33 : Exitium

814 115 3
                                        

Min Yoongi terbelalak saat netranya disuguhi keadaan berantakan Yerim. Kacau, dan beberapa lebam menghiasi permukaan wajahnya yang kentara sekali dengan epidermis gadis itu. Barangkali Yoongi ingin marah, meledak, sebab angkara telah memenuhi relung otaknya untuk segera berlaku demikian. Namun, semua itu hilang dan lenyap tatkala satu presensi asing membopong tubuh Yerim memasuki rumah. Sama kacaunya, mengenakan gaun tipis yang nyaris saja memperlihatkan bagian dalam tubuh gadis itu. Parasnya berantakan, pun kacau bersamaaan.

Sontak Yoongi berlari menghampiri keduanya, membawa tubuh lemah Yerim ke dalam gendongan dengan wajah cemas. Tanpa berkata apapun lagi, ia membalikkan badan dan memasuki kamar. Meninggalkan Park Jiyeon dalam kesendirian sembari memandangi punggung lebar lelaki itu kian menghilang dari penglihatan.

•••

Perjalanan yang ditempuh sudah lebih dari setengah hari, pun Taehyung tak kunjung menemukan sang pujaan yang teramat di damba. Ia nyaris saja kehilangan asa, hampir menyerah, sebelum tekadnya kembali memuncak dan naik ke permukaan. Tekad itu membimbingnya lekas untuk berhenti melantunkan frasa lelah dan menyerah, sebab kehilangan Jiyeon sama saja kehilangan sumber kebahagiaan dan kehidupannya.

"Tch!" Decakan Jungkook menguar lepas di sela kegiatannya memantau keadaan jalanan. "Matahari hampir saja menghilang, dan kita masih belum menemukan Jiyeon." Nadanya terdengar putus asa. Pun mengusap wajah kasar sebagai pelampiasan amarah yang ditekan agar tidak lepas membludak.

Taehyung ikut menghela, namun kian menyerah. Terus menyusuri dan membelah jalanan kendati mereka melakukannya tanpa petunjuk apapun.

"Aku tidak akan menyerah, Jung." Deep voice Taehyung terdengar menekankan. "Aku akan tetap mencarinya dan harus ditemukan hari ini." Jemarinya meremat setir mobil.

"Tapi, Tae, ini sudah hampir malam. Dan selama seharian ini pencarian kita tidak membuahkan hasil," Jungkook mengurut pangkal hidungnya yang berdenyut nyeri. "Sebaiknya kita pulang, Tae. Kita lanjutkan besok—"

"Aku tidak mau," sela Taehyung tak sabaran. "Aku akan pastikan menemukannya hari ini, menyeretnya pulang, dan memberinya hukuman berat sebagai tindakannya yang buruk." Taehyung menjeda, menjilat sudut bibirnya. "Jiyeon sudah bertindak diluar batas."

Jungkook tergelak hambar. "Bisakah kau tidak mengaitkan semua hal dengan hukuman, Tae?" Ia menoleh, memperhatikan Taehyung dari samping. "Kau terus-menerus berkata begitu, pantas saja Jiyeon merasa muak dengan mu. Selalu menghukumnya hanya karena dia berbuat salah sekecil saja."

Bibir bawahnya dijilat, lantas Taehyung menukas sarkas, "Bukan urusanmu kalau aku memberinya hukuman atau tidak," manik matanya berubah menajam. "Aku punya cara sendiri untuk membuatnya jera dan memilih bertahan bersamaku."

Lantas Jungkook memilih bungkam, merotasikan irisnya malas mendengar ocehan Taehyung yang sedari dulu memang tidak pernah merubah wataknya. Tempramental, dan merasa paling benar padahal sebetulnya ia salah.

"Lalu, selanjutnya kita akan kemana? Kita terus berputar-putar tanpa arah, dan Jiyeon tak kunjung ditemukan." Jungkook menyugar surai bagian depannya yang berantakan. "Seharian ini kita belum menemukan tanda-tanda keberadaan Jiyeon, Tae. Kurasa sebaiknya—"

"Ini hanya praduga ku saja," sela Taehyung mendadak.

Mengerjap sejemang, Jungkook menatap Taehyung seraya berkata, "Apa katamu?"

Taehyung mengulum bibir, menggigit jemari telunjuknya yang dilipat dengan gemas. Sebelum bertutur kata dengan irisnya yang berkilat-kilat, "Aku rasa praduga ku ini benar."

"Apa maksudmu, Tae?" Jungkook berdecak jengah. "Jangan bertele-tele dan langsung saja masuk ke intinya," ujarnya jengkel.

"Seokjin," Taehyung melirik Jungkook sekilas melalui ekor matanya. "Dia dokter yang sempat memeriksa Jiyeon sebelumnya. Kita akan ke rumahnya sekarang."

•••

Gemuruh petir menyambar terdengar menggema memecah kesunyian malam. Tetesan-tetesan hujan yang membentur pada atap rumah Min Yoongi menjadi salah satu pengisi keheningan diantara duduknya Jiyeon dengan lelaki berwajah kaku itu. Jemarinya yang bertautan saling meremat erat dengan gemetaran yang tak kunjung hilang sedari awal. Sesekali Jiyeon menggigit bibir bawahnya gugup.

Pun penampilan Jiyeon sudah terbilang cukup baik. Yoongi mempersilahkannya untuk membersihkan diri dan memberikan setelan pakaian Yerim yang begitu pas di tubuh ramping Jiyeon.

"Terima kasih sudah membantu adikku," Suara berat Yoongi menyentakkan Jiyeon dalam duduknya. "Beberapa hari ini dia memang seringkali berbuat kesalahan."

Jiyeon lantas mengangkat wajahnya perlahan, menatap Yoongi di depan sana. Sebab, konversasi yang tengah berjalan saat ini dibatasi meja makan minimalis yang panjang.

"Mm, sama-sama," balas Jiyeon singkat.

"Bagaimana bisa kau bertemu dengan adikku?" Suara Yoongi kembali mengudara.

Lantas Jiyeon berdehem sejenak, menyamankan posisi duduknya. "Aku menemukannya terkapar di salah satu gang yang jarang dilewati orang-orang." Kemudian berujar skeptis, "Sepertinya ... dia dikeroyok oleh teman-temannya."

"Dikeroyok?" Kening Yoongi mengerut bingung. Sepasang alisnya menukik tidak mengerti.

"Aku sempat melihatnya dipukuli oleh beberapa gadis yang terlihat populer," jelas Jiyeon. Mengulum bibir sejemang, pun Jiyeon menunduk, "Maafkan aku yang tidak bisa membantu adikmu di saat itu. Aku justru bersembunyi dan membiarkan mereka melakukannya sampai selesai," Jiyeon berkata pelan. Nyaris saja menyerupai sebuah bisikan.

Yoongi menghembuskan nafasnya kasar, mengusap wajahnya dengan bibir bawah yang digigit.

"Tidak perlu merasa bersalah seperti itu," ia mematri senyum singkat nan tipis kemudian. Meyakinkan Jiyeon melalui sorot matanya. Lalu tak berselang lama Yoongi kembali disapa kebingungan. "Aku pikir kau juga ikut dipukuli. Sebab—em, maaf aku berkata begini. Aku melihat keadaanmu yang sama hampir sama dengan Yerim."

Lekas Jiyeon mengulas senyum asimetris dan menunduk kemudian. Jiyeon memilih bungkam, ia tidak berniat untuk membagi lukanya kepada siapapun. Termasuk dunia sekaligus kendati saat ini tengah menertawakannya.

Dan Min Yoongi, pria yang baru saja ia temui. Cukup baik memang, tapi pada dasarnya Jiyeon memang tidak bisa mempercayai siapapun lagi kecuali dirinya sendiri. Maka, kebungkaman adalah opsi terbaik untuk saat ini. Biarlah ia menanggung luka dengan sendirinya. Biarlah Jiyeon memendam rasa sakitnya yang kian menumpuk di dada.

Barangkali Yoongi ada kaitannya dengan Taehyung. Sebab, koneksi Taehyung itu luas. Sangat luas sekali. Dunia bahkan mungkin mengenalnya. Definisi yang begitu patut diwaspadai.

Pun mendapati kebungkaman telak Jiyeon, Yoongi jelas paham. Ia juga tidak berniat memaksa gadis itu untuk bercerita. Semua orang punya alasan tersendiri akankah berbagi atau tidak. Dan Yoongi jelas tidak bisa mengambil alih hak Jiyeon yang memilih untuk tidak bercerita.

"Aku akan membuatkan mu minuman." Segelah berkata begitu, Yoongi bangkit. Decitan kaki kursi yang menggesek permukaan marmer terdengar mengilukan.

Lantas Jiyeon mengangkat wajahnya, memperhatikan Yoongi yang memasuki dapur lalu kemudian presensinya hilang. Jiyeon sendirian. Sibuk berpikir dalam diam, menerka-nerka apa yang Taehyung lakukan saat ini. Pikiran buruk sempat menyapa sistem kerja otaknya, lekas Jiyeon menggeleng cepat. Mengusir berbagai asumsi-asumsi yang tidak mengenakkan untuk lekas dicampakkan.

***

PRANG!

Seokjin terduduk lemas dilantai sembari bersandar. Kemeja yang ia kenakan dihiasi noda kemerahan berbau anyir. Bungkam, adalah opsi yang tepat.

Lantas ia melihat Taehyung melalui iris kelabunya, tanpa mendongak. Menatap Taehyung yang menjulang tingga di depan. Memperlihatkan angkaranya yang begitu membakar. Beberapa detik selanjutnya, teriakan Taehyung menguar lepas mengiringi degup jantung Seokjin yang hampir saja bergabung ke lambung.

"AKU TANYA SEKALI LAGI! DIMANA KAU SEMBUNYIKAN PARK JIYEON, KIM SEOKJIN?!"[]

Luv Tii

Prisionero [M] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang