Nenek moyangku orang pelaut
Gemar mengarung luas samudra
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa
Angin bertiup layar terkembang
Ombak berdebur di tepi pantai
Pemuda b'rani bangkit sekarang
Ke laut kita beramai-ramai
Indira bernyanyi bersama anak-anaknya sambil bertepuk tangan. Anak pertamanya Keisha, 6 tahun, antusias menyanyi dengan suara lantang menatap adiknya yang baru berusia setahun lebih, Aila, sambil memandunya bertepuk tangan. Aditya menatap kegembiraan itu dari kaca spion mobil, senang sekali hatinya, setelah lama bertugas diluar kota akhirnya mereka bisa liburan bersama.
Mobil melaju kencang menembus jalanan sepi. Hijau padi yang mulai tumbuh tinggi dan beberapa petani yang berjalan pelan ditengah sawah.
"Anak-anak, sebentar lagi kita sampai dirumah Nenek dan Kakek. Jangan lupa nanti salam dan cium mereka ya." ucap Aditya.
"Yes sir!" jawab bocah laki-laki itu menjawab mantap sambil memperagakan gerakan hormat, yang kemudian menyuruh adiknya ikutan. Aditya hanya tertawa melihat tingkah anak sulungnya itu.
"Akhirnya kita bisa main ke tempat Bapak sama Ibu. Rasanya sudah lama sekali nggak berkunjung tapi semua masih terlihat sama." Indira menatap keluar jendela.
"Maafkan aku, sayang, akhir-akhir ini sering terjadi konflik di perbatasan jadi banyak yang ditugaskan kesana." Aditya membelai kepala istrinya, lalu meraih jemarinya.
" I love you." ucapnya lagi sambil mencium punggung tangan Indira.
"Love you more." bisik Indira, tangan satunya menggenggam erat tangan suaminya. "Always be safe, don't be sick." tambahnya sambil membelai lembut pipi suaminya.
Mobil berhenti didepan rumah kayu sederhana. Kakek dan nenek sudah menunggu didepan pintu. Keisha langsung berlari keluar mobil.
"Assalamualaikkum kakek, assalamualaikum nenek." bocah itu mencium tangan kakek dan neneknya lalu memeluk mereka erat-erat.
Indira menggendong anak bungsunya lalu masuk ke dalam rumah bersama ibu dan ayah nya. Aditya masih membereskan mobil dan mengeluarkan barang bawaan mereka, ada koper baju anak-anak dan oleh-oleh dari kota. Ia memandangi sebuah box tempat menyimpan pistol miliknya, sengaja ia bawa untuk berjaga-jaga, sebagai perwira TNI ia harus siap siaga dimana saja.
Indira membaringkan Aila dikamar depan, tidurnya lelap karena kelelahan.
"Nek, Keisha mau mandi." ucap bocah yang sudah menenteng handuk itu.
"Iya, bisa mandi sendiri nggak?" tanya Nenek.
"Bisa dong Nek. Keisha kan udah besar."
"Anak yang pintar. Cepat mandi lalu makan, oke?" Kakek mengelus kepala Keisha.
"Oke Kek."
"Wah Ibu masak rendang?" tanya indira saat melihat meja makan.
"Iya tadi dikasih daging sapi sama Pak Kades katanya sapinya bertingkah aneh, ngamuk-ngamuk terus mukul-mukulin kepalanya ke tembok. Pak Kades nggak tega terus disembelih lalu dibagikan ke warga sekitar rumahnya." jelas Ibu.
"Ayo dimakan sama nasi, ajak Aditya makan juga. Ibumu masak sup buntut kesukaannya" ucap ayahnya.
"Iya ." ucap Indira sembali nyemil rendangnya. Lalu berjalan kearah dapur untuk cuci tangan.
Brugg!!
Indira terjatuh dilantai tak sadarkan diri. Aditya yang sedang membereskan baju menoleh ke belakang.
"Sayang, kamu nggak apa-apa?" ucap aditya menghampiri indira.
Indira tak menjawab, perlahan ia bangun dengan tangan bergerak-gerak aneh, juga kepalanya, gerak kaku tak terkendali.
"Sayang?" Aditya menyingkirkan rambut yang menutupi wajah istrinya.
Namun tiba-tiba sang istri malah menyerangnya, badannya sedingin es, wajahnya pucat dengan pupil yang berubah jadi sangat kecil, hampir keseluruhan bola matanya memutih, pembuluh darahnya terlihat jelas dipermukaan kulit, merah kebiruan, kuku tangannya menghitam, dia juga mengerang tak jelas. Berkali-kali Indira mencoba menggigit Aditya.