Kedipan pertama yang Jinhyuk lakukan pagi itu terasa begitu berat. Udara dingin dengan mahir menyongsong masuk menusuk kulitnya yang tampak lebih pucat ketika itu.
Perlahan ia menggerakkan kepala, mulai duduk tegap dan sakit di bagian tengkuknya mulai menjalar.
Setelan jas berwarna biru gelap serta sepatu berwarna senada yang ia gunakan saat sampai malam tadi masih melekat di tubuh kekarnya. Pada detik selanjutnya, Jinhyuk menyadari bahwa ia masih berada di tempat semalam, pada ingatan terakhirnya sebelum tanpa sadar terlelap di kursi besi tepat di depan ruangan bertuliskan ICU.
Ini bukan mimpi,
"Kau tidur disini semalaman?" Suara lembut yang familiar memecah lamunan. Seorang wanita berumur lebih dari setengah abad berada disana dengan keadaan yang tak jauh berbeda dari yang terakhir ia lihat malam tadi.
"Ah, iya, Bi."
Balasnya canggung. Ini adalah kali pertama ia berbicara dengan wanita ini setelah beberapa tahun berlalu. Jinhyuk menunduk dan memijit tengkuknya yang terasa sedikit keram. Sedangkan wanita itu hanya menarik sedikit ujung bibirnya, lalu decitan kursi besi terdengar ketika wanita itu ikut menyandarkan punggung rentanya pada dinding putih di belakang mereka.
"Bibi minta maaf, tentang-"
Helaan berat napas Jinhyuk memotong kalimat wanita itu. Keadaan sunyi mendadak merambat masuk mengisi ruang diantara mereka.
"Aku rasa ini bukan waktu yang tepat untuk..."
Jinhyuk sengaja menggantung kalimatnya, berusaha keras menarik ujung bibirnya untuk menciptakan senyum yang ia tak yakin sukses terbentuk. Wanita itu mengangguk pelan. Paham. Jinhyuk benar, ini bukan waktu yang tepat.
Pada menit-menit selanjutnya, hanya suara detakan jantung keduanya yang menemani mereka di ujung lorong yang tak begitu terang itu, bau alkohol dan berbagai campuran obat menusuk penciuman. Banyak hal yang mengusik pikiran keduanya. Bahkan helaan napas berat berkali-kali mereka hembuskan tanpa disadari.
Tak berapa lama, suara decitan kursi kembali memecahkan keheningan ketika wanita itu kembali berdiri dan berjalan pelan kearah kaca transparan yang membatasi mereka dengan seorang pria yang tak sadarkan diri bersama beberapa alat sebagai penopang hidupnya berbaring di dalam sana.
Seungyoun. Cho Seungyoun.
Dia berada disana.
Jinhyuk ikut berdiri, berada tepat di belakang wanita yang bahunya mulai bergetar. Putra yang begitu ia banggakan sedang bertaruh nyawa di hadapannya. Putra yang berharga. Jinhyuk yakin perasaan wanita itu sangat amat terluka. Tentu, tak ada hati seorang Ibu yang baik-baik saja melihat putra kebanggaan mereka berbaring tak berdaya.
Saat itu matahari belum sepenuhnya menyapa, rintikan air satu persatu jatuh mencandai dedauan seolah ikut merasakan bagaimana kedua orang tersebut larut dalam pemikiran mereka tentang hal yang begitu mengejutkan ini.
"Wooseok...?" Kalimat itu terlontar berat. Hampir tak terdengar. Suara Jinhyuk seolah menyangkut di ujung tenggorokannya.
Wanita itu menoleh cepat pada Jinhyuk seolah terkejut ketika pemuda itu menanyakan keadaan menantunya. Butuh beberapa detik untuk wanita itu kembali dari lamunannya kemudian menjawab pertanyaan Jinhyuk.
"Mmm... Wooseok... ia sempat siuman beberapa jam lalu, ini terlalu berat untuknya."
Keduanya mengangguk canggung. Membahas Wooseok serta berada disini setelah kejadian itu adalah hal yang Jinhyuk rasa sama sekali tak pernah terlintas di otaknya.
Dalam beberapa saat, suasana kembali menjadi begitu hening hingga suara langkah berat terdengar dan membuat keduanya menoleh.
"Wooseok!" Jinhyuk bergerak cepat ketika melihat tubuh pemuda itu hampir oleng jika dalam sepersekian detik Jinhyuk terlambat meraihnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untitled (Weishinyoun)
ФанфикTentang Jinhyuk, Wooseok dan Seungyoun. Tentang 5 tahun mereka yang telah merubah banyak hal. Merubah kehidupannya, Perasaannya, Dan juga, cintanya, Hanya dirinya yang masih berada disana. Pada rasa yang sama dan juga orang yang sama. Dan tanpa sad...