Part 2 - Luluh

1.4K 168 28
                                    

Hari demi hari berlalu begitu cepat. Tidak terasa, waktu menuju ujian nasional tinggal sebentar lagi. Hingga saat ini, Althan masih terus berusaha membujuk ibunya agar memberi izin kuliah di Korea, sayangnya Ana masih tetap dengan pendiriannya.

Setiap Althan membahas kuliah di sana, Ana selalu menghindar. Hanya mendengar nama negara itu saja raut wajah ibu dua orang anak itu selalu langsung berubah. Perasaannya tidak bisa berbohong jika negara itu masih menyimpan luka yang teramat dalam. Ana sendiri tahu, makin melarang Althan kuliah di sana, justru keinginannya akan makin bertambah.

"Mama cantik banget hari ini."

Suara Althan membuat Ana kontan menoleh dan keningnya berkerut. Anak itu sedang duduk bersamanya dengan menyandarkan kepala di bahunya.

"Pasti ada maunya," balas Ana.

"Mama tahu aja."

"Mau beli apa?" tanya Ana seraya kembali mengalihkan pandangan ke majalah yang sedang dibaca. Tangannya sibuk membuka satu per satu halaman majalah fashion yang baru dibeli beberapa waktu lalu.

"Bukan itu," sahut Althan seraya menghela napas, lalu mengangkat kepala dari bahu Ana. "Mama masih belum ngizinin aku kuliah di Korea?"

Ana menghela napas sejenak, lalu menutup majalah dan menyimpannya di samping sofa. Topik pembicaraan yang tidak pernah ingin Ana bahas itu lagi-lagi terlontar. Mau tidak mau, kali ini Ana harus menanggapinya sebab dia sendiri sudah cukup pusing dengan pertanyaan itu.

"Kamu masih ngotot pengen kuliah di sana?"

Althan mengangguk pelan seraya menunjukkan ekspresi sedih. Dia tahu kalimat apa yang akan Ana lontarkan dan pastinya akan membuatnya sedikit kecewa.

"Kenapa nggak kuliah di negara lain aja? Kamu bisa kuliah di Malaysia, Singapura atau Australia."

"Aku maunya kuliah di sana. Aku lebih sreg kuliah di Korea dibanding negara lain."

"Mama nggak ngasih izin kalau kuliah di sana. Kalau di negara lain, mama izinin."

Rasa kecewa kembali menghantam hati Althan. Ibunya masih saja tidak mau memberinya izin kuliah di Negeri Ginseng itu meski dia sudah menunjukkan keseriusan dan keteguhan.

"Mending kuliah di sini aja. Aku nggak mau kuliah di negara selain Korea," jawab Althan pelan dengan intonasi suara yang sangat jelas terdengar sedih.

Hati Ana mencelos melihat raut sedih anaknya. Keinginan Althan untuk kuliah di Korea tidak pudar sedikit pun dan dia dengan tega menghancurkan harapan anaknya. Seandainya Ana tidak memiliki kenangan pahit di negara itu, tentu dia sudah memberikan izin sejak dulu. Sayangnya, keegoisannya membuat harapan dan cita-cita anaknya terhambat.

"Rik, lu mau kuliah di mana?" Althan mengalihkan pembicaraan kepada Alrik yang sedang duduk di lantai berkarpet dan memperhatikan layar televisi yang sedang menayangkan film animasi.

"Belum tahu, masih bingung," jawab Alrik tak acuh tanpa menatap Althan.

"Bareng gue aja. Gue mau daftar ke UI. Kalau nggak, mau nyari kampus di Bandung."

Ana makin merasa bersalah melihat Althan yang begitu terpaksa menyebut nama kampus yang akan dimasuki. Dia tahu, Althan hanya asal menyebut nama kampus itu, padahal hatinya tidak menghendaki. Rasanya, Ana berada di situasi yang sulit. Dia tidak tega melihat Althan bersedih seperti itu, tetapi dia juga tidak mau membiarkan anaknya kuliah di Korea.

"Gue nggak sanggup kalau ke UI," sahut Alrik.

"Lu, tuh, pinter, Bego! Lu pasti sanggup kuliah di UI."

"Lu sebenernya ngatain gue pinter atau bego, sih?" protes Alrik seraya berbalik dan menatap Althan dengan kesal.

Althan menatap kembarannya dengan sorot mata yang berbeda. Melalui tatapan itu, dia seolah sedang memberi tahu sesuatu. "Lu punya otak encer. Sayang kalau nggak dipake," ucapnya dengan suara yang sengaja sedikit ditinggikan, tentu saja untuk menyindir ibunya.

Unexpected TruthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang