Chapter 4

5.1K 386 54
                                    

Sasuke membaringkan tubuhnya di atas kasur di kamar tamu dan terlarut dalam pemikirannya meski jam telah menunjukkan pukul dua malam.

Ia sama sekali tak bisa tidur meski telah berkali-kali berganti posisi dan memejamkan mata.

Sesungguhnya ia sama sekali tak bisa berhenti memikirkan soal pengakuan Sakura meski ia ingin memikirkannya. Ucapan wanita itu bagaikan sebilah pedang yang menghujam jantungnya dan menimbulkan luka yang dalam. Ia merasa begitu kecewa dan dikhianati.

Di saat seperti ini, seorang pria seharusnya merasa marah. Ia pun juga merasa begitu meski cenderung sedih dan kecewa.

Pada umumnya pria cenderung menjaga harga diri mereka dan tidak seharusnya terlihat lemah. Pria tidak seharusnya meneteskan air mata, namun dadanya terasa sesak dan sejak tadi ia berkali-kali membelalakan mata dan menyembunyikan wajah di balik bantal agar tak meneteskan air mata.

Perasaan membuncah dan jantungnya terasa sesak. Ia merasa marah, namun sadar bahwa dirinya juga ikut andil atas ketidakpuasan sang istri. Seandainya ia pernah bertanya jika wanita itu merasa puas atau tidak dan tidak memikirkan kepuasannya sendiri, situasi tidak akan serunyam ini.

Sekarang, apa yang bisa ia lakukan? Ia tak yakin bisa bersikap baik-baik saja seperti semula dengan istrinya. Rasanya ia tak ingin melihat wanita itu lagi meski di dalam hati ia masih tetap mencintai Sakura.

Apakah ia harus menceraikan Sakura seperti yang dilakukan pria pada umumnya saat tahu bahwa istrinya berselingkuh? Namun bagaimana dengan Sarada?

Memang, pernikahan yang dilandasi ketidakbahagiaan tidak hanya berdampak buruk pada relasi dengan istri, namun juga anak. Seorang anak yang dipaksa menyaksikan ketidakbahagiaan dalam pernikahan orang tua mungkin akan kesulitan mempercayai lawan jenis. Namun jika sebuah keluarga yang awalnya baik-baik saja mendadak harus berpisah, bukankah itu juga tidak baik?

Sekarang, apa yang harus ia lakukan? Seandainya Sarada telah kembali nanti, haruskah ia berpura-pura bersikap baik pada Sakura dan menelan segala kekecewaannya demi terlihat harmonis di mata putri semata wayangnya atau dengan jujur mengakui bahwa ia dan Sakura sedang tidak baik-baik saja?

Setiap mengingat Sakura, ia teringat akan rasa cinta yang hingga kini masih tersisa di hatinya. Namun di saat yang sama ia teringat akan sebuah pengkhianatan dan hatinya terasa nyeri seketika.

Bagaimanapun juga, rasa cinta tidak tumbuh dalam satu detik, maka tak mungkin pula sirna dalam satu detik. Semakin lama waktu yang diperlukan agar rasa cinta dapat bertumbuh, biasanya akan semakin lama pula waktu yang diperlukan untuk menghapus rasa cinta itu.

Pada akhirnya Sasuke merasa tak kuat lagi menahan perasaannya. Kali ini ia memeluk bantalnya sendiri dan menundukkan kepala, meneteskan air mata yang tak lagi disembunyikannya.

.

.

Seandainya manusia bisa melakukan teleportasi, Sakura akan memilih untuk melakukannya di detik ketika Sasuke menatapnya dengan tatapan yang paling menghancurkan hati. Lelaki itu menatapnya dengan tatapan yang menyiratkan kemarahn, kekecewaan dan juga kesedihan di sana. Ia bahkan belum pernah menyaksikan suaminya menatap seseorang dengan cara seperti itu selama bertahun-tahun mengenalnya.

Sepertinya, ketimbang kemampuan teleportasi, ia jelas lebih membutuhkan sebuah mesin waktu. Ia perlu menyadarkan dirinya sendiri agar tak membuat kesalahan bodoh dengan memilih berselingkuh, bukan mendiskusikan masalah yang sesungguhnya.

Jika dibandingkan, efek yang didapat dari mendiskusikan masalah akan lebih baik. Memang benar hubungan mereka mungkin akan merenggang sesaat karena ia menyerang harga diri sang suami dengan mengaku bahwa ia tidak puas dengan lelaki itu. Namun sesudahnya, bukan tidak mungkin jika Sasuke memilih memperbaiki dirinya dengan berusaha mengeksplorasi seks lebih dalam.

Vanilla Man (Sasuke.U x Sakura.H Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang