#O1. Tulip

10 2 0
                                    

Sambil menunggu seseorang datang Sena menatap sekitar. Ia melirik bunga tulip yang tumbuh dengan baik di sekitar cafe. Mungkin jika tidak mendung bunga itu terlihat lebih bersemangat. Tapi hanya karena mendung yang begitu pekat mereka--tulip--terlihat layu dan murung. Seakan akan kehilangan cahaya untuk hari harinya.

   Untungnya Sena bersinggah sebentar di Cafe yang terkenal estetik di kotanya, Lotus cafe. Suasana hijau-putih menambah kesan estetik tipe pastel. Banyak pajangan dinding yang indah dan dekorasi emas yang mempercantik ruangan. Terlebih lagi saat melihat tulip, Sena merasa segar. Sayang dengan nama Lotus, bunga tulip kurang pas diletakkan didalam pot yang ada disekitar sudut cafe. Tapi tak mungkin juga jika ada bunga teratai di dalam cafe. Itu akan basah dan licin.

Sena membolak balik ponselnya. Satu temannya itu memang lelet saat melakukan hal apapun. Memang, dia sosok payah. Padahal ini bukan kencan atau jalan jalan semacamnya. Hanya acara yang mendadak diadakan Sena untuk menceritakan hari buruknya kemarin soal lelaki yang menurutnya menyebalkan bahkan mendekati bejat. Sena sudah menekankan jika datang tepat waktu, tapi sepertinya temannya itu sibuk pada playstation-nya yang baru saja didapatkan dari kakaknya yang bekerja di California.

"Aish! Gibran itu ngapain sih lama banget,"Sena mengetukkan dagunya dimeja sambil menunggu lelaki bernama Gibran.

"Sena!"

Gibran berteriak didalam cafe. Ia memanggil nama Sena, tapi membuat semua orang menoleh ke arahnya. Sena menutup wajahnya malu. Memang temannya yang satu ini sedikit ganjil.

"Jangan teriak teriak bego!"kesal Sena sambil menjitak kepala Gibran.

Gibran yang ditunggu lama sekali hanya datang dengan kaus hitam, celana jeans panjang selembar uang 50.000 dan kunci mobil. Benar benar. Sena pikir Gibran akan berdandan dengan rapi layaknya anak jaman sekara.g yang minimal hanya memakai hoodie.

"Sen, bayarin ya gue mau pesen makan. Laper."ujar Gibran setelah memanggil pelayan.

"Kok gue? Kan lo cowok, yang bener elo yang bayar!"kesal Sena.

  Gibran tak menggubris, ia sibuk memesan makanan.

"Oh iya, Sen. Gua udah pesen sekalian makanan favorit lo, lo terima jadi dan tinggal bayar aja."jelas Gibran sambil melihat ke arah kaca. Ia membenahi rambutnya yang berantakan.

  Kalau begini caranya mood Sena bisa bertambah hancur. Sena sedikit menyesal mengajak Gibran datang untuk mendengarkan curhatannya. Yang benar hanya menangis. Menangis saja. Sena teringat—lebih tepatnya memikirkan Reno. Mantan pacarnya yang kepergok selingkuh dan malah pura pura tak mengenal Sena dan menggap Sena adalah orang gila. Dengan memikirkan itu mimik wajah Sena berubah seperti bayi yang hampir menangis sebelum menangis kencang.

   Pesanan datang. Dan Sena masih menahan tangisnya sambil meremas rok dressnya kuat kuat. Belum nangis tapi terdengar suara sesenggukan dari Sena sontak membuat Gibran mendongak. Ia meletakkan ponselnya lalu melihat Sena yang memasang tampang ingin menangis. Gibran gemas, tapi ia merasa bersalah. Baru beberapa detik yang lalu ia sadar mengapa ia datang ke cafe, apalagi ada Sena didepannya. Padahal biasanya Gibran jajan di warung biasa yang terpenting ada wifi gratis disana. Kini ia jajan di cafe, bersama Sena. Yang niat awalnya adalah menjadi pendengar yang baik untuk Sena yang sedang rapuh hatinya.

"Eh, Sen. Sena, Sen kok nangis? Sen?"

Tangis Sena akhirnya pecah. Ia menundukkan kepala dan menangis sambil sedikit mengoceh.

"Jangan panggil panggil gue Sen, Sen dong! hiks.. lo kira gue sendok apa hah? hiks.."jelas Sena dengan suara yang sedkit keras. Suara tangisnya membuat Sena dan Gibran menjadi pusat perhatian.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 30, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sena&GibranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang