BAGIAN 5

821 35 0
                                    

Tidak seperti hari-hari yang lalu, pagi ini tak terdengar lagi alunan seruling yang menyongsong datangnya sang surya menyinari permukaan bumi. Sejak runtuhnya Istana Kadipaten Panjawi, suara seruling itu tak pernah terdengar lagi. Dan seluruh rakyat kadipaten jadi merindukan alunan merdu yang sudah melekat di telinga. Tapi tak ada seorang pun yang mencoba untuk mencari tahu, mengapa suara seruling itu tidak mengalun lagi. Kadipaten Panjawi ini bukan lagi kadipaten yang dulu. Kini wilayah kadipaten itu dikuasai orang-orang biadab yang mengatur dengan tangan besi.
Kadipaten Panjawi yang dulu selalu ramai, kini terlihat sepi bagai kota mati tak berpenghuni. Tak terdengar lagi canda tawa. Tak ada lagi terlihat kesibukan para petani dan pekerja. Dan tak terlihat lagi anak-anak berlarian, bermain di sepanjang jalan. Semuanya sunyi lengang, bahkan hampir tidak terlihat adanya orang di luar rumah.
Kesunyian itu mendadak saja pecah oleh suara teriakan dan jerit pekik membahana diselingi denting senjata beradu. Suara- suara gaduh itu datang dari halaman reruntuhan Istana Kadipaten Panjawi. Tampak seorang gadis berparas cantik mengamuk dengan pedang di tangan. Di sekitarnya terlihat mayat-mayat bergelimpangan tumpang tindih tak tentu arah. Gadis itu ternyata adalah Nila Komala yang mengamuk menghajar orang-orang berbaju merah, dan bergambar tengkorak pada bagian dadanya.
"Maju kalian semua, iblis-iblis keparat!" Seru Nila Komala lantang.
"Hiyaaat..!"
Tidak terhitung lagi, berapa tubuh bergelimpangan berlumuran darah terbabat pedang gadis itu. Nila Komala bagai seekor singa betina kehilangan anaknya. Amukannya membabi buta, menghajar setiap orang berbaju merah tanpa berkedip sedikit pun. Gadis itu bertarung dengan kemarahan meledak di dalam dada. Sedikit pun tidak memberi kesempatan pada lawan-lawannya untuk balas menyerang.
"Tahan...!" Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar.
Seketika itu juga orang-orang yang tengah mengeroyok Nila Komala berlompatan mundur. Tampak di undakan bagian depan reruntuhan istana kadipaten, berdiri seorang berjubah merah. Wajahnya ditutup topeng berbentuk wajah kera berwarna keperakan. Di belakang orang berjubah merah itu berjajar sekitar dua puluh orang bertopeng muka kera! Mereka semua memegang senjata berbentuk sabit yang tipis melengkung. Sementara Nila Komala berdiri tegak sambil menatap tajam menusuk. Dadanya bergerak turun naik demikian cepatnya.
"Sudah kuduga, kau pasti datang ke sini..," kata orang berjubah merah dan bertopeng kera itu.
"Hm... siapa kau?" dengus Nila Komala tajam.
"Kau tidak perlu tahu siapa diriku, Nila Komala. Serahkan saja potongan seruling perak padaku!"
Nila Komala terdiam. Sama sekali tidak dimengerti maksud kata-kata orang bertopeng kera berwarna keperakan itu. Tapi sedikit banyak, sudah bisa diraba, apa yang sedang terjadi sebenarnya. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Memang tidak mudah baginya mengalahkan mereka yang berjumlah begitu banyak. Untuk bisa lolos saja, sudah untung.
Ada sedikit penyesalan di hati Nila Komala yang tidak memperhitungkan untung ruginya datang ke sini. Meskipun sudah puluhan orang berhasil dirobohkan, tapi bukan berarti bisa lolos dengan mudah. Apalagi menghancurkan mereka. Tapi mengingat harus membalas kematian ayahnya, gadis itu telah bertekad. Apa pun yang akan terjadi, orang-orang bertopeng kera ini harus bisa dihancurkan.
"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan!" Lantang suara Nila Komala.
"Dengar bocah! Ini bukan saatnya bermain-main!" bentak orang bertopeng kera itu.
"Kau pikir aku main-main, heh...?" Tiba-tiba saja Nila Komala berteriak nyaring. Dan bagai kilat dia melompat sambil mengibaskan pedangnya. Sebelum ada yang menyadari, telah terdengar jeritan melengking tinggi, disusul ambruknya tiga orang yang mengepung gadis itu. Nila Komala kembali berdiri tegak di tengah-tengah sambil menyilangkan pedang di depan dada. Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis.
"Tangkap dia hidup-hidup!" perintah orang bertopeng kera itu.
Seketika dua puluh orang yang berdiri di belakangnya berlompatan. Dari batik baju, mereka mengeluarkan tambang panjang yang memiliki dua bandulan besi pada ujungnya. Mereka mengepung Nila Komala. Lincah sekali mereka memutar-mutar tambang itu.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Dua puluh orang itu melemparkan tambangnya secara serentak. Tambang- tambang itu bertebaran di sekeliling Nila Komala. Dan belum lagi gadis itu bisa melakukan sesuatu, tambang-tambang itu sudah membentuk jaring melingkari tubuh- nya. Nila Komala cepat menggerakkan pedangnya.
"Hiyaaat..!" Tas! Slap!
Tiga utas tambang terbabat putus. Tapi beberapa tambang lain melingkari tubuh ramping gadis itu. Nila Komala berusaha melepaskan diri dari belitan tambang yang semakin banyak dan kuat menjepit tubuhnya. Tangannya yang memegang pedang dan masih bebas, berusaha memutuskan tambang-tambang itu. Tapi dua puluh orang itu sudah bergerak cepat memutari tubuhnya. Bahkan ada beberapa orang yang berlompatan melewati kepalanya. Nila Komala semakin terjepit. Ruang geraknya pun semakin menyempit dan terbatas.
"Keparat..!" geram Nila Komala.
Nila Komala berusaha melepaskan diri dari jeratan tambang-tambang di tubuhnya. Tapi semakin keras memberontak, semakin kuat tambang-tambang itu membelit tubuhnya. Gadis itu benar-benar tidak berdaya lagi. Pedangnya sudah menggeletak di tanah, dan tubuhnya sama sekal tidak berdaya ketika orang-orang itu menyeretnya hingga terguling ke tanah.
"Kurung dia!" perintah orang bertopeng kera itu.
"Bajingan! Keparat..! Kubunuh kau!" maki Nila Komala.
"Ha ha ha...!"

35. Pendekar Rajawali Sakti : Seruling PerakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang