Nila Komala menjatuhkan dirinya dan menangis di pangkuan seorang laki-laki tua berjubah putih yang duduk di atas sebongkah batu putih pipih. Laki-laki tua yang tengah bersemadi itu terkejut dan segera membuka matanya. Dia semakin terkejut saat melihat seorang gadis menangis menelungkup di pangkuannya. Tangan yang kurus berkulit putih itu bergerak mengelus rambut hitam tebal bergelombang di pangkuannya.
"Ada apa, Cucuku? Kenapa datang-datang menangis?" Lembut sekali suara laki-laki tua itu.
"Eyang...," Nila Komala mengangkat kepalanya.
Tampak seluruh wajah gadis itu bersimbah air mata. Laki-laki tua yang ternyata Eyang Brantapati itu memandangi wajah Nila Komala yang dibasahi air mata. Lembut sekali dia menghapus air mata gadis itu, kemudian membawanya duduk di atas batu, tepat di sampingnya.
"Apa yang terjadi?" Tanya Eyang Brantapati tetap lembut nada suaranya.
"Ayah, Eyang...," tersendat suara Nila Komala.
"Kenapa ayahmu, Cucuku?"
"Dibunuh."
Eyang Brantapati menatap dalam-dalam bola mata gadis itu, kemudian menarik napas panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Pelahan-lahan kepalanya tertunduk. Dielus-elus jenggotnya yang putih dan panjang, sampai menutupi leher.
"Sudah kuduga, peristiwa ini pasti terjadi..," gumam Eyang Brantapati.
"Eyang...," masih tersendat suara Nila Komala.
"Aku pernah mengatakan hal ini padamu, bukan? Seharusnya kau bisa menjaga ayahmu agar lebih hati-hati lagi. Tapi, yaaah.... Semua sudah terjadi, dan ini memang bukan salahmu."
Nila Komala tertunduk. Ancaman itu memang pernah didengarnya. Dan dia telah dipesankan oleh Eyang Brantapati untuk berhati-hati dalam menjaga ayahnya. Tapi sampai ayahnya meninggal terbunuh, dia masih belum bisa mengerti, mengapa gurunya ini berpesan seperti itu. Pelahan Nila Komala mengangkat kepalanya. Ditatapnya dalam-dalam bola mata laki-laki tua di sampingnya.
"Eyang, kenapa ada orang yang ingin membunuh ayahku?" Tanya Nila Komala setelah agak tenang.
"Hhh...!" Eyang Brantapati menarik napas dalam-dalam.
"Itulah yang selalu menjadi pertanyaanku sampai sekarang ini, Cucuku. Aku sendiri tidak tahu, mengapa begitu banyak orang ingin mencelakakan ayahmu. Dan sekarang...," suara Eyang Brantapati terputus.
"Eyang tidak tahu...?" ada kekecewaan pada nada suara Nila Komala.
"Dulu ayahmu memang pernah mengatakan kalau dirinya terancam, Hal itu dikatakannya sewaktu kau masih kecil. Itu pula sebabnya mengapa kau dikirim ke sini untuk mempelajari ilmu olah kanuragan dan ilmu-ilmu kesaktian. Dia ingin agar kau bisa menjaga diri dan menghadapi semuanya," pelan sekali suara Eyang Brantapati.
"Menghadapi siapa, Eyang?" desak Nila Komala, tak dapat lagi membendung rasa ingin tahunya.
"Sayang sekali, ayahmu tidak mengatakan lebih jauh lagi. Aku sendiri tidak pernah tahu, kenapa dirinya merasa terancam. Bahkan tampaknya dia tidak peduli sama sekali," sahut Eyang Brantapati.
"Eyang..., apa ini ada hubungannya dengan Seruling Perak?" Tanya Nila Komala.
"Seruling Perak...?!" Eyang Brantapati tampak terkejut. Keningnya sampai berkerut dalam. Dan kedua bola matanya menyipit menatap tajam Nila Komala.
"Benarkah musuh Ayah si Seruling Perak, Eyang?" Desak Nila Komala sambil menahan tekanan suaranya.
"Entahlah...," desah Eyang Bagaspati. Nila Komala menghembuskan napasnya. Ada nada kekecewaan pada sorot mata gadis itu. Semula diharapkan Eyang Brantapati mengetahui tentang semua peristiwa yang di alaminya ini. Tapi rupanya laki-laki tua pertapa ini juga tidak mengetahui banyak. Nila Komala merasa kedatangannya kembali ke pertapaan ini jadi sia-sia belaka. Gadis itu beranjak bangkit dari hendak melangkah keluar dari gua ini.
"Mau ke mana kau?" tegur Eyang Brantapati sebelum Nila Komala mengayunkan kakinya.
"Mencari pembunuh Ayah," sahut Nila Komala.
"Ke mana?" Tanya Eyang Brantapati.
"Entahlah," sahut Nila Komala.
Gadis itu memang tidak tahu harus ke mana untuk mencari pembunuh ayahnya. Apa lagi untuk mengetahui pelakunya. Memang ada satu-satunya petunjuk, yakni harus mencari laki-laki tua kecil yang berjuluk si Seruling Perak. Sebelum menghembuskan napas yang terakhir, Paman Mataun menyebut nama Seruling Perak. Inilah satu-satunya petunjuk untuk mencari pembunuh ayahnya.
Eyang Brantapati beranjak turun dari batu yang didudukinya. Langkahnya dibantu oleh sebatang tongkat, bergerak menghampiri Nila Komala. Laki-laki tua itu menepuk pundak gadis itu, lalu mengajaknya keluar dari dalam gua batu ini. Gua yang tidak begitu besar, tapi nampak bersih dan terawat. Mereka berjalan bersisian tanpa berkata-kata lagi, dan baru berhenti setelah sampai di depan gua. Tampak sebuah pondok kecil berdiri merapat ke dinding batu cadas pada bagian belakangnya. Di pondok kecil itu dulu Nila Komala tinggal sambil menuntut ilmu pada pertapa tua ini.
"Di mana mereka membunuh ayahmu?" Tanya Eyang Brantapati.
"Di Lereng Bukit Paderesan sebelah Barat" Sahut Nila Komala.
"Tepatnya?"
"Dekat sungai kecil"
Eyang Brantapati bergumam.
"Ada apa, Eyang?" Tanya Nila Komala merayapi wajah laki-laki tua itu.
"Aku tidak mengerti, mengapa ayahmu selalu pergi ke lereng bukit itu. Dia pasti mengajakmu dengan alasan berburu, bukan?"
"Benar."
"Padahal semua orang tahu, bahkan kau juga tahu kalau di sana bukan tempatnya untuk berburu."
"Ayah selalu melewati tempat itu, Eyang. Memang, untuk mencapai hutan perburuan seharusnya tidak perlu memutar begitu jauh. Dari kaki bukit sebelah selatan saja bisa lebih dekat. Bahkan kalau mau bisa melalui perbatasan sebelah utara. Tapi Ayah selalu memilih jalan itu, Eyang," jelas Nila Komala.
"Dan yang pasti ada alasannya," selak Eyang Brantapati.
"Maksud Eyang?" Nila Komala tidak mengerti.
"Seperti yang kau katakan tadi. Seruling Perak..," sahut Eyang Brantapati.
"Seruling Perak..?!" Nila Komala terkejut mendengarnya.
"Hanya itu satu-satunya petunjuk buntu yang dimiliki sampai sekarang. Aku tidak tahu, apa hubungannya antara ayahmu dengan si Seruling Perak? Juga dengan Partai Tengkorak Merah...."
"Sebentar, Eyang!" sentak Nila Komala tiba-tiba.
"Ada apa, Cucuku?"
Nila Komala tidak langsung menjawab. Ingatannya kini tertuju pada mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitar Istana Kadipaten Panjawi. Di antara mayat-mayat berseragam prajurit, juga terdapat mayat- mayat berbaju merah dengan gambar tengkorak pada bagian dadanya.
"Eyang, apakah orang-orang Partai Tengkorak Merah selalu mengenakan baju merah dan bergambar tengkorak di dada?" Tanya Nila Komala.
"Ya," sahut Eyang Brantapati.
"Benar, Eyang...?!" Nila Komala tidak percaya.
"Ada apa, Cucuku?"
"Eyang, sekarang ini istana kadipaten sudah hancur. Disana aku menemukan beberapa mayat mengenakan baju merah bergambar tengkorak di dadanya bercampur dengan para prajurit yang tewas. Aku yakin, merekalah yang menghancurkan istana kadipaten dan juga yang membunuh Ayah," kata Nila Komala mencoba menjelaskan dengan singkat.
"Hm..., berarti benar mereka yang melakukannya," gumam Eyang Brantapati.
"Eyang, apakah orang-orang Partai Tengkorak Merah memiliki dendam pada Kadipaten Panjawi?" Tanya Nila Komala.
"Entahlah, aku tidak tahu. Tapi mereka ini memang sudah terkenal berkemampuan tinggi dan sukar diberantas. Jago-jago dari kerajaan pun tidak mampu mengatasinya. Hanya, sekarang ini aku tidak pernah lagi mendengar kabarnya. Dan terakhir kudengar, mereka kini berada di daerah Hulu Sungai Bacan. Jadi, sudah berada di luar batas wilayah kerajaan, Cucuku," jelas Eyang Brantapati.
"Apa mereka bukan anak buah si Seruling Perak?" tebak Nila Komala.
“Tidak! Seruling Perak adalah seorang pendekar beraliran putih. Tapi sudah hampir dua puluh tahun ini aku tidak lagi mendengar namanya."
"Eyang, belum lama ini aku telah bertemu dengannya."
"Oh...!" Eyang Brantapati nampak terkejut.
"Bagaimana ciri-cirinya?"
"Orangnya sudah tua, bertubuh kecil seperti anak berumur dua belas tahun, dan rambutnya putih panjang, terikat kain berwarna hitam pekat. Dia selalu membawa seruling berwarna perak," Nila Komala menjelaskan.
Eyang Brantapati menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kenapa, Eyang?" Tanya Nila Komala.
"Dia bukan Seruling Perak," sahut Eyang Brantapati.
"Kalau bukan si Seruling Perak, lalu siapa?" Nila Komala jadi kebingungan.
Eyang Brantapati tidak segera menjawab. Sementara Nila Komala menatap dalam-dalam wajah laki-laki tua itu. Pikirannya benar-benar bingung dan tidak mengerti akan semua ini. Kalau orang tua bertubuh kecil itu bukan si Seruling Perak, lalu siapa? Dan siapa pula orang-orang berbaju merah dengan gambar tengkorak di dada itu? Berbagai macam pertanyaan berkecamuk di benak Nila Komala. Ternyata kematian ayahnya berbuntut panjang, dan tidak dimengerti sama sekali. Sedangkan orang yang diharapkan bisa membantu banyak juga tidak mengetahui. Bahkan malah membuatnya semakin bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
35. Pendekar Rajawali Sakti : Seruling Perak
ActionSerial ke 35. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.