“Iya sayangku… Lagi di jalan ini. Udah deket kok dari kantor tapi mau ambil titipan Anya dulu bentar.” Rania membetulkan headset di telinga sementara pandangannya beredar mencari- cari ruko tempat rekannya mencetak brosur untuk acara akhir tahun.
“Ketemu!” Sahut Rania saat matanya bertemu papan besar nama percetakan. “Okay Paul! Nanti kutelepon lagi. I love you.”
Rania memasang sign ke kiri yang disambut oleh aba- aba juru parkir. Ia tarik hand rem, matikan mesin mobil, melirik sekilas spion tengah sembari merapikan rambut, lalu membuka pintu. “Makasih, pak!” Katanya dengan senyum lebar.
“Loh?” Rania keheranan mendapati mobil Paul di depannya. Ditempelkannya muka pada kaca pintu depan untuk mengecek apa kekasihnya di dalam. Tidak ada.
Ia bergegas masuk. Betul, Paul di dalam sedang merapikan isi dompet seperti baru selesai membayar tagihan.
“Hei!” Rania menepuk punggung Paul mengagetkannya.
Paul terkejut saat menoleh. “Kok? Kamu disini?” Katanya terbata.
“Iya.” Rania tersenyum lebih lebar. Lalu ia melihat kotak besar berwarna coklat di depannya. “Undangan apa ini?” Katanya saat mengambil amplop bertulis SAMPLE yang ditempel di atas kotak. Ia lantas membukanya.
Keduanya diam.
Saat berpandangan, air mata Rania luruh. “Kamu?” Ia melempar selembar undangan ke badan kekasihnya dan berbalik pergi.
“Nia… Tunggu.” Paul mengejar.
“Tunggu, aku jelasin.” Katanya sambil menahan pintu mobil yang dibuka Rania. “Kita ngobrol dulu, ya?”
“Jangan sekarang.” Rania menghembuskan nafas berat mengatur suaranya meski terdengar bergetar. Ia mengusap pipinya yang basah.
“Kapan?”
“Sabtu.”
“Dimana?”
Rania sengaja tidak menjawab. Ia menatap kekasihnya yang juga menatapnya. Lalu, seolah mengerti maksudnya, Paul mundur. Segera pintu mobil terbuka.
“Kujemput ya.” Ucap Paul tepat sesaat sebelum pintu ditutup.
***
Rania membuka jendela, angin membawa aroma laut Tanjung Bira. Tangisan tiga malam dan perjalanan tiga jam dalam diam sudah menguras habis emosinya. Kini ia lelah.
“Yuk?” Paul mengajaknya turun.
Keduanya berjalan beriringan hingga tiba di bibir pantai. Lalu duduk. Sesekali air membasuh kaki keduanya dan pasir menggelitik jemari tangannya.
“Kita pertama kali kesini sepuluh tahun lalu.” Rania akhirnya berucap entah setelah berapa ribu detik keduanya hening. “Dan masih kesini setiap tahun.” Ia mengambil nafas. “Siapa sangka, kalau 4 bulan lalu adalah yang terakhir?”
“Nia…”
“Sudah ada dia?” Rania menoleh. “Waktu itu?” Suaranya bergetar.
“Maaf…”
“Apa menurutmu ini bisa kamu maafin?” Bendungan di mata Rania hancur. “Hah?” Ia meminta jawaban.
“Ammak dan Mangge ingin aku segera menikah.”
“Dengan yang seiman.” Rania menyahut. “Ya.. aku tahu. Sejak kita sepakat bersama, kita tahu akhirnya begini. Tapi kenapa harus sembunyi- sembunyi?”
“Aku gak mau kehilangan kamu.”
“Tapi gak mau juga kehilangan dia?” Rania melempar pandang ke ujung lautan. “Serakahnya.” Ia mengusap air mata.
“Aku menunggu waktu yang tepat.”
“Kapan waktu yang tepat itu? Setelah menikah? Agar aku disebut perebut suami orang?” Rania tersenyum pahit.
“Rania…” Paul berucap lirih, lalu menariknya dalam pelukan. Tangis Rania pecah. “Pamopporang…” Bisik Paul berulang- ulang.
"Kamu boleh marah sama aku, Nia." Kata Paul saat tangis Rania reda.
Rania duduk tegak terlepas dari pelukan Paul. "Kalau aku marah, kamu batal nikah?" Katanya sembari mendekatkan matanya ke wajah Paul.
Paul menggeleng. Keduanya tertawa menghilangkan nyeri di dada.
It matters how this ends
'Cause what if I never love again?
(All I Ask - Adele)
Bahasa MakassarAmmak dan Mangge : ibu dan bapak
Pamopporang : maaf
![](https://img.wattpad.com/cover/207130246-288-k831604.jpg)
YOU ARE READING
Flash Fiction - Dari Sebuah Lagu
Short StorySekumpulan cerita pendek terdiri dari 100 - 500 kata. Keseluruhannya terinspirasi dari sepotong lirik lagu kesukaan. Hope you enjoy it! :)