kukis dan bunny

961 89 7
                                    

Warning!
Mengandung konten negatif.
Harap jangan ditiru!

.

.

.

Bermain.. Bermainn..


Go.. Goo.. Waktunya bermainnn..



Senandungan ceria terdengar dari bilah bibirnya. Langkahnya menghentak senang, menuju kamarnya yang gelap gulita sebab lampu tidak ia hidupkan.

"Bunny!" Ia memekik, memeluk erat sebuah boneka kelinci lusuh miliknya yang berada di atas kasurnya.

"Bunny, mau menemani kukis main, hum? Iya, ya, harus, pokoknya harus. Kukis tidak mau menerima penolakan, pokoknya! Jangan seperti Mama, oke?!" Bunny tenggelam dalam pelukannya, bergoyang ke kanan dan ke kiri mengikuti Kukis yang tampak senang sekali dengan suara kikikan kecil yang tidak bisa Kukis tahan-tahan.

"Bunny, tahu tidak? Kita sekarang cuma tinggal berdua. Tidak ada siapapun di rumah. Katanya Mama mau pergi. Tapi Kukis tidak tahu Mama mau kemana. Hm, tidak penting juga, sih, Mama mau kemana. Kan yang paling penting Bunny dan Kukis hanya tinggal berdua! Hehe." Kukis terus terkikik. Matanya melengkung seperti bulan sabit dan gigi kelincinya lucu sekali menyembul di antara bibirnya.

"Bunny, masih ingat permainannya, 'kan? Eh, terakhir kali kita main itu kapan, ya? Hum, dua bulan? Tiga bulan? Eh, atau empat bulan yang lalu, ya? Duhh, otak Kukis rasanya mau pecah, deh, cuman mau ingat-ingat itu. Yah, tidak usah dipikirin lagi, dehh. Bunny kalau lupa tinggal Kukis ajarin lagi donk, hihii. Gampang nyuss!"

Kemudian Kukis bangkit dari duduknya dan mengambil mainannya yang ia simpan di lokernya. Kukis membawa Bunny pada kolong meja belajarnya. Ia menempatkan Bunny pada pangkuannya. Sejenak Kukis menatap lamat pada Bunny yang tampak lusuh sekali dengan bulu-bulu yang seharusnya berwarna putih tapi kini menjadi kecokelatan dan kotor. Kukis tidak peduli betapa lusuh dan kotornya boneka itu. Justru ia terlihat senang sekali, dan ia kembali memeluk Bunny dengan super erat. Kukis sayang Bunny karena Bunny pemberian Mama. Kukis sayang Mama.

"Nah, sekarang, ayo kita main! Go.. Go!!"

Kukis melihat mainannya, yang berkilau, yang cantik, yang memantulkan wajahnya, dan tajam. Kukis memandang pantulan wajahnya yang tersenyum. Mengarahkan mainannya pada kulit lengan putih miliknya seperti itu adalah hal yang biasa dilakukannya.


Satu..

Kukis menghitung.

Dua..


"Bunny, apa kau menyukai warna bulumu? Lihat, itu merah. Bukankah itu bagus? Hihii."

Tiga..


Merah, Kukis semakin mengembangkan senyumnya kala si merah terus menetes dari kulitnya. Merah, Kukis suka merah!


Empat..


Tidak berguna! Anak tidak berguna!


Lima..



Mengapa anak tidak berguna sepertimu harus lahir dari rahim saya! Dasar anak tidak berguna!



Ena—m..


Tes.. Tes..

Hikss



Tu-tujuh..



Anak bodoh! Tidak tau diuntung! Tidak berguna! Menyesal saya melahirkanmu! Bikin malu!



De-delapann..


Hiks hikss



Sembiila—nn..



Anak setan!!



Se-puluhh..





"Bunny, su-suuka wa-warnanya 'kan? Merah, i-itu can-cantik 'kan? Bunny mau lagi? Sini dehh Ku-kukis kasih banyak-banyak!"

Si merah terus mengalir di kulit kedua lengannya. Kukis mengusap mereka pada bulu-bulu Bunny. Sekarang bunny semakin cantik dengan warna merah pekat yang belepotan di bulu-bulunya.

Kukis memandang lengannya. Hum, mengapa Kukis merasa kurang puas, ya? Kukis memandang sekali lagi pada Bunny di pangkuannya, lalu ia meletakkan Bunny sembarangan di sampingnya.


Sebelas..



Kukis kembali menekan ujung mainannya, kali ini pada kulit paha putihnya. Sensasi menyenangkan itu kembali memenuhi perasaannya. Dan Kukis kembali tersenyum sanang.



Duabelas..




Lalu seterusnya, seterusnya, dan seterusnya. Kukis tidak tahu lagi itu sudah ke berapa, tapi merah kini telah memenuhi kulit pahanya. Kukis senang, tapi kenapa air matanya juga terus mengalir, ya? Kukis muak. Dia tidak suka air mata. Dia lebih suka merah karena itu menyenangkan. Kukis suka merah dan membenci air mata karena itu mengganggu penglihatannya ketika ia sedang bermain.

Kukis membaringkan tubuh kecilnya, meringkuk dengan Bunny di dalam pelukannya. Bulan mengintip dari celah gorden jendelanya yang terbuka. Angin membuat atmosfer dan lantai menjadi semakin dingin. Kukis menggigil tapi ia tidak mau beranjak. Merah mengalir semakin banyak dan tidak mau berhenti dari salah satu lengannya. Kukis tidak tahu mengapa. Apa dia melukisnya terlalu dalam, ya?

Kukis tidak peduli.

"Bunny, Mama bilang, Kukis ini anak tidak berguna sama sekali, dan bikin malu. Katanya juga, Kukis ini anak setan. Itu berarti Kukis bukan anak Mama, donk." Kukis tidak tahu mengapa lagi-lagi air matanya mengalir deras. Kukis benci air mata karena itu mengganggu penglihatannya.

"Bunny, kalau Kukis pergi, Mama bakal senang gak, ya?" Netra basah menatap lurus pada merah yang tak kunjung berhenti mengalir di lengannya. Padahal Kukis sudah merasa kepalanya pening seperti mau meledak. "Kukis ingin buat Mama senang. Ingin sekali. Tetapi Mama tidak pernah menyukai Kukis. Jadi Kukis bertanya-tanya, Mama bakal senang gak, ya, kalalu Kukis pergi?"

Bulu-bulu Bunny semakin merah karena lantai penuh dengan merah. Kukis jadi semakin merasa pusing. Kelopak matanya menjadi sayu seperti mereka akan tidur kapan saja. Tetapi Kukis masih belum ingin tidur. Um, Kukis sudah lupa bagaimana rasanya ketika Mama memeluknya erat seperti ia yang kini memeluk erat Bunny. Kukis jadi ingin merasakannya sekarang.

"Kukis ingin dipeluk Mama."

Namun hingga malam semakin pekat dan lantai semakin dingin, Mama belum datang. Kukis semakin menggigil dengan bibir yang membiru. Kulitnya putih pucat seputih salju, merah di lantai mulai mengering membuat ia merasa mereka membuatnya kaku. Sementara merah di lengannya terus mengalir seperti tidak pernah ingin berhenti. Kukis semakin merasa mengantuk. Secara bertahap, ia ingin segera tidur sebab rasa perih mulai menghujam setiap jengkal kulitnya. Bunny sudah lama terlepas dari pelukannya. Merah di tubuh Bunny juga mulai mengering.

Tikk.. Tokk.. Tikk.. Tokk..

Detak jam seperti irama penghantar tidurnya. Kukis menatap sayu pada Bunny, "Bunny, Kukis sayang Mama dan Bunny juga. Bunny, tolong jaga Mama, ya.."

Kukis tersenyum di antara kesadarannya yang mulai terkikis.

Kukis sayang Bunny karena Bunny pemberian Mama. Kukis sayang Mama.

Kukis suka merah karena merah menyenangkan. Dan Kukis benci air mata karena itu akan mengganggu penglihatannya. Tetapi kali ini air matanya mengalir tepat setelah netranya terpejam dan gelap yang menghalangi penglihatannya.

Kukis benci gelap, karena gelap membuatnya tidak bisa memeluk Mama.



Fin.





Aku ijin hiatus, boleh?

Aku ngerasa sedikit depresi akhir-akhir ini. Do'akan semoga aku tidak seperti Kukis, ya. Hihii.

Ppai-ppai semuanya!
Jangan rindu, rindu itu berat:v

Mourir | ft.jjkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang