Two

105 14 0
                                    

Suasana apartemen masih terasa sama ketika Jinhyuk keluar dari kamar mandi dengan bathrobe bewarna putih polos. Jam menunjukkan angka sebelas lewat dua puluh menit. Masih siang. Namun aroma pasca hujan masih menguar menusuk penciuman pemuda itu ketika membuka jendela berbentuk segi empat tepat di sebelah kiri tempat tidurnya.

Lima belas menit lalu, Jinhyuk sampai di apartemennya dan tujuan pertamanya adalah kamar mandi. Sejak ia sampai malam tadi, pemuda itu bahkan belum mengganti pakaian. Tubuhnya terasa gatal, perutnya lapar dan kepalanya masih terasa sedikit pusing. Ia mengalami jetlag.

Entah karena terlalu bersemangat atau terlalu takut. Jinhyuk pun tak tau.

Telepon genggam Jinhyuk berbunyi. Nama Sejeong tertulis disana.

Satu kali.

Dua kali.

Tiga kali.

Jinhyuk tak memiliki niat untuk menjawab panggilan itu. Hingga sebuah nada singkat terdengar, pertanda sebuah pesan telah ia terima.

"Apa temanmu baik-baik saja? Sepertinya aku menelpon di waktu yang tidak tepat."

Jinhyuk melempar maniknya ke luar jendela, bersandar di kepala kasur dan membiarkan atensinya dipenuhi oleh pohon-pohon sakura indah yang sedang bermekaran. Dedauan terlihat lebih hijau dan segar seolah menertawai hatinya yang sedang tak begitu terasa baik.

"Ya. Maaf tidak bisa mengangkat teleponmu."

****
****

Jinhyuk bangun tepat ketika jam menunjukkan angka tujuh. Telat satu jam yang telah ia janjikan untuk kembali ke rumah sakit. Jinhyuk sampai dua puluh lima menit setelahnya, harusnya sepuluh menit adalah waktu yang cukup. Namun ia kesulitan dalam penyesuaian tentang posisi setir mobil yang berbeda antara Seoul dan Melbourne. Payah.

Jinhyuk kembali berdiri di depan ruangan itu dan tak menemukan siapapun disana. Mungkin Wooseok sedang tertidur, atau kemungkinan yang lebih masuk akal adalah bahwa pemuda itu tidak mampu berada disana. Tentu. Selagi ia mampu, tentu ia akan menemani Seungyoun walaupun kondisi tubuhnya hampir roboh seperti pagi tadi.

"Nuguseyo?"

Jinhyuk berbalik ketika mendengar suara anak kecil memecah lamunannya. Seorang bocah laki-laki yang berada di gendongan seorang pria dengan kesan wibawa yang kuat. Pria itu sedikit terkejut, Jinhyuk juga demikian.

Cho Seungwoo.

Ingatan tentang sosok ini menguar begitu saja dari kepala Jinhyuk. Pria ini adalah orang yang dulu begitu ia jadikan panutan.

Dulu, Jinhyuk selalu ingin menjadi sepertinya. Bersekolah di tempat yang sama, nongkrong di coffeshop yang sama, serta menggunakan pakaian yang sama.

Jinhyuk cukup yakin bahwa ia pernah menyematkan gelar 'malaikat' pada pria ini.

Lalu, Jinhyuk tak ingat kapan semuanya mulai menjadi kacau.

"Dia telah bertemu dengan soulmatenya."

Shit!

Ingatan itu.

Kalimat yang di ucapkan Seungwoo ketika itu mendadak bangkit begitu saja di kepalanya. Jinhyuk memilih menepisnya, atau sebuah tindakan seorang pemberontak keluar dari dirinya saat ini.

"Apakah ini yang namanya Wooyoun?"

Jinhyuk menyapa manis pada bocah lelaki di gendongan Seungwoo. Bocah itu memeluk leher Seungwoo dengan erat ketika tangan Jinhyuk terulur untuk membelai pipi nya.

Senyum Jinhyuk terukir,

****
****

"Apakah Ahjussi ini teman Appa?"

"Ahjussi tinggi ini teman Appa, kan, Samchon?"

"Ahjussi, aku punya anjing loh! Namanya Zizi!!"

"Ahjussi, tadi aku dan samchon makan pizza!"

"Ahjussi, apa benar jika aku makan eskrim peri jahat akan mengambil gigiku?"

"Ahjussi..."

Tak butuh waktu lama bagi Jinhyuk untuk mengakrabkan diri dengan Wooyoun.  Sebenarnya, Jinhyuk pun tak mengerti, ia rasa ini adalah pertama kalinya ia begitu akrab dengan anak kecil dalam waktu singkat. Ada sesuatu yang menggelitiknya ketika tawa bocah itu memenuhi manik matanya.

"Ahjussi, kenapa Appa tidur lama sekali?"

"Tidur?"

"Eum...Samchon bilang kalau Appa sedang tidur di dalam sana."

Ekor mata Jinhyuk mengikuti telunjuk Wooyoun yang mengarah pada pintu di depan mereka. Hatinya mencelos.

"Appa Wooyoun sedang lelah, maka dari itu Appa Wooyoun tidur disana." Tangan Jinhyuk terangkat mengusap lembut rambut hitam bocah itu. Anak ini terlalu kecil, begitu rapuh. Akan sangat menyedihkan jika ia tau apa yang terjadi pada Ayahnya.

Dan anehnya, tak ada secuilpun rasa benci di hati Jinhyuk ketika menatap Wooyoun. Walau secara harfiah, dapat dikatakan bahwa kehadiran Wooyoun lah yang membuat tragedi itu terjadi.

"Ahjussi, apa Wooyoun boleh makan es krim?" Tanya nya lucu kembali menggelitik perut Jinhyuk.

"Wooyoun ingin makan es krim?"

Bocah itu mengangguk antusias.

"Tidak takut giginya di ambil peri jahat?" Jinhyuk tersenyum geli dibalik tangannya yang masih membelai lembut surai hitam itu.

"Aku akan bilang Appa jika peri jahat itu datang!"

"Haha baiklah. Tapi jangan lagi memanggil Ahjussi. Panggil aku Samchon. Arraseo?"

Hah... bagaimana Jinhyuk bisa membenci bocah manis ini.

Tbc

Untitled (Weishinyoun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang