jikook; stupid

4.6K 273 13
                                    


Jiminie pabbo!


.

.

.



"Jiminie pabbo!"

Suara lantang seorang bocah berumur lima tahun itu terdengar, memantul pada dinding-dinding retak sebuah rumah kumuh di ujung Seoul. Isakan lirih turut menyertai bersama dengan tangan-tangan kecil bergetarnya yang masih sibuk membersihkan luka pada lutut sang kakak.

Jimin acuh. Memalingkan wajah dan menatap pintu reot di sisi kanannya dalam diam.

"Kenapa tidak kabur saja?! Kenapa Jiminie diam saja saat mereka memukul Jiminie?! Jiminie pabbo!!"

Jungkook, bocah kecil itu masih terus menangis dengan sedikit sesegukan. Sesekali ia mengusap ingus berlendirnya pada lengan kaos putih panjangnya. Hidung merahnya mengerut saat tidak ada tanggapan dari yang tertua. Ia lalu bangkit, menggapai pipi Jimin dengan gemetar.

"Jiminie mengabaikan Kookie!"

Kakinya menghentak ribut saat ia tahu Jimin tidak mendengarkannya. Tangisannya makin menjadi. Membuat Jimin yang terpaut dua tahun dari bocah di hadapannya itu mau tak mau mengalihkan atensi dan menatap langsung pada netra basah milik Jungkook.

"Jiminie, Kookie sudah bilang jangan mencuri! Lihat! Sekarang wajah Jiminie jadi jelek!"

Kalimat lirih itu sukses meruntuhkan pertahanan Jimin. Ia lantas ikut menangis. Membawa adiknya pada pelukannya.

"Tapi Kookie sudah tidak makan selama dua hari! Jiminie mencuri karena tidak ingin melihat Kookie semakin kurus!"












.

.

.












Gemuruh guntur memekakkan telinganya. Tetesan air hujan menyamarkan lelehan air matanya yang tak kunjung berhenti. Giginya bergemeletuk; badannya bergetar kedinginan. Mengabaikan semua itu, ia justru melepaskan jaketnya untuk menutup luka itu. Berupaya untuk menghentikan pendarahan hebat pada perut sosok dalam pangkuannya.

'Ku mohon'

'Ku mohon bertahanlah..'

Ia melirih. Semakin menekan luka itu dengan tangan bergemetar. Tangisannya tidak bisa lagi ia tahan, sebabkan isakan lirih mulai terdengar dari bibirnya.

Pemuda tujuh belas tahun dalam pangkuannya itu bergerak, membuka mata bulatnya dengan lemah. Ia tersenyum.

"Pabbo!"

"Jimin, kau bodoh."

Jimin semakin menangis. "Maaf, maafkan aku, Jung."

Jungkook tidak menyahut. Ia menatap kosong pada langit yang masih setia menjatuhkan tetesan air hujan.

"Jimin, s-sudah berapa kali aku bilang un-untuk tidak mencuri, huh?"

Jimin tidak menjawab. Ia hanya terus bergumam maaf dengan lirih.

Jungkook menggampai pipi Jimin dengan lemah. Ia terkekeh. "Jiminie pabbo!" Ia terbatuk, "Ja-jangan menangis!"

Jimin memegang tangan itu dengan erat. Air matanya yang melebur bersama air hujan terjatuh pada kening Jungkook. "Jung, bertahanlah," gumam Jimin di tengah petir kembali menyambar.

Lorong dalam gang itu begitu pengap. Sampah-sampah berceceran di tanah sepanjang pandang menggampai. Perlahan, rungunya mendengar suara siren yang amat sungguh tidak ingin ia dengar sekarang.

Polisi. Mereka semakin mendekat.

Dan Jimin kembali menyaksikan bagaimana adiknya yang begitu kesakitan, dengan darah yang tiba-tiba saja berlomba-lomba keluar dari mulut Jungkook. Seolah darah dari luka tembakan di perut sang adik belum cukup banyak untuk dibuang secara begitu percuma.

Jimin semakin terisak. Rasa bersalah makin memenuhi relung hatinya.

"Kookie, kau tau sendiri. Aku begini, karna ingin kau segera mendapatkan operasi itu." Ia menggigit bibirnya, tergugu dalam tangisnya, "Tumor dalam kepalamu sudah mencapai batasnya, Kookie. Hyung tidak ingin kehilanganmu."

Namun, siapa yang dapat menduga bahwa akhir dari tekat buntu nya malah membawa malapetaka untuk mereka.

Jika, jika saja ia memiliki cukup banyak uang untuk biaya operasi adiknya, mungkin situasi seperti ini tidak akan pernah terjadi. Mungkin ia masih bisa melihat adiknya tersenyum tanpa kerutan sarat kesakitan di dahinya. Mungkin ia tidak akan pernah menyaksikan secara begitu nyata, detik di mana sang adik dengan rela menjadi tameng dan mengorbankan tubuhnya sendiri tertembak oleh salah satu polisi yang mengejarnya.

Jika,

Jika saja takdir tidak senang mempermainkan kehidupan mereka,

Mungkin ia tidak akan bersikap bodoh dengan mencuri, mungkin sejak dulu ia dan adiknya tidak akan merasakan penderitaan secara bertubi-tubi seperti halnya sekarang ini, kan?

Sekali lagi, Jimin merutuki garis takdir yang Tuhan tulis untuknya dan adiknya.





Fin.








Desember, 2019
[Re-up] Maret, 2020



Mourir | ft.jjkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang