Hanya Rindu (2)

25 1 0
                                    

"Menurutmu, diantara kita, siapa yang akan meninggal duluan?" Tristan memecah hening.

"Aku?"

"Aku."

"Kok bisa? Mestinya aku akan lebih dulu sakit- sakitan dan meninggal."

Ia tertawa. "Kamu perempuan yang tangguh, Hon. Sedang aku rapuh dan mudah goyah. Kehilanganmu adalah hal yang gak bisa kutanggung."

Tiwi mengusap lembut kepala suaminya. "Kenapa ngomongin ini, sih?"

"Supaya kamu tahu." Jawab Tristan sambil tersenyum. "Supaya kamu ingat."

Seketika Tiwi terhenyak. Dadanya terasa sesak. Kenapa mimpi ini terasa begitu sedih dan menyenangkan dalam waktu bersamaan? Batinnya.

Suara kereta membelah sepinya malam. Salju turun, air matanya pun. Sudah lama, katanya pada diri sendiri. Tapi terasa seperti baru kemarin. Ia lantas menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan cepat. Berharap nyerinya segera hilang.

Seminggu ini Tiwi meninggalkan Manchester, menghabiskan waktu menjelajahi Paris, kemudian ke Zurich. Tujuan akhirnya adalah Vienna. Menurut jadwal, ia akan tiba besok, pukul 3 sore.

***

"Hon, pernah nggak kepikiran, kok kita belum punya anak?" Tiwi memandangi kerumunan gadis kecil yang sedang bermain ice skating di lantai dasar Mall. Sejak dibangun Grand City, tiap Desember selalu ada wahana ice skating disana. Dan mereka berdua datang untuk bersenang- senang dengan melihat dari kejauhan. Kencan mewah nan murah.

"Dulu pernah." Jawab suaminya.

"Sekarang?"

"Nggak."

"Kenapa?"

"Karena punya kamu."

"Aiih, brondongku... " Tiwi tersipu lalu menarik tangan Tristan dalam pelukan.

"Seneng?" Tristan tersenyum jahil.

"Iya." Tiwi mengangguk, matanya berbinar. "Mau hadiah apa?"

"Ajak aku ke Vienna Ice Dream tahun depan, ya?" Pintanya dengan senyum lebar.

Kuingin saat ini, engkau ada di disini
Tertawa bersamaku, seperti dulu lagi
(Hanya Rindu ~ Andmesh Kamaleng)

Flash Fiction - Dari Sebuah LaguWhere stories live. Discover now