DUKA

6 0 0
                                    

Setiap pagi, aku sering menghabiskan waktu liburku untuk duduk termenung di taman belakang rumahku, sambil memang sebentuk cicin putih yang kau pertandakan untukku. Aku sering bercerita sendiri bersama desah nafasku, kadang sesekali sempat ku nyalakan sebuah lagu yang menjadi favorite kita bersama.
Jika saat itu,aku benar-benar tak ingin siapapun yang menggangguku bahkan sehelai daun pun tak ingin rasanya mengacau lamunan Itu.
        Tapi, tiba-tiba saja aku merasa kehilangan sesuatu yang begitu akrab diantara kutub-kutub hatiku, ku sebut saja kutub rindu. Aku tak mungkin menuangkan tumpukkan warna di kertas yang di penuh garis dan kata bermajas, sebab tulisan itu tak kunjung selesai.
          Masih banyak tinta yang di perlukan dari cairan pena dan sentuhan warna warni hingga tulisan itu mendekati sempurna. Kita sudah mulai menulis kertas kosong itu sejak mulai hingga waktu yang tak berpadas.
       Entahlah, sudah hampir dua bulan aku melakukan hal semacam itu, seperti sudah menjadi kebiasaanku. Tak  ada satu orang pun yang boleh menggangguku. Terkadang ibu selalu mengkhawatirkan ku dengan sikap ku yang semacam itu.
        Di ruang kosong yang semula di penuhi pernik cahaya lentera, kita bertatap muka penuh gairah. Di penjuru ruang kosong itu bergantung tabung-tabung rindu penuh makna dan aroma. Tabung-tabung itu bergeseran satu dengan yang lain mengalirkan irama-irama lebut bethoveen. Seketika irama-irama itu menyayat-nyayat hati kita hingga mengukir potongan sejarah baru. Kita bagaikan sepasang merpati putih yang menari-nari di bawah gemerlapan cahaya bulan, sejarah itu kemudian terus ku ingat sampai kini.
         Mengenang Itu, aku bagaikan orang yang tak punya pilihan saat berada di persimpangan tak bertanda. Aku seperti ragu untuk melangkah lagi, hidupku seperti kapas yang di terpa angin hanya melayang tanpa tujuan panjang.
         Aku begitu hancur, hatiku begitu patah. Duka yang aku terima satu bulan yang lalu masih membekas di hati dan pikiranku.
        Kabar itu terlalu keras mengiang di telingaku, hingga membuat pikiranku sering tak sadarkan diri. Kadang apa yang terjadi di sekitarku sering tak ku sadari. Begitu parahnya patah hati yang ku alami saat itu.
        Andai masa lalu boleh terus di ulang dan di perpanjang, maka dirimu boleh jadi termaktub dalam pada pohon ranji masa lalu itu.
       Mungkin begitulah perasaan seorang kekasih yang berkasih, jika kekasihnya sudah berada jauh kembali kegaris hidup yang sebenarnya. Begitulah perasaanku, aku begitu ternganga saat cahaya tak ada.
       Memang, jika matahari tak pernah terbit lagi Untuk memeluk bumi, keadaan begitu gelap dan sunyi tiba-tiba. Kita akan merasa begitu kehilangan, kita merasa ada yang terenggut tanpa sengaja, terasa ada yang tercabut dari akar yang semula menancap jauh ke tanah.
        Sungguh, ia tak kunjung  kembali lagi saat itu.  Aku begitu merindukannya yang berhari-hari sempat menangkap cahaya hingga memekarkan kelopak bunga di jiwa.
     Kisah kasih kita penuh wangi dan warn, penuh hijau daun  dan kupu-kupu yang menyemai spora di mahkota bunga, penuh air mata. Kini, hari-hari yang ku lalui hanya sekedar mimpi dan hayalan semata, Bagaikan merpati yang mengibas-ngibaskan bulu-bulu beningnya.
      Kau redupkan cahaya lentera di tiap penjuru, hingga masa lalu kita dapat di tuliskan secara khidmat dan penuh makna. Saat itu, kau menatapku sambil membisikkan untaian puisi yang kau tulis bersama harapan di masa depan.
       "Ah ,tak cukup kata memberi makna", katamu.
Kita memang di isyaratkan sepasang merpati yang saling mengibaskan sayapnya. Bagaikan peladang kasih kita pun sudah pula bertanam dan menebar benih. Katamu " satu saat nanti kita akan sama-sama memanen bahagianya ".
       Tetapi, takdir kita berkata lain, hinggalah kini, kita terpisah jauh menjalani kodrat diri yang termaktub di singgasana lauhul mahfuz. Semulanya kita begitu dekat lantas terpisah oleh lempengan takdir.
         Sampailah penyesalan itu masih ku sesali, mengapa hanya dirimu yang terpanggil, mengapa Tuhan tidak memanggil diriku juga di saat yang sama di hari kepergianmu untuk meninggalkan ku selama-lamanya.
        Hanya do'a dan harapan itulah yang selalu membatin di hati kecilku. Aku begitu merindukanmu. Andai saja Tuhan masih mengizinkan kita untuk terus bersama, tentulah aku akan menjadi orang yang paling beruntung di miliki olehmu.
       Setelah dua bulan berlalu, di setiap harinya wajah dan pipiku selalu di basahi dengan air mata, dalam tangis isakku selalu ku lantunkan do'a yang paling teringin "panggil aku tuhan, temui aku bersama kekasih ku yang telah dulu kau panggil mengadap-Mu".

~Tamat~

Meja dua puluh enamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang