Kim Seokjin melihat segalanya berputar tak karuan. Pandangannya memburam kendati beberapa kali ia mencoba mengerjap mengembalikan kesadaran. Taehyung dengan kemarahannya jelas ide buruk. Tapi, Seokjin tidak mengerti asal mula kemarahan Taehyung bersumber darimana. Mendadak datang begitu frustasi dan langsung menghadiahinya pukulan yang tiada henti. Seokjin meneriaki untuk menghentikan dan mengajaknya berkonversasi dengan ramah, nyatanya Taehyung kalap. Ia benar-benar tidak bisa diajak secara lemah lembut.
"Aku tanya sekali lagi," Dada Taehyung naik turun menahan gejolak amarah yang ingin dilepaskan. "Dimana Park Jiyeon?"
"Tae!" Jungkook berteriak keras. "Sepertinya dia tidak tahu apa-apa—"
"DIAM!" sentak Taehyung. Telunjuknya mengacung ke arah Jungkook bagaikan ultimatum telak. Lekas Taehyung memperlihatkan iris berkilat-kilatnya seraya berkata, "Firasat ku tertuju pada lelaki ini," Matanya kembali menghadap Seokjin yang terduduk. "Dan dari mimik wajahnya saja aku bisa menerkanya."
"Firasat katamu?" Jungkook bergumam lirih tak percaya. Sejemang ia terkekeh geli, sebelum merubah wajahnya menjadi kaku. "Kau pasti sudah gila!"
"Sebenarnya kau berpihak kepada siapa, Jung?" Taehyung melangkahkan kakinya mendekat ke hadapan Jungkook. "Aku mulai heran dengan tingkahmu yang tidak pernah mendukungku beberapa saat ini," jelasnya lanjut dengan alis yang menukik.
"Jelas saja aku tidak mendukungmu sebab yang kau lakukan salah, Tae!" Jungkook berteriak marah, giginya bergemeletuk dan mengetat erat. "Bagaimana mungkin kau menuduhnya asal tanpa ada bukti yang kuat?! Kau menuduhnya hanya karena praduga dan firasatmu saja. Apa kau gila?!"
"Ya, aku gila!" Taehyung membalas teriakan Jungkook dengan teriakan. Irisnya memerah, memancarkan amarah yang tak tertahankan. Nafas Taehyung memburu bersamaan dengan sepasang tangannya yang terkepal kuat.
"Bisakah kalian diam?"
Suara lirih itu memecah keheningan diantara tatapan sengit yang tengah terjadi. Seokjin menatap keduanya sayu, lelah dan kesakitan bercampur aduk menjadi satu.
Jungkook lantas melangkahkan kakinya mendekat, ikut berjongkok menyamakan posisi seraya membantu Seokjin.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya khawatir. Apatis pada Taehyung atas apa yang ia lakukan jelas mengundang situasi yang buruk nantinya.
Meneguk ludahnya kasar sejenak, lantas Seokjin menepis pelan tangan Jungkook yang mencoba membantu. Tatapan sendunya terangkat perlahan, melihat presensi Taehyung yang menjulang tinggi menampakkan keperkasaannya. Bibir Seokjin perlahan membentuk seringaian tipis penuh keremehan.
"Apa begini caramu memperlakukan manusia lain, Taehyung?" Nada lirih Seokjin mengudara. "Kau memang patut dimanusiakan!" lanjutnya tajam.
"APA KATAMU—"
"TAE!" Jungkook menghadang Taehyung yang sepertinya ingin kembali memukuli Seokjin. "Tenanglah."
"Park Jiyeon sempat bertemu denganku disela pelariannya," tukas Seokjin pelan. Namun jelas indera pendengaran Taehyung yang tajam mendengar satu nama berpengaruh untuk hidupnya disebutkan. "Dan dia meminta bantuan kepadaku. Aku menolongnya," menjeda sejenak seraya menjilat bibir bawahnya yang kering. Pun beberapa kali mencoba mengusir perasaan tidak nyaman yang sempat hadir di dada. "Dia terlihat ketakutan, baju yang dikenakannya robek dibeberapa bagian."
Stagnan. Tenggorokannya tercekat, lekas Jungkook bertanya, "Apa yang terjadi dengannya?"
"Aku tidak tahu," Seokjin mendongak. Mengalihkan atensinya menatap presensi tegap Jungkook. "Aku bertanya begitu, dan dia tidak menjawab apapun."
"Baiklah," geraman Taehyung terdengar. Tungkainya melangkah mendekat, lantas menyamakan posisi menatap Seokjin dengan lekat. "Sekarang katakan, dimana dia sekarang?"
Sejujurnya, bagi Kim Seokjin, Kim Taehyung yang ada dihadapannya sekarang tidak seperti Kim Taehyung yang ia kenal. Definisinya terasa asing, dan Seokjin baru saja mengetahui hal tersebut. Suara berat Taehyung yang menguar lepas bersahutan dengan degup jantung Seokjin yang berdetak tidak karuan.
"Dia pergi."
Taehyung mengerjap cepat disela keterkejutannya. "Apa?"
"Dia sudah pergi. Dia melarikan diri," balas Seokjin tidak sabaran. Ikut membalas sorotan netra Taehyung kendati rasa takut masih bertahan.
"Kau bercanda," kekehnya seraya menyeringai. Lantas Taehyung berdiri, menyugar surainya yang berantakan. "BRENGSEK!" teriaknya kemudian, memukul dinding dengan penuh kekesalan.
Helaan nafas panjang Jungkook menjadi satu-satunya yang terdengar setelahnya. Ia mendongak lelah, berpikir bahwa pencarian akan berlangsung dengan mudah ternyata tidak terkira rasanya.
"Kemana dia pergi?"
"Aku tidak tahu," ungkap Seokjin singkat. Pun Jungkook seakan mengerti akan rautnya, maka ia bungkam. Sebab, Seokjin benar-benar tidak mengetahui keberadaan Jiyeon.
"Aaaaa!"
Teriakan nyaring itu menyentakkan segala-galanya. Mengembalikan dengan cepat tiap kesadaran otak mereka yang sebelumnya kosong melompong.
Pun netra Seokjin terbelalak cepat, melupakan satu hal teramat penting. Presensi pucat Nana yang terduduk dilantai menjadi pusat perhatian mereka. Tercekat begitu mendapati raut wajah sang tunangan yang penuh teror.
Namun pada detik berikutnya, gerakan cepat tangan Nana menjadi titik fokus. Tergesa-gesa disertai rasa takut, mendial cepat polisi untuk lekas datang.
"HALO?!"
•••
"Bisakah kau ceritakan bagaimana hidupmu, Park Jiyeon?"
Tatapan permohonan dari Min Yerim jelas menjadi tanda tanya bagi Jiyeon. Pun kalimat yang baru saja mengudara menjadi penguatnya, setertarik apa Yerim hingga menanyai kehidupannya yang menyedihkan. Tanpa perlu diceritakan sekaligus, Jiyeon adalah sosok perempuan yang menyedihkan. Bertentangan dengan dunia yang penuh kecerahan.
Dan kepalsuan, tentu saja.
"Untuk apa aku harus bercerita kisah hidupku?" tanya Jiyeon. Pandangannya turun menatap kedua tangannya yang digenggam oleh Yerim. "Kau tidak sepatutnya mendengarkan kisah hidupku yang menyedihkan ini, Min Yerim," tuturnya lirih, tertunduk.
Genggaman pada tangan Jiyeon kian menguatkan, maka melalui sorot matanya Yerim berujar, "Aku sudah tahu dirimu."
Lekas kepala Jiyeon terangkat cepat. Keningnya mengerut bingung, "Apa?"
Berdehem sejenak, lantas Yerim berujar penuh keseriusan, "Park Jiyeon, siswi SMA Apgujong angkatan 79 yang sempat dinyatakan hilang sekitar lima bulan yang lalu. Kasusnya ditutup, sebab tidak ada pihak yang bertanggungjawab untuk membayar polisi yang bekerja melakukan pencarian. Beberapa orang memilih tidak peduli akan keadaanmu apakah masih hidup atau tidak. Termasuk kedua orangtua angkatmu, mereka menghilang tanpa memedulikan keadaanmu." Yerim menelengkan kepalanya dengan senyuman miring penuh kepuasan yang bertengger di bibir tipis itu tatkala mendapati raut wajah terkejut Jiyeon. "Apakah aku benar?"
Pertanyaan itu refleks terngiang dalam gendang telinganya. Wajah Jiyeon berubah penuh teror. "Darimana ... kau—" ia tercekat, tidak mampu berucap sepatah kata apapun sebagai balasan.
"Aku menyelidikinya diam-diam," Yerim menjeda, menjilat sudut bibirnya. "Sebab, aku curiga dengan sikap Jungkook ketika berada di sekolah."
"J-Jungkook?!" Jiyeon terpekik tiba-tiba.
"Jeon Jungkook, dia adalah siswa angkatan 79, sama denganmu. Aku curiga, hilangnya dirimu ada kaitannya dengannya," ujar Yerim.
Jiyeon lantas membuang pandangan. Rasa nyeri kembali menyapa relung parunya hingga mendesak liquid bening untuk segera membasahi permukaan pipi. Namun itu terjadi, Jiyeon mendongak dan berusaha menahannya. Sebab, ia tidak ingin terlihat lemah lagi. Terutama di depan Yerim, sosok asing yang sepatutnya dipertanyakan.
"Maafkan kata-kata ku yang melukai mu," sahut Yerim lirih. "Tapi—" sempat skeptis untuk melanjutkan, namun ia membulatkan tekad lagi. Menatap lekat iris Jiyeon yang berkaca-kaca. "Aku mendengar Jungkook mendesahkan namamu setiap kali kami bercinta. Tolong katakan, apa yang terjadi antara kau dengannya? Aku dan kakakku akan membantumu, Park Jiyeon."[]
Luv Tii
![](https://img.wattpad.com/cover/187199180-288-k841822.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Prisionero [M] ✔
Fanfiction[DIBUKUKAN; Discontinue] [E-BOOK BISA DIBELI KAPAN SAJA] Park Jiyeon hanya menginginkan satu harapan yang benar-benar akan membawanya kepada suatu kebebasan mutlak dari cara kerja dunia yang kelewat kejam ini. Maka, diantara ketiga itu, siapa yang l...