Bagian 3

443 51 23
                                    

"Bob. Kamu kenapa, sih?! Jangan tarik-tarik gini dong. Kamu enggak malu tuh dilihatin anak-anak." Walau Kinal sebal dengan kelakuan sahabatnya—Boby Rajantra—yang sejak tadi menarik ujung lengan kemeja seragam putihnya sedari kantin menuju toilet cowok. Namun, kakinya bergerak mengikuti langkah Boby, pasrah.

"Pokoknya, gue minta penjelasan lo detik ini juga!" Suara Boby terdengar tidak senang mendapati satu berita penting yang sudah menjadi rahasia umum sekolahnya.

Kinal berdecak. "Ya, tapi ... enggak gini juga kali. Lagian, kamu butuh penjelasan apa? Soal PR yang kemarin?" Tangannya berusaha menyingkirkan cengkeraman jari Boby dari seragam putihnya.

Sesampai di bawah pohon jambu air—yang tumbuh rindang di dekat samping toilet cowok. Boby menghentikan langkah. "Sejak kapan lo jadian sama si Bunga Sekolah?"

Kerutan muncul di kening Kinal. Mencerna pertanyaan Boby. "Bunga sekolah? Maksudnya?"

Boby mengacak-acak rambutnya dengan gemas. "Ya ampun, si kutu kupret. Naomi-lah. Siapa lagi. Lo pura-pura enggak tahu. Apa emang bego beneran, sih," omel Boby.

"Oh." Hanya itu respon Kinal. Ia menyandarkan punggung pada pohon jambu itu. Sebentar menengadah, mengamati beberapa buah jambu yang hampir ranum. "Kayaknya, jambunya sudah enak dibuat rujak."

Tanpa bicara lagi, dan tanpa ampun. Boby langsung meninju pinggang Kinal dengan keras.

"Saya kok dipukul," protes Kinal.

"Lo kebiasaan, ya. Selalu ngalihin topik pembicaraan." Boby ikut bersandar di samping Kinal. "Tapi emang beneran? Lo jadian sama Naomi?" Sikunya menyikut lengan Kinal. "Satu sekolah heboh. Dan gue jadi orang yang terakhir tahu. Bener-bener lo, Nal." Ia kembali berdecak, dengan nada kecewa.

Kinal mengulas senyum tipis. "Saya enggak ada pilihan lain."

"Maksud lo?"

Kepala Kinal bergerak ke kiri. "Karena saya emang enggak ada pilihan lain." Memandang Boby sekilas.

"Terpaksa?" Mata Boby membesar, berusaha menangkap ekspresi wajah Kinal—yang terlihat seperti biasa, begitu tenang.

Kedua bahu Kinal terangkat. "Entahlah. Saya juga enggak tahu. Naomi begitu memaksa. Saya pikir, dia akan berhenti mengganggu saya. Setelah dapat yang dia mau."

Tangan Boby menepuk bahu Kinal. "Jadi lo enggak cinta sama dia?"

Kinal mendengus remeh. "Cinta? Saya tidak percaya hal konyol seperti itu. Saya bahkan pernah berpikir, kenapa orang harus jatuh cinta. Jika ending-nya hanya menyakiti orang yang dia cintai. Dan bahkan sampai pergi meningalkan buah cintanya. Saya tidak pernah menganggap ada hal yang selalu diagung-agungkan oleh sebagian orang untuk bahagia. Bahagia tidak melulu dengan cinta, 'kan? Bukankah itu terdengar seperti omong kosong." Meski mengatakan itu dengan nada penuh penekan. Namun, wajah Kinal terlihat seperti biasa, tenang. Bahkan nyaris tanpa ekspresi apa pun.

Boby melongo mendengar penuturan Kinal. Mencerna semua perkataan Kinal membuat hatinya terenyuh. Ia tidak pernah menduga. Luka itu masih mengendap di relung terdalam Kinal. Ternyata, waktu tidak bisa menyembuhkan apa pun. Itulah yang terjadi pada seorang Kinal. Begitu pikir Boby. Beberapa pikiran pun bergelayut di benak Boby memerhatikan wajah tenang Kinal seperti yang selalu ia perlihatkan.

Kinal memang ulung sebagai pemeran peran. Ia yang tenang. Terkesan dingin. Namun, siapa yang menduga. Kerapuhan membungkus seluruh topeng hidupnya. Tanpa ada yang tahu. Namun, Boby menyadari itu. Bersahabat dengan Kinal semenjak kecil. Membuat Boby mengetahui siapa sosok Kinal sebenarnya. Belum tuntas dengan berbagai pikiran yang mengganggunya. Suara seseorang langsung memutus lamunan Boby tentang kisah hidup sahabatnya.

DUA HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang