BAGIAN 3

906 34 0
                                    

Nila Komala berdiri mematung sambil memandangi gundukan tanah merah yang masih baru di depannya. Mereka baru pagi ini dapat menguburkan mayat Adipati Panjawi yang sudah hangus terbakar. Sementara Rangga masih merapikan kuburan Eyang Jayanggu yang ikut terbakar dalam pondoknya.
Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah menghampiri Nila Komala, dan menepuk pundaknya dengan lembut Gadis itu berpaling. Tak ada lagi air mata terlihat di pipinya, meskipun kedua mata gadis itu masih merembang. Dua kali dalam hidupnya disaksikan kematian tragis seperti ini. Pertama, saat masih kecil. Ibunya tewas terbakar dalam pondok peristirahatan. Dan sekarang ayahnya pun tewas dengan cara yang sama. Terbakar dalam pondok setelah terlebih dahulu ditembus tiga batang panah berwarna hitam.
"Aku yakin..., pasti mereka yang melakukan...," desis Nila Komala tanpa sadar.
"Nila...," tegur Rangga lembut.
"Hhh...," Nila Komala menarik napas panjang, kemudian memutar tubuhnya dan melangkah pelahan-lahan.
Rangga mengikuti, dan mensejajarkan langkahnya di samping gadis itu. Mereka terus berjalan pelahan-lahan tanpa berkata sedikit pun, sepertinya tanpa tujuan yang pasti. Tak terasa, mereka sudah demikian jauh. Tiba-tiba Nila Komala berhenti melangkah begitu di depannya terlihat sebuah bangunan batu yang merupakan tanda dari Kota Kadipaten Panjawi.
Pandangan gadis itu beralih pada seseorang yang duduk di bawah sebatang pohon rindang. Tidak jauh darinya terlihat beberapa ekor domba tengah merumput. Orang itu sama sekali tidak menyadari kalau dirinya tengah diperhatikan, dan terus asyik meniup serulingnya yang berwarna keperakan. Pelahan-lahan Nila Komala melangkah menghampiri, lalu berhenti sekitar tiga langkah lagi di depan orang yang bertubuh kecil dan berperut buncit itu.
Orang yang tingginya sebaya dengan anak berumur dua belas tahun itu mengenakan baju putih dan celana hitam sebatas lutut. Walaupun tubuhnya kecil, tapi wajahnya sudah tua dengan janggut dan kumis putih panjang. Kepalanya yang ditumbuhi rambut putih, terikat kain lusuh berwarna hitam pekat. Seketika dihentikan tiupan serulingnya, dan diangkat kepala menatap Nila Komala. Di belakang gadis itu berdiri Pendekar Rajawali Sakti.
"He he he..., kau tertarik oleh suara serulingku?" suara laki-laki kecil tua itu terdengar serak dan kering.
"Indah sekali," ucap Nila Komala.
"Kalau begitu, duduklah di sampingku," wajah laki-laki tua seperti anak kecil itu berseri-seri.
Nila Komala menempatkan dirinya di samping laki-laki tua itu, sedangkan Rangga duduk bersila didepannya. Tanpa diminta, laki-laki bertubuh kecil itu meniup serulingnya kembali. Terdengar alunan lembut yang menghanyutkan. Sungguh indah tiupan seruling perak itu, sehingga membuat Nila Komala tertegun.
Tapi tidak demikian halnya Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu bisa merasakan adanya pengerahan tenaga dalam dari tiupan seruling itu, dan terasakan semakin kuat. Rangga melirik Nila Komala yang nampak mengantuk. Kelopak matanya mulai turun, dan akhirnya jatuh tertidur. Rangga berpaling menatap laki-laki bertubuh kecil namun sudah berumur itu.
"He he he...," laki-laki itu terkekeh setelah menghentikan tiupan serulingnya.
Dielus-elus serulingnya bagai mengelus sesuatu yang amat berharga dan disayanginya. Kemudian diselipkan seruling berwarna perak itu di balik ikat pinggangnya. Rangga masih memandangi tidak berkedip. Masih terasa kekuatan dari irama tiupan seruling tadi.
