Ni (2)

10 1 0
                                    

"Tunggu Ian, gue mau ngasih penjelasan ke lo." Pintanya sambil mengejar cewek itu.

Mendengar panggilan itu, cewek itu berhenti lalu terdiam.

"Nama saya sudah berubah ya di bibir anda."

"Bukan begitu maksud gue."

"Terserah sih anda mau manggil saya apa, mungkin anda lebih suka memanggil saya itu dari pada An."

"Yang lo denger ga sesuai sama yang lo pikir."

"Emang apa yang saya pikir?"

Ia terdiam, ia tak tahu kenapa hatinya begitu takut hati cewek itu terluka.
"Ya pokoknya gue sama Seena ga ada hubungan apa-apa selain temen."

"Kamu siapa saya? Kita kan cuma 'sahabat' tidak lebih, kita ga pernah melebihi batas itu kan?" tanya cewek itu tepat menusuk perasaannya.

"Lo salah Ian, gue tau lo ada rasa kan sama gue dari dulu?"

"Emang, saya ada rasa sayang sama kamu. Tapi saya baru sadar, itu rasa sayang untuk seorang sahabat."

Bohong. Ia yakin perhatian yang ia rasakan dari cewek itu tidak hanya sebatas 'sahabat'.

"Bohong lo, kalo hanya untuk sahabat. Tadi kenapa lo nangis denger Seena ngomong kayak tadi?"

"Oh yang tadi ya? Saya cuma menangisi diri saya yang bimbang ini. Kenapa saya harus bimbang untuk meninggalkan sahabat seperti kamu? Padahal saya tahu kalau sahabat saya ini gak akan kesepian tanpa saya."

"Gak mungkin, lo bohong kan?" tanyanya sekali lagi. Dirinya masih saja tak terima pernyataan 'sahabat' dari cewek itu.

Cewek itu pun membuka tasnya lalu mengambil sebuah jaket berwarna hitam, lalu ia berbalik dan mulai menghampirinya perlahan.

"Saya sudah tidak peduli, lagipula sepertinya takdir mengatakan kalau saya harus mengambil tawaran itu. Saya minta maaf karena melanggar perjanjian kita untuk tidak menampilkan muka lagi."

"Lo gak salah sama sekali, gue yang salah disini. Gue yang harusnya minta maaf ke lo."

"Sudahlah, saya memang kesini hanya untuk mengucapkan salam perpisahan yang layak kepada kamu." Cewek itu tersenyum pahit.  "Saya pamit pergi, terimakasih atas perhatian dan kenangan yang kamu beri kepada saya. Jaga diri kamu dan juga hatimu, karena itu penting."

"Tunggu, kenapa lo bilang gitu ke gue, gue masih belom te"

Cewek itu langsung memakaikannya sebuah jaket bomber berwarna hitam gelap, lalu menyatukan kedua tangannya dan mengusapnya . Ia merasakan beberapa tetes air jatuh ke tangannya, tetes air itu bukan tetes air hujan melainkan tetes air mata cewek itu. Dasar, kamu kalo bohong ga pernah bagus.

"Terimakasih karena menyadarkan saya, kalau saya tidak layak mendapat panggilan kamu."  Bisik cewek itu pelan.

Gaya bahasa cewek itu berubah seketika dan setelah kalimat terakhir itu diucapkan, cewek itu pergi meninggalkannya dengan jaket yang pernah ia pakaikan pada cewek itu dulu.

Lucu sekali. Pertemuan apa ini?

*****

Mobilnya pun melaju di jalanan kota dengan kecepatan yang cukup tinggi, ia tak bisa menahan emosinya setelah pulang dari tempat tadi. Mungkin ia sudah berhasil bersikap profesional di depandia tadi. Tapi entah, mungkin hatinya tak bisa bohong tentang perasaannya ini.

Mobilnya kini melaju seperti sedang dikendarai oleh orang yang sedang mabuk, orang disebelahnya pun langsung membuatnya membanting stir agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan dan ia pun tersadar dari emosinya dan segera menginjak rem. Ia tersadar lalu menunduk dan menangis.

Trust MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang