BAGIAN 1

1.5K 38 0
                                    

Dua ekor kuda berpacu cepat melintasi padang rumput yang sangat luas bagai tak bertepi. Penunggang kuda itu seorang laki-laki muda tampan. Rambutnya panjang meriap agak tergelung ke atas. Bajunya rompi putih, dan pedangnya yang bergagang kepala burung menyembul dari balik punggungnya. Pemuda itu menunggang kuda berwarna hitam kelam yang tinggi dan tegap berotot.
Sedangkan penunggang kuda satunya lagi adalah seorang gadis cantik, mengenakan baju ketat berwarna biru langit. Begitu ketatnya, sehingga memetakan bentuk tubuhnya yang ramping dan indah. Sebilah pedang bergagang kepala naga tersandang di punggungnya. Kudanya berwarna putih bersih, tanpa belang sedikit pun. Kedua ekor kuda itu digebah cepat bagai kesetanan melintasi padang rumput luas di Kaki Gunung Jaran.
Dua ekor kuda itu terus berpacu cepat menuju sebuah bukit yang ditumbuhi pepohonan cukup lebat. Bukit itu sudah terlihat, namun masih cukup jauh untuk mencapainya. Sementara sang surya semakin terik dengan sinarnya yang panas membakar. Dua penunggang kuda itu berpacu cepat meninggalkan kepulan debu yang membumbung tinggi ke udara. Tapi tiba-tiba saja....
Swing...!
“Awas...!” seru penunggang kuda hitam tiba-tiba.
“Hap!”
Tring!
Tepat ketika sebuah benda sepanjang jengkal tangan meluncur ke arah wanita berbaju biru itu, dengan cepat dicabut sebuah senjata yang terselip di pinggangnya. Seketika dikebutkannya untuk menyampok benda sepanjang jengkal tangan itu.
“Hup!”
“Yap...!”
Kedua penunggang kuda itu berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Mereka mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Memang tak ada tanda-tanda kehidupan di sekitar padang rumput ini. Pandangan mereka kemudian tertuju pada sebuah benda seperti ranting berwarna biru tua yang menancap di tanah. Ada bulu-bulu halus pada ujung yang menyembul ke permukaan tanah. Pemuda berbaju rompi putih menghampiri dan mencabut benda itu.
“Mata sumpit...,” gumamnya pelan seraya memperhatikan benda di tangannya.
Bentuk benda itu hanya sepanjang jengkal tangan, bulat dan panjang dengan bulu-bulu halus pada ujungnya. Sedangkan satu ujung lainnya begitu runcing berkilat. Benda itu adalah mata sumpit yang biasa digunakan para pemburu kelinci atau binatang-binatang kecil lainnya. Biasanya benda ini beracun, tapi tidak berbahaya bagi manusia.
“Apa itu, Kakang?” tanya gadis berbaju biru seraya menghampiri.
“Mata sumpit,” sahut pemuda berbaju rompi putih seraya memberikan mata sumpit berwarna biru itu.
“Mungkin ada pemburu kelinci di sekitar sini, Kakang,” kata gadis itu setengah bergumam.
“Mungkin.... Tapi tidak ada perkampungan di sekitar Gunung Jaran ini.”
“Atau...,” suara gadis itu terputus seketika, dan...
“Awas Kakang...!”
“Hap!”
Cepat sekali pemuda itu mengibaskan tangannya ke samping, tepat ketika sebuah benda biru meluncur deras ke arahnya. Ternyata benda itu sama dengan yang pertama. Kedua anak muda itu menjadi semakin waspada. Jelas kalau mata sumpit ini bukan dari seorang pemburu yang meleset sasarannya. Tapi lebih berat ditujukan pada mereka berdua.
“Hati-hati, Pandan. Rupanya ada orang yang tidak suka atas kehadiran kita di sini,” bisik pemuda berbaju rompi putih itu.
“Baik,” sahut gadis itu yang dipanggil Pandan. Dia memang Pandan Wangi, yang berjuluk si Kipas Maut.
Sedangkan pemuda berbaju rompi putih itu tidak lain dari Rangga, Pendekar Rajawali Sakti. Mereka kembali mengedarkan pandangannya ke sekeliling, menatap tajam tanpa berkedip. Tapi tak ada satu tanda-tanda adanya kehidupan di sekitar tempat ini. Bahkan tak terdengar sedikit pun suara-suara mencurigakan. Juga gerak-gerak rerumputan begitu sempurna tersapu angin.
Tapi tiba-tiba saja....
“Auh...!” Pandan Wangi terpekik.
Sukar dipercaya! Mendadak saja dari dalam tanah menyembul sebuah tangan yang langsung mencekal kaki gadis itu, dan berusaha menariknya ke dalam. Maka kaki Pandan Wangi langsung melesak ke dalam tanah sampai ke betis.
“Kakang..., tolong!” seru Pandan Wangi terkejut.
“Tahan, Pandan! Hup...! Hiyaaa...!”
Cepat sekali Rangga bertindak. Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melompat ke samping Pandan Wangi, lalu menghantamkan satu pukulan keras ke dalam tanah, tepat di depan kaki gadis berbaju biru itu. Kemudian dengan cepat pula Rangga melompat sambil meraih pinggang Pandan Wangi.
Dua kali mereka berputaran di udara sebelum mendarat manis di tanah berumput. Tampak wajah si Kipas Maut begitu pucat. Sedangkan Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling merayapi rerumputan di sekitarnya.
“Sebaiknya kita segera pergi dari sini, Kakang,” usul Pandan Wangi, agak bergetar suaranya.
“Naiklah ke kudamu, Pandan,” ujar Rangga pelan.
Tanpa menunggu perintah dua kali, Pandan Wangi langsung melentingkan tubuhnya, dan hinggap di punggung kudanya. Wajahnya masih kelihatan pucat. Sungguh hatinya masih diliputi keterkejutan akibat kakinya tertarik ke dalam tanah. Sedangkan Rangga pelahan-lahan menggeser kakinya mendekati Dewa Bayu di samping kuda putih yang ditunggangi si Kipas Maut.
“Cepat, Kakang...,” desis Pandan Wangi.
“Baik! Hup...!”
Begitu Rangga berada di punggung kudanya, langsung menggebah kuda hitam itu agar berlari kencang. Pandan Wangi segera memacu kudanya dengan kecepatan tinggi. Dua ekor kuda kembali berpacu mendekati Gunung Jaran yang menjulang tinggi tertutup kabut pada bagian puncaknya. Kuda-kuda itu berpacu bagaikan berada di atas angin. Jelas sekali kalau kuda putih yang ditunggangi Pandan Wangi sukar untuk menyusul kuda hitam yang bernama Dewa Bayu.
“Kakang, tunggu...!” teriak Pandan Wangi keras.
Rangga menoleh, dan langsung memperlambat laju kudanya. Cukup jauh juga Pandan Wangi tertinggal di belakang. Maka gadis itu harus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi agar sampai di samping Pendekar Rajawali Sakti. Rangga kembali menggebah Dewa Bayu setelah Pandan Wangi berada di sampingnya. Mereka berkuda berdampingan. Jelas kalau Rangga mengimbangi lari kuda putih yang tampak kewalahan mengikuti lari kuda hitam yang bukan kuda sembarangan itu.

38. Pendekar Rajawali Sakti : Dewa IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang