Jinhyuk tak percaya bahwa kakinya akan membawanya kembali ke rumah ini. Rumah besar yang dulu pernah menjadi 'rumah kedua' nya.
Kaki Jinhyuk tanpa sadar melangkah, matanya terfokus pada sebuah potret seorang pemuda tampan dengan toga serta kedua orang tua dan adik nya yang menjulang tinggi dipajang di sana. Di sebelah bingkai itu, terdapat foto usang seorang anak berusia sepuluh tahun dengan sebuah bola di bawah kakinya dengan berukuran bingkai yang lebih kecil. Terdapat pula foto pernikahan yang berukuran paling besar berwarna hitam putih tergantung di bagian tengah.
Senyum Jinhyuk terukir.
Masih ada belasan bingkai di sana. Sebuah dinding yang memang dirancang untuk mengabadikam momen-momen penting sebuah keluarga ditempatkan.
Hati Jinhyuk tergelitik, ketika maniknya tertuju pada sebuah bagian dinding tak termakan cahaya di sudut matanya. Namun tak seperti yang lainnya, bagian itu kosong. Hanya menyisakan bekas debu dan tanda menguning persegi empat dengan warna dinding yang lebih terang dari sisi-sisi lainnya.
Dulu, ada potret lain terpajang di sana, potret dua orang pemuda yang berada di salah satu stadion terbesar di Eropa dengan jersey dan segala pernak-pernik sebuah klub sepak bola yang identik dengan warna merah menyala.
Satu-satunya pertandingan yang akhirnya dapat ia tonton langsung bersama Seungyoun ketika itu.
Jinhyuk tak tau kapan pigura itu lepas dari tempatnya. Namun segala cerita di balik pigura itu seolah menguar di kepala Jinhyuk ketika ujung jarinya menyentuh dinding itu. Butuh waktu berbulan-bulan agar kedua orang tua mereka mengizinkan kedua anaknya pergi ke benua lain hanya untuk menonton sebuah pertandingan -yang menurut mereka sangat tidak penting
Lagi-lagi senyum Jinhyuk terukir, hingga, lamunan Jinhyuk terpecah saat sebuah langkah kaki terdengar,
"Maaf membuatmu repot," ucapnya tak enak hati.
"Ah, tak masalah, Bi."
"Seungwoo bilang tak bisa menjemputku karna anaknya rewel dan membuat Byungchan hampir menyerah, sekali lagi maaf karna merepotkanmu." Jinhyuk hanya mengangguk menanggapi.
"Wooseok dan Wooyoun tidak jadi menginap disini malam ini, jadi aku tidak-"
"Tidak usah sungkan, Bi." Senyum Jinhyuk terlihat tulus. "Kalau begitu aku pulang dulu,"
Jinhyuk menarik sudut bibirnya, kemudian pamit izin dengan bungkukan kecil lalu melangkah keluar dari rumah yang berada tepat di sebelah rumahnya.
Hanya perlu berjalan kaki, dan Jinhyuk telah sampai di rumah yang telah menemani masa kecilnya.
Rumah yang tepat berada disebelah rumah keluarga Cho. Awalnya, Jinhyuk ingin kembali ke apartemen, suasana di rumah ini tak seperti dulu -ketika ia tempati. Aura dan atmosfer yang ada di dalamnya seolah menolak kehadiran anak sulung itu dari rumah yang menjadi tempatnya bernaung dulu.
Langkah pertama yang ia tapaki di rumah itu terasa berat. Tak banyak yang berubah, rumah ini masih sama seperti terakhir kali ia tinggalkan. Rumah berlantai dua dengan warna pastel yang hampir menutupi seluruh dindingnya.
"Kau datang?" Suara anggun nan lembut menyambut kedatangan Jinhyuk. Seorang wanita bersahaja dengan wajah teduhnya tersenyum manis menyambut anak lelakinya.
Tangan Jinhyuk terangkat untuk mengelus lembut punggung wanita yang melahirkannya ini.
"Uri Jinhyukiee..."
Jinhyuk merasa bersalah dalam pelukan mereka. Ketika ia larut dalam hatinya yang ia pikir paling menyedihkan di dunia ini, ia tak sadar bahwa ada orang lain yang jauh lebih terluka dari dirinya. Ibunya.
"Jinhyuk sudah disini Eomma, jangan menangis lagi..."
****
****"Menetaplah disini."
Suara Ayahnya terdengar tegas. Bukan sebuah permintaan, melainkan perintah. Jinhyuk tak menjawab, hanya menunduk dengan atensinya yang mulai sibuk memperhatikan corak karpet yang entah mengapa membuatnya menjadi tertarik.
"Junho yang akan menggantikan posisimu di Melbourne."
"Appa!"
Jinhyuk hampir saja teriak. Ia tak percaya dengan yang baru saja ia dengar.
"Ini tidak lucu! Junho baru saja lulus sekolah menengah atas. Dan Appa ingin ia mengendalikan sebuah perusahaan?"
Jinhyuk menatap nanar pada sikap tenang Ayahnya yang masih setia membolak-balikkan lembaran buku yang sedari tadi pria itu baca. Entah apa yang pria tua itu pikirkan, namun semua omong kosong ini sangat tidak dapat dicerna oleh kepala Jinhyuk. Junho adalah satu-satunya kerabat yang Jinhyuk izin kan untuk datang padanya ke Melbourne jika libur semester telah tiba. Jinhyuk begitu menyayangi adiknya.
Tuan Lee menarik napas dengan tenang, lalu membenarkan letak kacamata di ujung hidungnya sebelum menjawab pertanyaan Jinhyuk tanpa beban,
"Tentu saja ia akan di bantu oleh Mr. Richard..."
"Bagaimana dengan kuliahnya? Wajib militernya?"
Jinhyuk masih tak habis pikir, Junho masih harus keluar-masuk hutan untuk menumpaskan hobi motorcross-nya. Adiknya itu juga masih harus merayakan hari kedewasaannya dengan sebotol soju bersama teman-temannya seperti yang Jinhyuk lakukan dulu. Tentu Jinhyuk tak ingin masa muda itu harus di gantikan oleh tumpukan kertas yang akan membuat adiknya itu setress.
"Ia akan kuliah di sana, dan masalah yang lain, Appa sudah mengurusnya."
"Tapi, Appa-"
"Sekarang, jelaskan padaku, tentang alasanmu kembali kesini?"
"Tentu karena Eomma bilang Kalau Appa sudah tidak mampu lagi untuk menjalankan perusahaan disini,"
"Tapi, Mr. Richard bilang, kalau tiket kepulanganmu sudah dipesan sebelum Eomma-mu mengatakan itu,"
"..."
"Jangan membuat Appa kecewa padamu, Jinhyuk. Fokus saja pada perusahaan. Jaga reputasi keluarga dan buat Appa bangga..."
Jinhyuk bernapas berat.
"Mengurus orang yang sedang sekarat bukanlah tugasmu, anakku. Berhenti melakukan hal-hal konyol."
Rahang Jinhyuk mengeras.
"Dan juga..."
Tuan Lee akhirnya meletakkan buku yang ia baca di atas meja.
"...besok kita akan makan malam dengan keluarga Kim, persiapkan dirimu..."
Hhh!
Kepala Jinhyuk seakan mau pecah.
tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Untitled (Weishinyoun)
Fiksi PenggemarTentang Jinhyuk, Wooseok dan Seungyoun. Tentang 5 tahun mereka yang telah merubah banyak hal. Merubah kehidupannya, Perasaannya, Dan juga, cintanya, Hanya dirinya yang masih berada disana. Pada rasa yang sama dan juga orang yang sama. Dan tanpa sad...