"Biarkan dia tidur. Jiwanya begitu lelah...," ujar laki-laki tua itu.
"Hmmm...," Rangga hanya bergumam saja.
Sedikit diliriknya Nila Komala yang tertidur pulas di samping laki-laki bertubuh kecil bagai seorang bocah berusia dua belas tahun itu.
"Dia adikmu...? Atau kekasihmu?" Tanya laki-laki tua itu.
"Bukan," sahut Rangga kembali menatap agak dalam.
"Aku merasakan adanya goncangan berat pada jiwanya. Begitu lelah, seperti mendapat tekanan berat," tebak laki-laki tua bertubuh kecil itu seraya menatap Nila Komala.
"Kisanak, siapa kau sebenarnya?" Tanya Rangga, agak heran juga dengan tebakan laki-laki di depannya yang begitu tepat.
Nila Komala memang baru saja mendapat guncangan jiwa yang sangat hebat Dan. Rangga jadi curiga, karena laki-laki tua ini seperti sudah tahu semuanya. Laki-laki tua itu terkekeh, dan kembali menatap pemuda di depannya.
"Belum ada seorang pun yang bertanya begitu padaku. Biasanya mereka hanya memandang tidak peduli, meskipun aku sudah berbuat banyak untuk mereka," ungkap laki- laki tua itu. Ada nada keluhan dalam suaranya.
"Boleh aku tahu namamu, Kisanak?" Tanya Rangga lembut.
"He he he...! Entahlah, Anak Muda. Aku sendiri sudah lupa siapa namaku. Tapi orang-orang selalu memanggilku si Seruling Perak Yaaah..., mungkin karena setiap hari selalu meniup seruling ini," laki-laki itu menepuk-nepuk seruling perak yang terselip di pinggang. Rangga melirik Nila Komala yang masih tertidur lelap.
"Aku hanya memberinya sedikit ketenangan jiwa. Sepertinya dia butuh istirahat banyak," kata si Seruling Perak, seolah-olah bisa mengerti arti lirikan Pendekar Rajawali Sakti.
"Maaf, Kisanak tadinya aku...”
"He he he... Sudahlah, Anak Muda. Aku bisa memahami," potong si Sending Perak cepat. "Kau bukan saudaranya, juga bukan kekasihnya. Lantas, kau ini apanya?"
"Hanya teman yang kebetulan bertemu di jalan. Hhh.. Namaku Rangga, Kisanak," sahut Rangga seraya memperkenalkan diri.
"Aku tahu," ringan sekali suara Seruling Perak.
"Kau tahu..?" Rangga heran juga.
“Tentu. Sejak melihatmu, aku sudah tahu siapa dirimu. Itu sebabnya aku bertanya, apakah wanita ini saudaramu atau kekasihmu. Sebab yang kudengar, kau biasanya berjalan bersama kekasihmu. Hmmm.... Siapa ya, namanya...? Oh, iya! Pandan Wangi.... Benar?"
Rangga tersenyum seraya mengangguk. Tapi dari sorot matanya masih terpancar keheranan, karena si Seruling Perak bisa mengetahui persis tentang dirinya.
“Wanita ini pasti bukan Pandan Wangi, karena tidak membawa kipas yang menjadi senjata utamanya," tegas Seruling Perak.
"Memang benar, Ki. Dia bernama Nila Komala, putri Adipati Panjawi," jelas Rangga.
"Oh..., penguasa kadipaten ini?"
"Benar."
"Kenapa bisa berada di sini bersamamu? Bukankah Adipati Panjawi dan putrinya sedang berburu?" Tanya Seruling Perak.
"Sukar untuk dijelaskan, Kisanak. Tapi aku yakin kau sudah bisa menduga," sahut Rangga.
"He he he.... Kau begitu cepat sekali menangkapku, Pendekar Rajawali Sakti. Tidak percuma kau menjadi tokoh nomor satu saat ini," ujar Seruling Perak seraya terkekeh. Rangga hanya tersenyum saja.
"Gadismu sudah bangun," kata Seruling Perak seraya melirik Nila Komala.
"Hanya teman," Rangga meralat.
"He he he...."

35. Pendekar Rajawali Sakti : Seruling PerakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang