetes-tetes hujan mengakhiri hasratnya.

Walau aku sengit, tak bisa kupungkiri jika alat pompa darah yang berada di dalam dada itu menghentak-hentak. Bagai dijejali lagu nasional yang menggebu-gebu. Aku senang bukan kepalang sampai lupa diri. Sehun begitu memperhatikan diriku bahkan sampai menyimpan malu pada langit Bardatama.

Tapi itu dulu. Saat jemari panjangnya masih hobi memilin-milin rambut sepunggungku. Saat tawanya melayang mendengar kicauan jengkelku.

Saat ini, hujan mengguyur kota kelahiranku. Kota penuh sejarah, Bardatama. Tapi, Sehun tak menepikan motornya. Tak bertanya apa aku sedang menggigil menahan dingin menyumbat indra. Ia melaju. Menembus anak-anak panah langit. Tak peduli benar dengan nasibku yang kini basah hingga ke dalam-dalam. Hingga ke hati rasanya. Dingin tapi perih.

Si Arkais ini baru berhenti setelah tiba di depan sebuah rumah bercat kuning mambo, dengan pagar besi sehitam jelaga. Rumahku, istanaku.

Aku tanpa fatsun melepas helm. Tiada guna juga mengajak si es batu kurang ajar ini bicara. Seenak udel membuat aku menahan gemeletuk gigi karena perbuatan lantangnya.

"Terimakasih!" kataku sedikit menghentak seraya mengembalikan helmnya.

Raut wajahnya tak berubah walau aku memberinya perlakuan tak bersahabat. Ia menerima cepat tanpa frasa. Aku pun begitu. Bergegas masuk ke dalam rumah tanpa salam perpisahan atau bertemu kembali.

Bahkan leher ini tak pengin menoleh kala suara motor itu bergerak menjauh dari muka rumah.

•••

"Senderut dia karena Ayah suruh dijemput oleh Sehun."

Tuh, ya. Aku sudah minta pada Ayah untuk jangan membahas hal itu lagi. Rasanya acap kali mendengar nama teruna itu membuat hati gundah nun berang.

"Ayah juga. Sudah tahu mereka bekas kekasih. Masih saja dipertemukan," celetuk Ibu sembari menuang nasi ke piring kami.

Ayah tergelak. "Bila mereka rujuk, Ibu bakal yang paling bungah. Sejak dulu mengaku Sehun adalah calon suami yang cocok untuk Irene."

Ibu tersenyum tersipu membuat kekesalanku semakin menjadi. Aku pulang bukan untuk mengantongi godaan soal masa lalu. Tapi perhatian juga cinta kasih yang sudah aku rindukan.

Huh, Bardatama. Apa tak sekalipun kau izinkan aku bahagia di bawah naunganmu? Bahagia betul dirimu nistakan diriku.

"Ah, sudah-sudah. Makan dulu, Ayah. Irene juga pasti lapar. Mana tadi sudah hujan-hujanan seperti di film-film India."

"Ah, Ibu. Jangan membuat selera makan hilang, dong," protesku dengan wajah masam.

Ibu dan Ayah sama-sama menerbangkan tawa. Buat ruang makan jadi ramai. Aku menyendok isi piring sembari menyimpan rasa dongkol.

"Selesai mengisi perut, mampirlah ke rumah Paman kamu."

Kedua bola mata milikku menelisik wajah ibu yang sudah sedikit berkeriput. Lantas aku menanggapi kalimat dia. "Mengapa harus malam ini? Besok juga bisa."

Ibu menggeleng, menolak bantahanku. "Jangan seperti itu. Bawa beberapa buah tanganmu tadi dan beri salam pada Paman dan Bibi kamu."

Aku mendesah pelan. Bagaimana pun jua, Ibu tak bisa aku lawan. Dia singa sedang aku rusa. Ujung cerita, aku jadi korban saja. Kuasa kami berbeda. Ibu jauh lebih berjaya.

"Baik. Aku ke sana malam ini juga," kataku menutup perdebatan. Ingin makan dengan tenang pun harus berkorban banyak macam ini.

•••

"Mengkhayal saja kamu. Sambil lihat-lihat rumah mantan kekasih pula."

Aku mendecak pelan. Kedua manik menatap figur abang sepupuku yang kini coba-coba menggoda.

"Jangan picu pertikaian. Aku tak punya energi," sahutku malas.

Selain tak ingin ketemu abang sepupu yang degil ini, rumah yang punya pokok mangga itu pun jadi alasan mengapa aku enggan ke mari malam ini.

"Berdusta saja mulut kamu itu. Bilang kalau kangen. Tidak ada juga yang bakalan marah." Abang berkata kembali sembari menutup pintu gerbang rumah. Aku tak menanggapi. Malas saja. Teringat sikap Sehun Arkais tadi siang buat aku pegal hati.

Kami jalan berdua. Abang sepupuku ini memaksa untuk mengantar raga ini pulang. Sesudah berbincang sedikit bersama Paman dan Bibi—juga manusia sedikit aberasi yang mengayunkan tungkai di sebelahku kini—aku pamit pulang. Sudah terlalu larut untuk bertamu.

Diam-diam diri ini melirik ke arah rumah itu baru bertanya pelan pada Abang, "Bunda sehat kan?"

Bunda adalah Ibu dari Sehun. Aku memanggil beliau begitu gara-gara Sehun yang minta.

"Nanti kamu juga akan jadi putri sira. Maka belajar memanggil Bunda sejak sekarang."

Hah. Miris benar acap kali mengingat tiap tutur semanis sukrosa itu.

Abang rupa-rupa sejak tadi memandangku kalut. Dia nampak berat hati untuk menjawab.

"Abang?"

"Bunda sudah berpulang. Sudah setahun lamanya."

Kedua kaki ini spontan berhenti. Menengok ke arah Abang dengan rasa yang menyala-nyala. Marah, hancur, pun merana.

"Mengapa tidak ada yang memberitahu aku?" tuntutku dengan suara bergetar. "Semua senkongkol? Termasuk si Arkais?" sentakku tak terima.

"Dia yang pinta. Kami tak mampu menolak."

Arkais sinting. Pergi ke mana kewarasan teruna mu itu Bardatama?! Tega nian menutupi berita pilu yang merunjam hati ini.

"Aku pulang sendiri. Jangan dikawali," ucapku tegas. Pelupuk mata sudah berat. Tangisku bakal menerobos sebentar lagi.

"Irene Kisahasa, maafkan Abang."

Persetan. Aku benci. Mengapa mereka sampai hati memperlakukan aku begini. Bunda... Maafkan Irene. Irene dungu sampai tak turut mengantar raga Bunda ke pelukan buana. Tak turut mendoakan atma Bunda tenang di sisi Yang Maha Kuasa. Maaf, Bunda, maaf.

Aku merintih sepanjang jalan menuju rumah. Bening-bening berjatuhan dari kedua pelupuk mata. Dadaku rasanya begitu sesak. Begitu penuh dengan duka.

Bumi Bardatama, sekali lagi kau berhasil. Berhasil membuatku menyesal pulang padamu. Kau hanya tahu mengasihkan luka saja.

•••

Sehun dan Bumi BardatamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang