BAGIAN 3

911 29 0
                                    

Rangga benar-benar tidak bisa mengelak lagi dan harus bertarung dengan Ki Ratapanca. Laki-laki tua itu kelihatannya bersungguh-sungguh hendak merobohkan Pendekar Rajawali Sakti. Setiap serangan yang dibangun sungguh berbahaya dan sangat mematikan. Sedikit kelengahan saja akan berakibat parah. Dan Rangga tidak bisa lagi bermain-main. Memasuki jurus ke dua puluh, Pendekar Rajawali Sakti itu mulai kelihatan hati-hati. Serangan baliknya selalu membuat Ki Ratapanca kelabakan menghindarinya.
Beberapa kali Ki Ratapanca harus jatuh bangun menghindari setiap serangan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi laki-laki tua itu masih juga mampu menyerang, meskipun kini sudah tidak sering. Bahkan sekarang lebih banyak bertahan. Hingga pada jurus yang ketiga puluh, terlihat jelas kalau Ki Ratapanca terdesak hebat. Beberapa kali pukulan dan tendangan Rangga mendarat di tubuhnya, sehingga membuat laki-laki tua itu terguling dan terjerembab mencium tanah.
Buk!
Satu pukulan keras kembali bersarang di tubuh Ki Ratapanca. Laki-laki tua itu kontan mengeluh pendek. Dan belum lagi dapat menguasai keseimbangan tubuhnya, kembali satu tendangan keras bersarang di tubuhnya. Laki-laki tua itu terjerembab ke tanah dengan posisi menelentang. Rangga cepat memburu. Dan hampir saja kakinya menjejak dada orang tua itu, tapi Rangga cepat melompat mundur dan mengulurkan tangannya.
“Ughk! Terima kasih,” ucap Ki Ratapanca seraya menerima uluran tangan Rangga.
Laki-laki tua itu berdiri. Dipungut tongkatnya yang tadi sempat terlepas dari genggaman. Sambil membersihkan debu yang melekat di baju, dipandanginya Rangga. Pemuda berbaju rompi putih itu hanya memperhatikan saja, dan bibirnya terkatup rapat.
“Kau hebat, Anak Muda. Aku mengaku kalah,” ujar Ki Ratapanca disertai senyum terkulum di bibir. Sinar mata laki-laki tua itu tidak lagi tajam, dan kini malah kelihatan cerah dengan wajah berseri-seri. Padahal wajahnya agak memar dan sedikit berdarah pada sudut bibirnya. Sikap Ki Ratapanca membuat Rangga jadi berpikir lain. Benaknya diliputi berbagai macam pertanyaan tentang diri laki-laki tua dan juga tempat yang aneh ini.
“Kau boleh pergi sekarang, Anak Muda,” kata Ki Ratapanca ramah. Namun Rangga tetap diam tak bergeming.
“Tunggu apa lagi, Anak Muda? Kau sudah bebas, dan bisa meninggalkan tempat ini,” ujar Ki Ratapanca.
“Ki Ratapanca, di balik sikapmu, bisa kuduga kalau kau menyimpan sesuatu,” tebak Rangga pelan, namun terdengar mantap suaranya.
Ki Ratapanca hanya tersenyum saja, kemudian menghampiri Rangga dan menepuk pundak Pendekar Rajawali Sakti itu. Rangga diajaknya masuk ke dalam rumah yang paling besar di antara rumah-rumah lainnya. Rangga tidak menolak, dan mengikuti saja. Mereka kemudian duduk bersila saling berhadapan di ruangan depan yang cukup luas. Hanya selembar permadani tipis sebagai alas lantai yang mereka duduki kini.
“Sudah lama aku menunggu seseorang yang berkepandaian tinggi sepertimu, Anak Muda,” jelas Ki Ratapanca setelah cukup lama berdiam diri. Rangga hanya diam saja.
“Entah sudah berapa orang yang datang ke sini, tapi tak seorang pun yang bisa kembali lagi...,” lanjut Ki Ratapanca, agak pelan suaranya.
“Kau membunuh mereka, Ki?” tanya Rangga.
“Dalam suatu pertarungan, hanya ada dua pilihan, Anak Muda. Membunuh atau dibunuh.”
“Tentu yang kau bunuh orang-orang yang tidak bersalah. Mungkin saja mereka hanya sekadar lewat seperti aku ini, Ki. Atau mungkin hanya seorang perambah hutan yang tidak mengerti ilmu olah kanuragan.”
“Tidak, Anak Muda...,” Ki Ratapanca menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Tidak ada satu desa pun di sekitar Gunung Jaran ini. Tidak ada perambah hutan yang memasuki kawasan hutan di sini. Mereka yang datang memang sengaja menguji nasib, tapi ternyata hanya mengantarkan nyawa. Kemampuan mereka begitu rendah, tapi bermulut besar. Mereka tidak pernah mengukur diri sendiri, dan semua itu tidak pernah kusesali. Tapi....”
“Tapi kenapa, Ki?”
“Sejak pertama melihatmu, aku melihat ada sesuatu yang tidak pernah kutemukan selama tiga tahun ini. Kau begitu lain, tidak seperti mereka yang datang ke sini terlebih dahulu. Kau begitu sopan dan selalu merendah. Bahkan tidak bertarung sepenuh hati. Kenapa, Anak Muda? Apakah karena kau menganggapku seorang tua yang sudah tidak waras lagi?”
Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Maaf, Ki. Tidak sedikit pun terbetik di hatiku kata-kata seperti itu. Aku hanya tidak ingin membuat persoalan denganmu. Lagi pula, tidak ada gunanya melenyapkan nyawa seseorang sebelum aku tahu pasti segala urusannya. Dan sebenarnya bukan nyawa manusia yang kulenyapkan, tapi iblis yang bercokol di hati mereka. Sama sekali setiap musuhku tidak pernah kubenci. Aku hanya ingin membebaskan mereka dari cengkeraman nafsu setannya,” tenang sekali Rangga menjelaskan.
Entah kenapa, tiba-tiba saja Ki Ratapanca tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasan Rangga. Sedangkan Rangga hanya diam saja. Sedikit pun dia tidak merasa tersinggung, bahkan hanya tersenyum saja.
“Aku benar-benar kagum padamu, Anak Muda. Belum pernah kutemui orang sepertimu. Memiliki prinsip hidup yang begitu cemerlang. Apakah itu keluar dari hati nuranimu...?” ujar Ki Ratapanca setelah reda tawanya.
“Mungkin iya, mungkin juga tidak,” sahut Rangga mantap.
“Bagus! Aku suka jawabanmu, Anak Muda. Jika kau jawab iya, itu berarti berdusta. Dan yang pasti aku akan menyerangmu kembali sampai salah satu di antara kita ada yang mati!”
“Hm, kenapa begitu?”
“Karena aku tidak suka kemunafikan. Aku lebih suka kepolosan dan sikap apa adanya. Itu sebabnya tempat ini kubangun dan kujaga dari gangguan manusia-manusia kotor berhati iblis yang bisanya hanya mengobral mulut besar, tapi tidak ada bukti sama sekali.”
“Hm.... Jadi, apa yang kau lakukan ini bukan karena perintah Prabu Sumabrata? Aku tahu kalau Gunung Jaran ini masih termasuk wilayah Kerajaan Kulon. Dan aku tahu nama rajanya bukan Prabu Sumabrata. Lalu, siapa yang kau maksudkan, Ki?” Rangga mulai bisa memahami hampir seluruhnya.
“Ha ha ha...!” lagi-lagi Ki Ratapanca menjawab dengan suara tawanya yang lepas menggelegar.
Meskipun pertanyaannya belum terjawab, tapi Rangga tidak merasa kecewa. Ditunggunya tawa Ki Ratapanca sampai habis. Laki-laki tua itu menepuk-nepuk pundak Rangga sambal tersenyum lebar. Sepasang bola matanya semakin berkilat bercahaya. Sedangkan Rangga hanya diam saja menunggu sabar jawabannya.
“Ternyata bukan hanya kepandaian tinggi saja yang kau miliki, Anak Muda. Kau begitu cerdik dan cepat tanggap,” tegas Ki Ratapanca memuji.
“Terima kasih. Tapi, kau belum menjawab pertanyaanku, Ki,” ucap Rangga.
“Ha ha ha...!” lagi-lagi Ki Ratapanca tertawa terbahak-bahak.

38. Pendekar Rajawali Sakti : Dewa IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang