Dalam pelarian diriku yang terakhir, aku sempat maraton film dan drama berseri selama berhari-hari. Sementara pola ini tidak sehat dan aku sama sekali tidak membicarakan ini agar orang lain mencobanya (justru tujuanku adalah sebaliknya), ada satu film yang cukup menohok sehingga aku mulai merefleksikan kembali pilihan-pilihan yang telah kuambil dalam hidup (kalau boleh dibilang begitu, hehehe). Film yang aku bicarakan adalah Banyu Biru.
(Awas spoiler!---aku minta maaf, tapi aku sadar betul kalau aku bukan orang yang pandai menyensor diri. Apa yang kutulis di bawah mungkin mengandung spoiler mengenai filmnya. Kalau mau nonton terlebih dahulu, film ini bisa diakses melalui layanan Vidio Premier.)
Film yang dirilis pada tahun 2005 ini secara garis besar mengisahkan tentang perjalanan Banyu (Tora Sudiro) dalam menghadapi permasalahan hidupnya. Hubungan Banyu dengah ayahnya yang merenggang hebat pasca kepergian ibu dan adiknya berujung pada keputusan Banyu untuk pergi dari rumah dan hidup sendirian. Ayah Banyu sendiri (Slamet Rahardjo) dikisahkan sebagai seorang ilmuwan yang sibuk bekerja.
Dalam kehidupan barunya ini, Banyu menjalankan profesi sebagai customer service dan dia digambarkan sebagai yes man level akut. Sepanjang film digambarkan bagaimana orang-orang di sekitar Banyu minta tolong padanya untuk membantu menyelesaikan berbagai masalah, dari dimintai saran oleh teman yang sedang bertengkar dengan pasangannya sampai diminta menggantikan ikut seminar padahal Banyu jelas-jelas sedang sakit. Berhubung sakit kepalanya semakin parah, Banyu akhirnya memutuskan untuk rehat. Kebetulan pamannya mengundang Banyu untuk datang ke pesta pernikahannya. Kesempatan ini sekaligus dipakai Banyu untuk menengok rumah yang sudah lama ditinggalkannya. Dari sini, kita diajak mengikuti perjalanan Banyu untuk menemui ayahnya.
Aku tidak tahu sih seberapa akurat interpretasiku terhadap film ini. Yang jelas kesan pertamaku (dan yang secara jelas berulang kali ditegaskan dalam film) adalah bagaimana sebenarnya pengetahuan kita akan sesuatu itu terbatas. Apa yang kita pahami sebagai kenyataan, termasuk bagaimana kita memahami sebuah peristiwa, sangat erat kaitannya dengan sudut pandang kita. Sayangnya, sudut pandang kita terbatas. Sering kali kita berakhir meyakini sepenggal kenyataan sebagai sebuah cerita yang utuh. Kita mungkin merasa yakin, tapi selalu ada kemungkinan bahwa kita sebenarnya tidak tahu apa-apa. Kelanjutan dari ini adalah adanya kemungkinan bahwa kita larut dalam pemahaman yang salah akan suatu peristiwa. Bahwa yang kita pahami sebagai kenyataan tidak sepenuhnya benar atau bahkan melenceng jauh dari apa yang sebenarnya terjadi. Pemahaman yang sepenggal-sepenggal ini bisa jadi membawa kita pada kesimpulan yang salah.
Aku cenderung memaknai perjalanan Banyu menemui ayahnya ini sebagai sebuah bentuk konfrontasi atas pemahaman Banyu bahwa ayahnya hanya peduli pada pekerjaan saja. Dengan melakukan perjalanan ini, Banyu bukan hanya menantang kebenaran pikirannya sendiri. Banyu pada akhirnya menghadapi permasalahan yang selama ini, diakui atau tidak, mempengaruhi kehidupannya.
Di dalam pemahaman Banyu, ayahnya adalah seseorang yang hanya fokus pada pekerjaan dan dunianya sendiri. Banyu tidak melihat ayahnya sebagai sosok yang peduli pada keluarganya dan ini menyakiti Banyu. Namun, apakah Banyu benar-benar tahu apa yang terjadi? Banyu hanya bisa memastikan ini melalui konfrontasi. Pada akhirnya, ia harus bertemu dan bicara pada ayahnya. Banyu harus mendengarkan bagaimana peristiwa yang sama dipahami melalui sudut pandang yang lain.
"Kamu tahu apa, sih?" adalah kalimat favoritku sepanjang film. Setiap kali ayah Banyu menanyakan ini, aku akan ikut mengecek ulang berbagai pemikiranku. Aku akan ingat beberapa debat dengan keluarga ataupun hal-hal kecil yang diterjemahkan sebagai sesuatu yang menyakitkan oleh otak. Menurutku, hubungan dalam keluarga adalah salah satu hubungan paling kompleks karena kita jarang sekali terbuka dengan satu sama lain. Hubungan dengan lingkaran terdekat bisa terasa sangat jauh karena kita enggan menunjukkan kesulitan satu sama lain. Ketika Banyu terpuruk dengan kepergian ibu dan adiknya, Banyu hanya bisa merasakan penderitaannya saja. Kesibukan ayah dengan pekerjaan serta-merta dipahami sebagai pengabaian---ayahnya tidak peduli dengan keluarganya.
Namun, sekali lagi, Banyu hanya melihat rasa sakit hatinya. Ia melupakan interaksi kedua orangtuanya, kehangatan keluarga yang pernah ada, atau gestur-gestur kecil sarat kasih sayang oleh ayahnya. Dalam sakit hatinya, Banyu lupa bahwa ayahnya pun menghadapi kehilangan yang sama. Ia tidak memikirkan posisi ayahnya dalam situasi ini. Lagi-lagi, poin yang bagus oleh film ini. Menurutku, salah satu yang rumit mengenai hubungan dengan orang terdekat adalah bagaimana kita tidak selalu bicara dengan bahasa yang sama. Perasaan sakit hati ataupun harapan kita tidak selalu bisa dibaca oleh mereka, dan begitu pula sebaliknya. Kasih sayang mereka bisa jadi hadir dalam hal-hal yang tidak pernah kita pertimbangkan, sehingga kita tidak bisa menyadarinya.
Ketika di awal film menggambarkan Banyu sebagai orang yang selalu membantu orang lain memecahkan masalah mereka, aku melihatnya sebagai cara Banyu melarikan diri. Banyu mungkin berhasil mengatasi berbagai masalah dan mengatasi situasi sulit dalam pekerjaannya, tetapi ia tidak pernah benar-benar menghadapi permasalahan yang mengganggunya. Banyu melarutkan diri pada perasaan aman yang salah. Pada kenyataannya, entah berapa banyak masalah yang ia pecahkan, Banyu tidak beranjak ke mana-mana sampai ia menghadapi apa yang benar-benar mengganggunya. Film dengan cerdik menggambarkan ini sebagai sakit kepala Banyu yang semakin parah. Obat dari sakit kepala itu adalah pulang, menemui ayahnya dan menghadapi hal yang selama ini mengganggunya. Rantai pelarian diri Banyu beserta segala rasa sakitnya baru bisa berhenti setelahnya.
Di akhir film, ada kesadaran besar yang dipegang Banyu. Bahwa hidup ini singkat dan ia tidak mungkin bisa mengetahui segalanya dengan pasti. Pikiran manusia dan ingatan di dalamnya adalah hal yang licin, tak selalu bisa diandalkan. Banyu telah lama berlari tanpa benar-benar membuahkan hasil. Ia lama terjebak dalam pikiran yang menyakitinya, terlepas benar atau tidaknya pikiran itu. Sadar atau tidak, Banyu menolak untuk memastikan kebenarannya dengan memilih untuk terus kabur.
Ini rantai yang tak akan habis.
Pada akhirnya, Banyu menyadari bahwa ia harus berhenti menantang arus, mulai benar-benar menjalani hidupnya dan menghadapi masalahnya. Jika ia terus berjalan memutar, bukan tidak mungkin waktunya habis tanpa pernah meninggalkan titik yang sama.
Karya Teddy Soeriaatmadja ini mungkin salah satu film Indonesia terbaik yang pernah aku tonton. Warna-warna yang dipakai dan berbagai interaksi yang mengisi perjalanan Banyu berhasil membangun nuansa magis di dalam film. Kita mungkin nggak akan terkejut ketika pada akhirnya terungkap bahwa perjalanan panjang Banyu ternyata hanyalah mimpi. Cukup terasa dari pewarnaannya. Tapi, aku ingin melihat ini sebagai cara film menyampaikan bahwa yang bisa kita lakukan untuk menjalani hidup adalah dengan menjalaninya. Tak penting apakah permasalahan Banyu berhasil tuntas di dalam mimpinya. Permasalahan itu tidak akan pernah selesai jika Banyu tidak mengambil langkah apa pun di dunia nyata.
Hidup terus berjalan dan seringkali kita tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengendalikannya. Yang terbaik yang bisa kita lakukan mungkin adalah menerima dan menghadapi apa yang ada.
Ah, film ini benar-benar cantik dan akan tinggal dalam waktu yang lama meskipun sudah selesai nonton. Boleh dikatakan, film ini membuat penontonnya berhenti sejenak dan merenungkan apa yang baru saja ia simak. Kalau belum pernah nonton, aku sangat merekomendasikan untuk coba film ini sih. Kalau sudah nonton, menurut kalian filmnya bagaimana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Asal: Baca, Nonton, dan Pelarianku
Non-FictionJurnal asal, asal jurnal. Jurnal asal, bukan sembarang asal.