Monolog Cinta

1 0 0
                                    

Pagi ini, seperti biasa, aku berdiri di halte, menanti bus yang akan membawaku ke kantor.

"Hi, Do!" sapa seseorang yang dibarengi tepukan di pundak.

"Hi," balasku tak acuh. Ronald, teman sekantor, akhirnya tiba. Embun putih mengiringi setiap ucapan kami.

"Sudah lama menunggu?" sambung Ronald.

"Ah, belum lama, kok. Baru juga tiga bus rute kita yang terlewat," sahutku santai.

"Buset! Rajin amat!" seru Ronald.

Aku tersenyum simpul. "Daripada sumpek di apartement, Ron, lebih baik aku berlama-lama di sini. Asik juga, lho, menyaksikan kelakuan para calon penumpang."

Ronald memandang sekeliling,  lalu terbahak seraya memukul pundakku.

"Pantas saja kamu betah di halte ini. Cewek sini cantik-cantik!" serunya.

Aku hanya tersenyum kecut.

"Sudah lah, 'Bro', jangan jadi pungguk yang merindukan bulan. Nama kita mungkin kebule-bulean, tapi wajah kita gak akan bohong! Mana ada cewek bule mau sama cowok macam kita? Beli mobil sport dulu, kalau mau!" ejek Ronald.

Lagi-lagi aku tidak membantah ejekannya.

"Cowok pekerja migran seperti kita memang merana. Bahkan cewek Asia pun lebih suka mencari cowok bule," gumam Ronald. Kepalanya mengangguk perlahan, mengarahkan perhatianku kepada sepasang muda-mudi yang turun dari sebuah bus, bergandengan mesra. "dan, parahnya, cowok bule senang mendapatkan perempuan Asia!"

Ronald menggerutu sambil menghempaskan puntung rokok lalu menggilasnya dengan kaki, mungkin membayangkan wajah si pria kulit putih tadi.

"Hei, Ron, aku senang mengamati tingkah manusia, bukan sedang mencari jodoh di sini," jelasku sambil tertawa kecil. "Kok jadi kamu yang emosi?"

"Tuh, lihat, misalnya," bisikku, "cowok yang tampak muram itu, dari pakaian yang dia kenakan, sepertinya dia mahasiswa. Kemungkinan dia sedang memikirkan tugas dari kampus."

"Atau cewek bermata sembab yang bersandar di tiang," lanjutku, "kemarin dia terlihat ceria saat tiba di sini bersama pasangannya. Mungkin hari ini dia ada masalah dengan si pasangan."

"Gila, kurang kerjaan sekali kau!" seru Ronald tertahan mendengar penjelasanku.

"Oke, kalu begitu, bagaimana dengan wanita tua yang duduk di sudut sana?" tantangnya kemudian.

Aku mengikuti arah pandangan Ronald.

Bersamaan dengan itu, dari arah si nenek, sepasang manusia tiba di halte. Tidak ada yang istimewa dari mereka. Si cowok ramai bercerita tentang rencana-rencananya hari ini, si cewek merespon dengan jawaban pendek dan standar. Wajahnya yang terpigura rambut sebahu tampak bagaikan ramuan muram dan bosan.

Sekilas si wanita menoleh ke arahku, membuatku tergagap mengalihkan pandangan.

"Oh, nenek itu selalu membawa bungkusan dan naik bus nomor 69, entah ke mana, tapi kadang aku melihat beliau turun dari bus dengan nomor yang sama di sore hari, bersamaan dengan kita yang turun dari bus yang kita tumpangi saat kita pulang kerja," jelasku, sedikit grogi, mencoba mengalihkan pikiran dari si cewek.

Pasangan tersebut berdiri tidak sampai satu meter dari kami, lebih dekat ke jalan. Posisi mereka membuatku bisa mencuri pandang, menikmati lekuk liku wajah dan tubuh si wanita. Angin semilir membawa harum lembut parfum, memaksaku menghirup napas dalam-dalam, sungguh menyiksa. Si cowok tetap asyik berceloteh tentang impian dan rencana bagi mereka berdua. Terlalu sibuk dengan masa depan, tapi tidak menyadari perasaan pasangannya saat ini, apalagi tentang keberadaanku, pengagum rahasia si wanita.

"Mampus! bakat jadi detektif kau, bah!" ejek Ronald sambil tersenyum lebar.

Kata orang, kita bisa merasakan jika sedang diamati lekat-lekat sedang dari belakang. Aku tidak pernah merasakan hal itu, mungkin karena tidak peka, atau karen tidak pernah ditatap seperti itu. Yang jelas gadis itu tiba-tiba menoleh lagu ke arahku. Aku membuang puntung rokok, pura-pura sibuk mematikan api.

"Bagaimana dengan dia?" tanya Ronald. Pandangannya mengarah ke cewek itu.

Aku memaki dalam hati. Dari sekian banyak orang di halte, kenapa dia yang ditanya Ronald.

"Eh ...." Kuambil sebatang rokok, menenangkan diri, "Aku belum pernah melihat di sini. Orang baru, sepertinya. Yang cowok banyak omong, sedangkan dia sendiri lebih pendiam."

Sebuah bus tiba, nomornya menandakan arah yang berlawanan dengan kantor. Pasangan tersebut masuk ke bus. Dengan sedikit kecewa pandanganku mengikuti langkah mereka menyusuri selasar hingga mereka duduk di sepasang kursi kosong di jendela yang tepat berada di hadapan. Si gadis menoleh ke arah halte, menatapku. Kali ini aku tidak mau repot-repot mengalihkan pandangan. Ini saat-saat terakhir aku bisa menikmati wajahnya.

Dia tersenyum, manis. Terkejut, aku menoleh ke kiri dan kanan, tidak ada seorang pun yang membalas tatapan atau senyumnya. Bahkan Ronald pun tidak memperhatikan senyuman itu. Dia sibuk memperhatikan bus lain yang kebetulan tiba, mengantri di belakang.

Aku kembali memandang dia, dengan canggung membalas senyumnya. Seiring kemudian bus mereka mulai bergerak.

"Sudah, ah, daripada main detektif-detektifan, mending kita naik bus saja. Tuh, sudah datang," ujar Ronald seraya menggamit lenganku dan mulai melangkah ke arah bus yang kami tunggu sejak tadi.

Aku termangu, tercabik di antara hal yang sebaiknya dilakukan. Pilihan wajar adalah menikuti Ronald dan naik ke bus yang akan membawa kami ke tempat kerja. Toh bus si gadis sudah berjalan, tidak mungkin aku menggedor pintunya.

"What the hell," gumamku seraya membuang sigaret dari tangan lalu berlari kecil meninggalkan halte, mengejar bus si gadis.

"Do?" Kudengar Ronald memanggil di belakang.

"Hei! Edo! Mau ke mana kau?" serunya, terdengar makin jauh, tak kuacuhkan.

Bus yang membawa separuh hatiku tampak berjalan perlahan di tengah arus lalu lintas yang padat. Siapa tahu aku berhasil menyusul mereka di halte berikut dan menyelamatkan sang bidadari dari kejenuhan. Biarlah jika Edo mentertawakanku, atau dimarahi atasan sekalipun. Si Cowok Pemimpi, yang sedari tadi berkicau, kemungkinan besar akan menghajarku. Aku tidak peduli.

***

Abu Dhabi, 31 Desember 2018

AmbisiWhere stories live. Discover now