Dalam keadaan bingung dan kalut, satu-satunya nama yang terlintas di benak saat ini adalah Jihan, karena ia baru saja mengirim gambar menu makan malamnya di salah satu restoran hits yang ingin kami datangi ke group anak-anak kantor.
Setelah dua nada panggilan, telepon pun diangkat.
"Langsung nelepon aja lo, ngiri ya lo belom sempet ke sini dan gue udah?" pamer Jihan di seberang telepon sambil tertawa.
"Jihan..." ucap gue dengan serak, menahan isak tangis.
Tawa Jihan meredup, kemudian bertanya dengan tidak yakin. "Git? Are you okay?"
"No, I'm not okay," ucap gue tercekat. "Bisa kita ketemu sekarang" lanjut gue setelah mengambil napas panjang.
"Lo di mana? Biar gue yang ke sana."
Setengah jam kemudian, Jihan datang ke tempat yang gue tunjuk. Sebuah kafe di dekat kampus tempat gue menuntut ilmu dulu. Jihan datang bersama dengan Tristan, sang kekasih yang juga merupakan salah satu teman gue saat kuliah dulu.
Jika gue mengajak Rizka bertemu, tentu Yudis akan mengetahui hal ini. Gue tidak ingin hubungan gue dan Januar akan semakin rumit ke depannya jika semakin banyak orang yang tahu bahwa sesungguhnya ia menyimpan rasa.
Jihan menatap gue dengan penuh tanda tanya, di sampingnya Tristan mendampingi dengan penuh antisipasi.
"Ada apa Git?" tanya Jihan sambil menggenggam tangan gue.
"Tadi Januar nganter gue ke kantor Aga," ucap gue mulai bercerita.
"Terus apa yang bikin lo mewek?" Jihan menatap gue dengan dalam, hidung dan mata gue yang merah membuatnya dengan mudah mengambil kesimpulan bahwa gue habis menangis.
"Januar... ungkapin perasaannya ke gue,"
Tidak ada reaksi berlebihan dari raut wajah Jihan, justru Tristan lah yang mengeluarkan ekspresi terkejut yang begitu kentara. "Lo kan mau nikah Git," ucapnya kemudian.
Gue mengangguk, mengiyakan ucapan Tristan, kemudian menatap Jihan dengan penuh keheranan. "Kok lo nggak respon apa-apa?"
"Cuma orang bego yang nggak sadar akan perasaan Januar sama lo." Jihan berkomentar, menusuk tepat ke ulu hati.
"Gue... bego dong?" tanya gue kebingungan.
Jihan menghela napas panjang, "Iya," sahutnya yang membuat gue bungkam seribu bahasa. "Anak-anak udah pada tau kalau Januar itu naksir elo, makanya dia nolak cewek-cewek yang ngajak dia jalan."
Penjelasan Jihan tak membuat suasana hati gue membaik, yang ada semakin memburuk. "Kenapa lo nggak pernah bilang sih Jihan?"
Jihan termenung, kemudian menatap gue dalam. "Lo nggak peka Git, pernah nggak lihat dia bahas rencana pernikahan lo sama Aga?"
Gue menggeleng.
Gue baru inget Januar tidak pernah menanyai apapun perihal hubungan gue dengan Yiraga, dan saat anak-anak memberikan ucapan selamat begitu Yiraga melamar, Januar memilih untuk bungkam
"Pernah liat gak dia nanyain perkembangan hubungan lo sama Aga kayak Mail, Dika, sama Yudis."
Lagi, gue hanya bisa menggeleng. Sekalinya Januar bertanya, itu kemarin, dan itu pun hanya menanyakan soal gue yang akan tetap bekerja apa enggak setelah nikah.
"Pernah lihat dia kasih referensi resto bagus selain ke lo nggak? Contohnya resto ini, Januar yang share. Dia rekomen ke lo doang dengan bermaksud mengajak Git."
Segitu terlihatnyakah perasaan Januar sama gue? tapi kenapa gue nggak peka?
"Lo terlalu buta akan Yiraga Git, makannya lo sama sekali nggak menyadari perasaan Januar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah?
General FictionMemiliki calon suami dengan dua adik laki-laki yang berkelakuan absurd membuat Brigita harus banyak bersabar. Saat hari pernikahan mereka semakin dekat dan mantan terindah itu datang, apakah mereka bisa bertahan?