BAGIAN 1

1.2K 31 0
                                    

Tidak seperti biasanya, kota Kadipaten Watu Kambang kelihatan ramai. Hampir di setiap sudut kota terpancang umbul-umbul dan berbagai macam hiasan yang menyemaraki suasana. Semua orang dari berbagai kalangan, tumpah ruah di jalan utama yang membelah kota Kadipaten Watu Kambang menjadi dua bagian. Semua rakyat di kadipaten ini memang tengah melampiaskan kegembiraannya, karena akan mendapatkan seorang pengganti adipati yang sudah lanjut usia.
Semua orang sudah tahu, siapa pengganti Adipati Baka Witara itu. Pengganti adipati itu memang disambut gembira, karena mereka sudah mengenal baik. Dia adalah putra Adipati Baka Witara sendiri. Seorang pemuda gagah dan selalu dekat dengan siapa saja. Bahkan tidak pernah memandang derajat atau pangkat seseorang.
Keramaian yang berlangsung di istana kadipaten itu juga tidak kalah meriahnya. Terlebih lagi, Adipati Baka Witara mengadakan pertandingan adu kekuatan jago-jago pilihan di kadipaten ini. Mereka yang memiliki kemampuan tertinggi, akan diangkat sebagai pegawai pribadi adipati yang baru. Pertandingan itu berlangsung di halaman depan istana yang luas.
Saat itu, di atas panggung sedang berlaga dua orang jago kadipaten. Dan sampai tengah hari ini, sudah lebih dari sepuluh pertandingan dilangsungkan. Namun, belum juga ada yang berkenan di hati Raden Wikalpa, calon pengganti ayahnya yang akan menduduki jabatan adipati di Kadipaten Watu Kambang ini.
“Sudah sepuluh orang yang bertanding, Wikalpa. Apakah pilihanmu sudah kau dapatkan?” tanya Adipati Baka Witara.
“Belum,” sahut Raden Wikalpa yang duduk di samping ayahnya.
“Mereka semua berkemampuan tinggi, Wikalpa. Dan mereka adalah jago-jago pilihan yang ada di seluruh kadipaten ini,” jelas Adipati Baka Witara.
“Mereka memang tangguh, tapi tidak bisa menghilangkan keangkuhannya, Ayah. Aku tidak suka orang yang angkuh dan kasar,” Raden Wikalpa beralasan.
“Dalam suatu pertarungan, memang diperlukan keangkuhan, Wikalpa.”
“Tidak selamanya, Ayah. Kerendahan hati biasanya akan membawa kemenangan yang sesungguhnya.”
“Tapi mereka akan patuh pada perintahmu. Jika kau memerintahkan mereka, tak akan ada yang berani menentang.”
Raden Wikalpa hanya tersenyum saja. Saat itu pertarungan di atas panggung sudah berakhir, dan dimenangkan oleh seorang laki-laki berusia setengah baya. Tubuhnya tinggi tegap dan wajahnya mencerminkan ketegasan dan kekerasan. Laki-laki setengah baya itu membungkuk memberi hormat pada Adipati Baka Witara dan putranya, kemudian berdiri tegak di atas panggung, bersikap menantang siapa saja.
“Siapa dia, Ayah?” tanya Raden Wikalpa. Matanya tidak berkedip mengamati laki-laki setengah baya di atas panggung itu.
“Jaran Amoksa,” sahut Adipati Baka Witara. “Dia jago terakhir, dan tidak terkalahkan sejak pertarungan tadi.”
“Dari mana asalnya?”
“Desa Gandul.Tepatnya, dari Padepokan Gagak Putih.”
“Apakah ilmu olah kanuragannya hanya sampai di situ saja, Ayah?”
“Aku tidak tahu.”
Raden Wikalpa bangkit berdiri. Dipanggilnya pembawa acara yang berdiri di sudut dekat panggung. Laki-laki tua yang mengenakan baju putih panjang itu bergegas menghampiri. Tubuhnya dibungkukkan untuk memberi hormat pada Raden Wikalpa.
“Hamba menghadap, Raden.”
“Paman Legiwa, umumkanlah. Pertandingan ini akan dilanjutkan sampai tiga hari, dan terbuka pada siapa saja. Untuk sementara, boleh ditetapkan kalau Jaran Amoksa adalah pemenangnya. Maka, dia harus bersedia melayani siapa saja yang menantangnya,” ujar Raden Wikalpa.
“Hamba laksanakan, Raden.” Laki-laki tua yang dipanggil Paman Legiwa itu bergegas naik ke atas panggung. Kemudian dengan suara lantang, diumumkanlah perintah Raden Wikalpa tadi. Tentu saja pengumuman ini sangat mengejutkan, tapi disambut gembira.
Sementara Raden Wikalpa sudah kembali duduk di samping ayahnya. Saat itu Paman Legiwa sudah turun dari panggung. Bergegas dihampirinya Raden Wikalpa yang melambaikan tangannya memanggil.
“Hamba, Raden....”
“Perintahkan beberapa prajurit untuk mengumumkan hal itu ke seluruh pelosok kadipaten, dan buka pintu gerbang lebar-lebar. Biarkan seluruh rakyat menikmatinya,” kata Raden Wikalpa lagi.
“Hamba laksanakan, Raden,” sahut Paman Legiwa, bersikap penuh hormat.
“Satu lagi, Paman.”
“Hamba, Raden.”
“Sepuluh orang itu akan menjadi pengawalku, tapi harus tunduk pada pimpinannya nanti,” ujar Raden Wikalpa.
“Hamba, Raden”
“Beritahukan hal itu secepatnya. Ingat, pertarungan ini dilaksanakan selama tiga hari.”
Paman Legiwa kembali membungkuk memberi hormat, kemudian bergegas pergi. Raden Wikalpa menyandarkan punggungnya seraya menghembuskan napas panjang. Sedangkan ayahnya yang duduk di sampingnya, hanya tersenyum saja. Memang, sebenarnya adu ketangkasan ini sengaja diperintahkan agar dilaksanakan tertutup. Dia memang ingin menguji putranya ini yang sebentar lagi akan menggantikan kedudukannya.
Dan ternyata Raden Wikalpa tidak puas kalau adu ketangkasan ini tidak tersebar luas ke seluruh pelosok Kadipaten Watu Kambang ini. Dia ingin pengawal pribadinya nanti benar-benar seorang yang tangguh dan berkepandaian tinggi. Jadi, bukan orang pilihan yang ditentukan begitu saja. Tapi yang terpenting lagi, Raden Wikalpa menginginkan yang terbaik dalam arti keseluruhan.
“Kau yakin bisa mendapatkan orang yang kau inginkan, Wikalpa?” tanya Adipati Baka Witara.
Raden Wikalpa tidak menyahut, dan hanya tersenyum saja.
“Bagaimana kalau ada wanita yang ikut, dan ternyata sangat tangguh?” tanya Adipati Baka Witara lagi.
“Tidak ada bedanya, Ayah,” sahut Raden Wikalpa. “Kalau ada seorang wanita yang mampu dan pantas menduduki jabatan kepala pengawal, mengapa harus ditolak? Aku tidak pernah membedakan kedudukan antara laki-laki dan wanita.”
Adipati Baka Witara sempat menggelengkan kepalanya, tapi dalam hati sungguh mengagumi putranya ini. Seorang anak yang benar-benar sangat membanggakan dan membahagiakan hatinya.
Keramaian di Kadipaten Watu Kambang, semakin semarak saja. Ini karena adanya pengumuman yang menggembirakan dari Raden Wikalpa. Bukan hanya rakyat yang menyambut gembira. Bahkan mereka yang merasa mempunyai kemampuan ilmu olah kanuragan mencoba untuk mengadu nasib menjadi pemimpin pengawal pribadi pemuda yang akan menduduki jabatan adipati itu.
Begitu banyaknya peminat, sehingga membuat Adipati Baka Witara yang jadi pusing tujuh keliling. Masalahnya, waktu yang ditentukan Raden Wikalpa sudah terlewati, tapi belum semua peminat mendapat giliran menunjukkan kebolehannya. Dan terpaksa, waktu pertandingan diperpanjang hingga tidak terbatas. Karena sampai lima hari, belum juga ada yang berkenan di hati pemuda itu.
“Wikalpa, apa sebenarnya yang kau inginkan?” tanya Adipati Baka Witara saat pertandingan sudah memasuki hari keenam.
Raden Wikalpa yang ditanya demikian hanya tersenyum saja. Dia tahu kalau ayahnya mulai tidak sabar lagi. Tapi pemuda itu tetap ingin menyelesaikan adu ketangkasan ini. Padahal dari daftar peminat yang sudah ada, tidak cukup sepuluh hari lagi untuk menyelesaikan pertandingan ini.
“Kemarin sudah datang utusan dari istana. Gusti Prabu sudah mendesak untuk mengangkatmu menjadi adipati, Wikalpa,” jelas Adipati Baka Witara.
“Tunggu saja sampai semua ini selesai, Ayah,” ujar Wikalpa kalem.
“Sampai kapan?” jelas sekali kalau nada suara Adipati Baka Witara mengandung ketidaksabaran lagi.
Raden Wikalpa tidak menyahut, tapi malah tersenyum saja. Bahkan pandangannya tetap tertuju ke arah panggung. Tampak di atas panggung yang cukup besar itu tengah berlaga dua orang anak muda yang memiliki kepandaian tanggung. Tidak heran kalau pertandingan itu sangat membosankan. Tapi itu berlangsung tidak lama, karena salah seorang sudah terjungkal keluar panggung.
Tak berapa lama kemudian, seorang gadis muda yang cantik, melompat naik ke atas panggung. Gerakannya sungguh ringan, sehingga tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat lunak di atas papan panggung. Matanya sempat mengerling sedikit pada Raden Wikalpa yang duduk di samping ayahnya.
“Siapa gadis itu, Paman?” tanya Raden Wikalpa pada laki-laki tua yang berdiri tepat di sampingnya.
“Dia mendaftarkan diri dengan nama Dewi Lanjani, Raden,” jawab Paman Legiwa.
“Hm..., berapa orang wanita yang ada di dalam daftar?”
“Hanya dua.”
“Siapa seorang lagi?”
Belum juga Paman Legiwa menjawab, tiba-tiba saja terdengar seruan keras dari arah panggung.
“Orang tua...! Kapan pertandingan ini dimulai...?”
Paman Legiwa langsung berpaling menatap gadis berbaju kuning yang berdiri di atas panggung. Raden Wikalpa juga menatap ke arah yang sama. Sedangkan Adipati Baka Witara, tampak kurang senang pada sikap gadis yang berdiri congkak dengan tangan bertolak pinggang di atas panggung.
“Silakan dimulai, Paman,” perintah Raden Wikalpa.
Paman Legiwa memerintahkan agar pertarungan segera dimulai. Dan sebelum suara laki-laki tua itu menghilang, gadis yang mengaku bernama Dewi Lanjani sudah melompat menerjang pemuda yang baru saja mengalahkan dua orang peserta itu.
“Heh...?!” pemuda itu terkejut bukan main. Buru-buru tubuhnya diegoskan ke kanan, menghindari pukulan keras yang dilontarkan Dewi Lanjani ke arah dadanya. Namun begitu pukulan keras bertenaga dalam cukup tinggi itu lewat, mendadak saja tubuh Dewi Lanjani berputar cepat, dan kakinya melayang deras.
Hal ini sama sekali tidak diduga oleh pemuda itu, sehingga tidak sempat lagi berkelit. Sepakan kaki Dewi Lanjani yang keras dan cepat luar biasa itu tak terbendung lagi, tepat menghantam dada pemuda yang belum sempat melakukan sesuatu.
Degkh!
“Akh...!” pemuda itu memekik keras. Seketika tubuhnya terlontar deras ke luar panggung. Seketika sorak sorai menggemuruh meledak, menyambut kemenangan gadis itu. Sungguh hanya sekali gebrak saja, lawannya sudah dibuat mengerang di tanah. Beberapa prajurit bergegas menghampiri pemuda itu, dan menggotongnya menjauhi arena pertandingan.
Dewi Lanjani berdiri tegak dan bersikap angkuh di atas panggung. Lagi-lagi matanya mengerling dan melemparkan senyuman pada Raden Wikalpa. Sikap gadis itu membuat Adipati Baka Witara jadi muak, dan perutnya terasa mual. Meskipun hanya diam saja, namun dalam hatinya berharap kalau gadis itu dapat dikalahkan dalam pertandingan selanjutnya. Sama sekali dia tidak menginginkan gadis itu menjadi ketua pengawal untuk putranya.
Namun harapan Adipati Baka Witara seperti pupus begitu saja. Karena beberapa orang telah mencoba, semuanya harus terpaksa terjungkal ke luar panggung. Tak ada satu pun lawan-lawan berikutnya yang mampu menandingi lebih dari dua jurus. Bahkan beberapa orang yang sudah mendaftar, terpaksa mundur melihat kedigdayaan gadis itu.
“Paman, dari mana dia berasal?” tanya Raden Wikalpa ingin tahu. Karena sudah lebih dari sepuluh orang yang mencoba, namun semuanya gagal.
“Dia tidak menyebutkan asalnya, Raden,” sahut Paman Legiwa.
“Hm..., apakah masih ada lagi yang harus dihadapinya?” tanya Raden Wikalpa.
“Masih tiga orang lagi, Raden.”
“Tiga orang lagi...?!” Raden Wikalpa tampak terkejut.
“Benar, Raden. Hampir semua peserta yang sudah mendaftar mengundurkan diri. Dan kini masih tersisa tiga orang lagi.”
“Hm...,” gumam Raden Wikalpa tidak jelas. “Lanjutkan pertarungan ini, Paman.”
“Hamba, Raden.”
Raden Wikalpa memiringkan tubuhnya, mendekati ayahnya yang duduk di samping sebelah kiri. Sementara itu Paman Legiwa sudah memanggil seorang peserta yang masih terdaftar. Muncullah seorang laki-laki berusia setengah baya yang bertubuh tinggi tegap dan berotot bersembulan keluar. Sebilah golok besar tersandang, berkilatan tertimpa cahaya matahari.
Meskipun tubuhnya besar, namun gerakannya sangat ringan ketika melompat ke atas panggung. Sedikit pun tidak terdengar suara begitu kakinya menjejak papan panggung itu. Paman Legiwa tadi memanggilnya dengan nama Buto Kampara.
“He he he.... Apakah pertandingan ini sudah bisa dimulai, Gusti Adipati?” terdengar berat sekali suara Buto Kampara.
“Silakan kalian mulai,” Paman Legiwa yang menyahut.
“He he he...,” Buto Kampara tertawa terkekeh seraya memutar tubuhnya, menghadap Dewi Lanjani.
Sementara itu, Adipati Baka Witara semakin muak saja menyaksikan pertandingan ini. Tapi dia masih mencoba bertahan di tempat duduknya, karena tidak ingin mengecewakan anaknya yang tampaknya menikmati sekali acara ini. Dan memang, Raden Wikalpa menggemari ilmu­-ilmu olah kanuragan tingkat tinggi. Pemuda itu akan belajar pada siapa saja yang memiliki kepandaian lebih tinggi darinya, tanpa peduli apakah ilmu yang dipelajari beraliran putih atau sesat.
Bagi Raden Wikalpa, semua ilmu olah kanuragan dan kesaktian yang ada di dunia ini tidak ada yang putih ataupun hitam. Semuanya sama saja. Hanya mereka saja yang menggolongkan demikian karena menggunakannya berdasarkan jalan masing-masing. Jadi, itu tinggal tergantung bagaimana orangnya. Malah bukannya tidak mungkin, orang yang memiliki ilmu dianggap sesat, justru akan digunakan untuk jalan kebaikan. Dan itu sering terjadi. Hanya saja, sebagian besar orang-orang kaum rimba persilatan menilai suatu ilmu dari sumber ilmu yang diperolehnya.
Sementara itu, pertarungan di atas panggung sudah dimulai. Tampak sekali kalau Buto Kampara sangat bernafsu untuk memenangkan pertarungan ini. Beberapa kali Dewi Lanjani dirangsek dengan jurus-jurus permainan goloknya yang cepat dan berbahaya sekali.
Namun Dewi Lanjani bukanlah gadis kosong yang begitu saja mudah ditaklukkan. Tingkat kepandaian yang dimilikinya cukup tinggi, sehingga sukar bagi Buto Kampara untuk cepat menjatuhkan gadis itu. Bahkan beberapa kali Buto Kampara terpaksa membanting tubuhnya menghindari serangan-serangan yang dilancarkan gadis itu.
“Lepas...!” tiba-tiba saja Dewi Lanjani berteriak nyaring.
Dan seketika itu juga tangannya dihentakkan ke pergelangan tangan Buto Kampara yang memegang golok. Hentakan tangan gadis itu demikian cepat dan keras sekali, karena disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Sesaat Buto Kampara terperangah, namun cepat menarik tangannya yang sudah terulur hendak menusukkan goloknya ke dada gadis itu. Namun gerakan Buto Kampara sedikit tertambat. Akibatnya....
Plak!
“Akh...!” Buto Kampara memekik tertahan. Dan sebelum laki-laki tinggi besar berotot itu menyadari apa yang terjadi, mendadak saja pergelangan tangannya terasa seperti remuk. Tanpa dapat dicegah lagi, golok yang tergenggam di tangannya itu mencelat ke udara.
“Hiyaaa...!” Buto Kampara bergegas melentingkan tubuhnya ke angkasa mengejar golok yang melayang deras, begitu terlepas dari genggaman tangannya.
“Hup! Yeaaah...!” Namun Dewi Lanjani tidak diam begitu saja. Dengan cepat gadis yang mengenakan baju warna kuning itu melesat mengejar Buto Kampara. Dan secepat itu pula pedangnya dibabatkan ke arah perut.
Bet! Cras!
“Aaakh...!” Untuk kedua kalinya Buto Kampara menjerit melengking tinggi. Sebelum laki-laki tinggi besar dan berwajah kasar penuh brewok itu bisa melakukan tindakan apa-apa, kembali Dewi Lanjani sudah memberi satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Tendangan menggeledek itu tak mungkin terbendung lagi, sehingga tepat mendarat keras di dada Buto Kampara.
Degkh!
“Akh...!” Lagi-lagi Buto Kampara memekik keras. Tubuh tinggi besar itu seketika terlempar deras ke bawah, dan langsung mendarat di tanah keras sekali. Tepat saat tubuh tinggi besar itu mendarat di tanah, Dewi Lanjani berhasil mengambil golok besar lawannya yang masih di udara. Dan ketika Buto Kampara tengah meregang nyawa, wanita itu langsung melemparkan golok pada pemiliknya. Akibatnya, golok itu menancap dalam di dada pemiliknya sendiri. Sebelum jeritan melengking Buto Kampara lenyap dari pendengaran, Dewi Lanjani sudah menjejakkan kakinya di atas papan panggung. Tangannya bertolak pinggang, bersikap angkuh sekali.
Pandangan Dewi Lanjani kini tertuju langsung pada Raden Wikalpa yang masih tetap duduk tenang di samping ayahnya. Pemuda itu kini memberi senyuman pada wanita yang telah berhasil baik mengatasi lawan-lawannya. Bahkan baru saja merobohkan seorang lawan yang tangguh dan berkepandaian cukup tinggi.
“Siapa lagi berikutnya, Paman?” tanya Raden Wikalpa. Pandangannya sedikit pun tidak berpaling dari gadis cantik berbaju kuning muda di atas panggung itu.
“Nyai Raka Wulung, Raden,” sahut Paman Legiwa.
“Hadapkan pada gadis itu,” perintah Raden Wikalpa.
“Baik, Raden.”
Paman Legiwa melangkah maju tiga tindak. Kemudian dengan suara keras dan lantang, dipanggilnya Nyai Raka Wulung untuk naik ke atas panggung menjadi lawan Dewi Lanjani berikutnya. Dan belum lagi suara Paman Legiwa menghilang dari pendengaran, mendadak saja sebuah bayangan merah berkelebat cepat. Tahu-tahu di atas panggung sudah berdiri seorang perempuan tua mengenakan baju panjang dan longgar berwarna merah menyala. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat berbentuk seekor ular merah yang menjulurkan lidahnya.
“Hik hik hik...!”

***

43. Pendekar Rajawali Sakti : Huru-Hara Di Watu KambangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang