Seperti malam-malam sebelumnya, di sekitar Gunung Jaran suasananya begitu kelam. Langit tertutup awan hitam, sehingga menghalangi sinar bulan menerangi sekitar gunung itu. Angin bertiup kencang menyebarkan udara dingin membekukan tulang. Suasana di sekitar Gunung Jaran begitu sunyi, tak terdengar sedikit pun suara binatang malam. Hanya desiran angin dan gemerisik dedaunan yang terdengar.
Namun kesunyian itu mendadak dipecahkan oleh suara genderang ditabuh bertalu-talu. Suara-suara itu membangunkan Rangga dari tidurnya di tepi sungai kecil yang berair jernih dan mengalir pelan, Pendekar Rajawali Sakti menggerinjang bangun. Dimiringkan sedikit kepalanya, mencari arah sumber suara genderang itu. Seketika pandangannya tertuju ke satu arah, tempat terlihatnya cahaya terang menyembul dari puncak pepohonan yang merapat hitam.
“Hm.... Suara itu dari...,” gumam Rangga terputus.
Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas menghampiri kudanya, tapi tidak jadi naik. Ditepuk-tepuknya leher kuda itu beberapa kali.
“Kau tunggu di sini, jaga si Putih,” kata Rangga.
Kuda hitam itu mengangguk-anggukkan kepalanya, seperti mengerti ucapan Rangga. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti itu berlari cepat menuju cahaya terang yang terlihat jelas dari tempat ini. Begitu ringan dan cepat gerakannya, bagaikan terbang tak menyentuh bumi. Sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti sudah tiba di perkampungan yang pernah dimasukinya. Perkampungan sunyi tanpa seorang penduduk pun menempatinya.
Rangga berhenti berlari, dan agak tertegun begitu melihat sebuah api unggun besar menyala di tengah halaman rumah yang paling besar di antara rumah-rumah yang ada di situ. Terlihat jelas, di sekitar api unggun itu berkeliling makhluk-makhluk berwarna biru yang bertingkah seperti kera. Mereka berjingkrakan mengikuti irama tabuhan genderang, bersorak-sorak sambil mengelilingi api unggun yang menyala besar membuat sekitarnya jadi terang.
Rangga bergerak mengendap-endap mendekati tempat itu. Sejak semula dia memang sudah curiga pada Ki Ratapanca yang bersikap aneh dan penuh tanda tanya. Semakin dekat ke perkampungan aneh itu, semakin jelas terlihat suasananya. Pendekar Rajawali Sakti itu terkesiap saat menatap ke beranda depan rumah besar itu. Tampak di sana terdapat dua buah kursi berukir indah yang diduduki sepasang manusia. Di samping kanan dan kirinya berdiri dua orang laki-laki tua yang sudah dikenal Rangga. Mereka adalah Ki Ratapanca dan si Tongkat Samber Nyawa.
Namun bukan kedua orang tua itu yang menjadi perhatian Rangga. Mata Pendekar Rajawali Sakti itu sampai tidak berkedip menatap wanita muda berbaju biru dengan sebentuk mahkota bertengger di kepalanya. Wajah yang cantik semakin terlihat cantik bagai dewi kahyangan. Wanita itu duduk di kursi berdampingan bersama seorang pemuda berwajah tampan mengenakan baju indah dan bermahkota.
“Pandan Wangi.... Apa yang dilakukannya di sini...?” desis Rangga bergumam.
Memang wanita itu adalah Pandan Wangi. Wajahnya nampak cerah, namun sorot matanya begitu redup tak bercahaya. Tak ada senyum sedikit pun tersungging di bibirnya yang merah menyala. Sedangkan pemuda di sampingnya terlihat senyum-senyum, dan sepasang bola matanya berbinar seperti bertaburkan bintang.
Baru saja Rangga hendak bergerak lebih mendekat, seketika dibatalkan niatnya. Dari dalam rumah yang berdiri mengelilingi rumah besar itu, bermunculan gadis-gadis cantik yang hanya mengenakan cawat dari kulit kayu. Sebagian besar tubuh mereka dibiarkan terbuka lebar. Mereka berjalan beriringan membawa baki yang penuh makanan dan minuman serta buah buahan. Sebentar saja di sekitar halaman rumah itu bagai sedang diadakan pesta.
Saat itu, di tempat persembunyiannya, Rangga terus mengawasi tanpa berkedip. Dia semakin ingin tahu kelanjutannya. Rasa penasarannya begitu dalam dan tertumpah penuh pada Pandan Wangi yang duduk berdampingan bersama seorang pemuda tampan bermahkota di kepalanya. Kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti itu agak menyipit saat melihat seorang laki-laki berjubah bagai pendeta tengah meniti anak-anak tangga beranda depan.
Di belakangnya gadis-gadis yang berjumlah dua belas orang mengiringi. Suara genderang berhenti ketika laki-laki tua berjubah bagai pendeta itu tiba di depan dua insan yang duduk berdampingan. Makhluk-makhluk berwarna biru juga berhenti berjingkrakan. Semua perhatian tertumpah ke beranda depan rumah besar itu. Rangga tidak berkedip, dan terus memperhatikan dari tempat persembunyiannya.
“Paman Pendeta Gorayana, apakah kau sudah siap melaksanakan upacara perkawinan ini?” tanya pemuda tampan yang duduk di samping Pandan Wangi.
“Semua sudah siap, Gusti Prabu Sumabrata,” sahut laki-laki tua berjubah kuning gading dan berkepala gundul yang dipanggil Pendeta Gorayana itu.
“Bagus! Laksanakanlah segera,” sambut Prabu Sumabrata seraya tersenyum cerah.
“Tapi, Gusti Prabu....”
“Apa lagi, Paman Pendeta?”
“Apakah mempelai wanita benar-benar sudah sehat? Sebab hamba tidak berani meresmikan perkawinan ini jika mempelai wanita masih dalam keadaan terluka.”
“Luka yang diderita calon istriku benar-benar sudah sembuh, Paman Pendeta. Tidak ada lagi yang perlu dirisaukan. Kau bisa bertanya pada Paman Ratapanca.”
“Benar, Kakang Gorayana. Pandan Wangi sudah sehat dan pulih seperti sediakala,” jelas Ki Ratapanca yang berdiri di samping Prabu Sumabrata.
“Kalau begitu, upacara bisa dilaksanakan, Gusti Prabu,” ujar Pendeta Gorayana.
“Laksanakanlah. Sudah terlalu lama aku menunggu peristiwa ini, Paman Pendeta. Aku tidak sudi lagi gagal berantakan seperti dulu.”
“Baiklah, Gusti Prabu.”
Rangga benar-benar terkejut bukan main mendengar semua percakapan itu. Sudah dapat ditebak, siapa calon pengantin yang dimaksudkan. Keheranan semakin menyelimuti diri Pendekar Rajawali Sakti itu saat mendengar kesediaan Pandan Wangi menikah dengan Prabu Sumabrata. Ternyata gadis itu mengangguk mengiyakan saat ditanya Pendeta Gorayana.
“Gila! Ini tidak boleh dibiarkan!” geram Rangga dalam hati.
Berbagai macam perasaan berkecamuk dalam dada Pendekar Rajawali Sakti. Marah, geram, dan kecemburuan berkecamuk menjadi satu. Merah padam seluruh wajah Rangga. Jantungnya berdegup kencang dan napasnya mendengus memburu.
“Hentikan...!” seru Rangga tiba-tiba sambil melompat keluar dari tempat persembunyiannya.
Semua yang ada di tempat itu terkejut melihat kemunculan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu tiba-tiba. Rangga langsung berdiri tegak di depan tangga beranda depan. Sama sekali tidak dipedulikan makhluk-makhluk berwarna biru yang sudah bergerak mengepungnya.
“Heh! Siapa kau, manusia tidak tahu adat?!” bentak Prabu Sumabrata.
“Aku Rangga. Aku tidak mengijinkan kau mengawini Pandan Wangi!” sahut Rangga dingin.
Sorot mata Pendekar Rajawali Sakti itu sangat tajam dan terasa dingin menusuk. Sedangkan Pandan Wangi hanya diam duduk seperti patung. Seakan-akan tidak mempedulikan kehadiran Rangga di tempat ini.
“Gusti Prabu, ijinkan hamba memberi pelajaran kepada bocah kurang ajar ini,” ujar si Tongkat Samber Nyawa seraya membungkuk memberi hormat.
“Tunggu dulu, Paman. Aku ingin tahu, apa maksud kedatangannya ke sini,” cegah Prabu Sumabrata.
“Gusti, bocah ini bisa menjadi sumber bencana bagi kita semua. Hamba sudah pernah bertarung dengannya. Kepandaiannya sangat tinggi,” sergah Borga.
“Benar, Gusti Prabu,” sergah Ki Ratapanca.
“Hm..., jadi kalian pernah berhadapan dengannya?”
“Benar, Gusti Prabu,” sahut Ki Ratapanca dan Borga berbarengan seraya membungkuk memberi hormat.
“Kenapa kalian tidak mengatakannya padaku?” tanya Prabu Sumabrata menyesalkan.
“Ampun, Gusti Prabu. Hamba berdua tidak ingin merusak hari perkawinan ini. Hamba berusaha mengusirnya keluar dari daerah ini. Segala daya sudah hamba lakukan, tapi...,” kata-kata Borga terputus.
“Tapi kenapa, Paman?” desak Prabu Sumabrata.
“Bocah ini tangguh sekali,” jelas Borga tanpa malu-malu lagi mengakui.
“Gusti, bocah itu datang bersama Pandan Wangi. Dan Pandan Wangi diakuinya sebagai adiknya,” celetuk Ki Ratapanca.
“O..., begitu...?” Prabu Sumabrata tersenyum sinis. “Sejak kapan Pandan Wangi mempunyai seorang kakak? Atau dia kekasihnya?”
“Hamba pikir memang demikian, Gusti,” sahut Ki Ratapanca.
“Kalau begitu, singkirkan dia!” perintah Prabu Sumabrata tegas.
“Hamba, Gusti Prabu,” sahut Borga dan Ki Ratapanca bersamaan.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, kedua laki-laki tua itu berlompatan menerjang Rangga. Tentu saja Rangga yang sudah siap sejak tadi segera melompat ke belakang, dan langsung membalas serangan orang tua itu dengan sengitnya.
Tapi baru beberapa gebrakan saja, Borga dan Ki Ratapanca melompat mundur menghentikan serangan. Mereka berteriak memerintahkan makhluk-makhluk berwarna biru untuk menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Makhluk-makhluk berwarna biru dengan tingkah seperti kera itu langsung berlompatan merangsek. Jumlah mereka tinggal lima orang. Tapi begitu mereka menyerang, mendadak saja dari dalam tanah bersembulan makhluk serupa yang langsung mengeroyok pemuda berbaju rompi putih itu. Sedangkan Borga dan Ki Ratapanca menyingkir mendekati tangga beranda rumah.
Semakin lama jumlah makhluk berwarna biru itu semakin banyak saja. Mereka bersembulan dari dalam tanah. Rangga benar-benar kewalahan menghadapinya. Ruang geraknya semakin sempit. Beberapa kali pukulan dan tendangannya berhasil mengenai sasaran, tapi makhluk-makhluk biru itu seperti tidak merasa sama sekali. Terus merangsek, tanpa mengenai gentar sedikit pun.
“Huh! Sekarang harus kugunakan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’,” dengus Rangga yang teringat pada pertarungannya melawan makhluk-makhluk ini di tepi sungai kecil.
Langsung saja Pendekar Rajawali Sakti ini menggunakan jurus yang dahsyat itu. Kedua kepalan tangannya jadi merah membara bagai terbakar. Tidak ada satu pukulan pun yang luput dari sasaran. Jeritan melengking mulai terdengar, disusul ambruknya tubuh-tubuh berwarna biru. Darah mulai bersimbah membasahi tanah yang telah basah oleh embun. Namun makhluk-makhluk biru itu benar-benar tidak mengenal rasa takut. Mereka terus merangsek meskipun sudah banyak yang bergelimpangan berlumuran darah tak bernyawa lagi.
“Kalau begini terus, mereka bisa habis, Kakang Borga,” kata Ki Ratapanca.
“Kau tidak perlu cemas, Adi Ratapanca. Mereka tidak akan habis. Kau lihat saja,” sahut Borga atau si Tongkat Samber Nyawa tenang.
Memang benar apa yang dikatakan Borga. Makhluk-makhluk biru itu terus bermunculan dari dalam tanah. Seakan-akan kehidupan mereka berasal dari setitik debu. Dan hal ini tentu saja membuat Rangga semakin kewalahan menghadapinya. Keringat sudah ber-cucuran membasahi sekujur tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu. Sudah tidak terhitung lagi, berapa yang tewas. Tapi lebih banyak lagi yang bermunculan dari dalam tanah. Rangga jadi tidak habis mengerti. Mereka ini bagai mayat hidup yang tidak takut mati dan tidak punya perasaan sama sekali.
Tak ada pilihan lain bagi Rangga, kecuali segera mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti dari warangkanya di punggung. Seketika itu juga cahaya terang berkilau menyemburat dari pedang itu. Dengan senjata andalan tergenggam di tangan, Rangga bagai malaikat maut yang mengamuk dan membantai makhluk-makhluk biru itu. Tapi mendadak saja keanehan terjadi. Makhluk-makhluk biru itu berlompatan mundur sambil menutupi mata dengan kedua tangannya.
“Gusti, sebaiknya pernikahan ini ditunda saja,” usul Pendeta Gorayana yang berdiri di samping Prabu Sumabrata.
“Benar, Gusti Prabu. Sebaiknya Gusti kembali saja ke istana dulu,” celetuk Borga.
Sebentar pemuda yang dipanggil Prabu Sumabrata itu terdiam sambil memandangi Rangga yang masih mengamuk dengan pedang bersinar biru berkilau di tangan. Kemudian digamitnya lengan Pandan Wangi, lalu melangkah masuk ke dalam diikuti Pendeta Gorayana dan Ki Ratapanca. Sedangkan si Tongkat Samber Nyawa tetap tinggal di tempat itu. Gadis-gadis cantik yang hanya mengenakan cawat dan selembar kain penutup dada juga bergegas masuk ke dalam rumah-rumah lainnya.
“Wuih...! Makhluk apa ini..,?” gumam Rangga keheranan melihat makhluk-makhluk berwarna biru itu tiba-tiba saja melesak masuk ke dalam tanah.
Semua makhluk aneh berwarna biru itu menghilang, terpendam ke dalam tanah. Hanya si Tongkat Samber Nyawa yang masih tinggal. Laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak itu menghentakkan ujung tongkatnya ke tanah tiga kali. Maka tiba-tiba saja dari dalam tanah bersembulan tiga pasang tangan yang langsung mencekal pergelangan kaki Pendekar Rajawali Sakti.
“Heh...?!” Rangga tersentak kaget.
Tapi belum juga hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti itu merasakan kakinya ditarik ke dalam tanah. Seketika kedua kakinya melesak sampai ke lutut. Rangga segera mengerahkan tenaga dalamnya, mencoba menarik kembali kakinya keluar dari dalam tanah. Tapi hasilnya bukannya keluar, melainkan malah semakin melesak dalam.
Sudah hampir sepinggang tubuh Pendekar Rajawali Sakti melesak ke dalam tanah. Pemuda itu merasakan kedua kakinya dicengkeram kuat, dan terus ditarik ke dalam tanah. Sekuat tenaga berusaha ditahan agar tubuhnya tidak terus melesak masuk ke dalam tanah. Tapi tarikan itu demikian kuat, dan tubuh Pendekar Rajawali Sakti semakin jauh masuk ke dalam.
“Ha ha ha...!” Borga tertawa terbahak-bahak melihat Pendekar Rajawali Sakti terus amblas ke dalam tanah.
Rangga mengangkat pedangnya tinggi-tinggi di atas kepala dengan ujung berada di bawah. Digenggamnya gagang pedang dengan kedua tangan erat-erat. Kemudian....
“Hiyaaa...!”
Wuk!
Crab!
Sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam, Pendekar Rajawali Sakti itu menghunjamkan pedangnya dalam-dalam ke tanah, tepat di depan perutnya. Tepat saat terdengar raungan panjang, Rangga segera mengempos tenaganya melenting ke udara.
Tawa si Tongkat Samber Nyawa seketika itu juga lenyap. Dua kali Rangga berjumpalitan di udara, kemudian manis sekali kakinya menjejak tanah tepat sekitar tiga langkah lagi di depan Borga. Secepat kilat Rangga mengibaskan pedangnya ke leher laki-laki tua bertongkat kepala tengkorak itu.
Bet!
“Uts...!”
Buru-buru Borga mengibaskan tongkatnya menyampok pedang itu sambil melompat mundur dua tindak.
Trak!
“Heh...!”
Betapa terkejutnya si Tongkat Samber Nyawa melihat tongkatnya terpotong menjadi dua bagian. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, Rangga sudah melayangkan satu tendangan menggeledek bertenaga dalam sangat sempurna ke arah Borga.
Des!
“Akh...!” Borga memekik keras.
Tendangan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam dada si Tongkat Samber Nyawa. Akibatnya, tubuh laki-laki tua itu terpental jauh ke belakang dan menghantam pilar beranda depan rumah besar itu hingga roboh. Atap beranda langsung ambruk menimpa tubuh Borga.
Rangga melompat mundur ke belakang beberapa langkah. Bumi laksana bergetar ketika atap beranda rumah itu ambruk. Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak. Di samping kakinya menggeletak tongkat berkepala tengkorak manusia. Rangga hendak memungut tongkat itu, tapi mendadak saja....
“Jauhkan tongkat itu dari tanganmu, Pendekar Rajawali Sakti...!” terdengar bentakan keras mengejutkan.
Rangga yang sudah membungkuk hendak mengambil tongkat berkepala tengkorak itu jadi mengurungkan niatnya, dan pelahan berdiri tegak kembali. Pandangannya langsung tertuju pada Borga yang sudah berada di atas reruntuhan atap beranda rumah besar itu. Tampak mulutnya dipenuhi darah, dadanya kelihatan melesak ke dalam. Borga berdiri gontai di atas kedua kakinya yang bergetar.
“Kau tidak boleh menjamah tongkat itu, bocah!” dengus Borga seraya melangkah gontai menghampiri.
“Kenapa? Tongkat ini tidak ada artinya lagi bagimu. Aku akan menggunakannya untuk memanggang tubuhmu!” dingin nada suara Rangga.
“Kau bisa saja membunuhku, Anak Muda. Tapi jangan harap dapat menyentuh tongkat itu!” kata Borga tidak kalah dinginnya.
“Kenapa tidak...?”
Rangga kembali membungkuk hendak memungut tongkat di dekat kakinya. Tapi belum juga tangannya menyentuh tongkat itu, Borga sudah melompat sambil berteriak keras. Langsung dilontarkan dua pukulan sekaligus ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
“Uts...!”
Buru-buru Rangga memiringkan tubuhnya ke samping menghindari pukulan laki-laki tua itu. Namun selagi tubuhnya doyong, si Tongkat Samber Nyawa mengibaskan kakinya mengarah perut. Terpaksa Rangga melentingkan tubuhnya berputar, maka tendangan Borga luput dari sasaran. Secepat itu pula Borga menyambar tongkat yang tergeletak di tanah dengan ujung kakinya. Tongkat itu melayang ke udara.
“Hup! Hiyaaa...!”
Bagai kilat, Borga melesat ke udara mengejar tongkat berkepala tengkorak itu. Pada saat yang sama, Rangga juga melentingkan tubuhnya ke udara mengejar tongkat yang sama. Dua tokoh tingkat tinggi melesat cepat mengejar sebuah tongkat berkepala tengkorak manusia.
Tap!
Tap!
Dalam waktu yang sama, kedua orang itu menangkap tongkat berkepala tengkorak di udara. Tapi tanpa diduga sama sekali, Rangga melayangkan satu pukulan keras ke bagian dada Borga. Pukulan yang begitu cepat dan tidak terduga sama sekali itu tak dapat dielakkan lagi.
Dug!
“Akh...!” Borga memekik keras.
Pegangannya pada tongkat berkepala tengkorak langsung terlepas, dan tubuhnya meluruk deras ke bawah. Seketika itu juga Rangga cepat memburu mempergunakan jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’. Kedua kakinya bergerak cepat, sedangkan tubuhnya meluruk deras mengejar Borga.
“Hiyaaa...!”
Buk! Prakkk...!
“Aaa...!”
Satu jeritan melengking tinggi terdengar begitu kaki Rangga menghantam keras kepala si Tongkat Samber Nyawa. Laki-laki tua itu jatuh berdebum ke tanah. Kepalanya pecah dan darah bercucuran deras. Tepat pada saat Rangga menjejakkan kakinya di tanah, Borga tak bergerak-gerak lagi. Dia tewas, dan kepalanya pecah bersimbah darah.
“Hhh...!” Rangga menarik napas panjang dan agak berat.
Pendekar Rajawali Sakti itu hanya sebentar memastikan kalau lawannya sudah tewas, kemudian langsung melesat ke dalam rumah besar. Dia tahu kalau Pandan Wangi tadi dibawa pemuda yang dipanggil Prabu Sumabrata ke dalam rumah ini bersama Pendeta Gorayana dan Ki Ratapanca.***
KAMU SEDANG MEMBACA
38. Pendekar Rajawali Sakti : Dewa Iblis
ActionSerial ke 38. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.