BAGIAN 7

704 32 0
                                    

Rangga tercenung memandangi bangunan megah yang berada cukup jauh di hadapannya. Sementara Raden Wikalpa sendiri hanya diam saja setelah menceritakan kalau Dewi Lanjani sengaja dilepaskan. Memang, calon adipati ini ingin mengetahui maksud sebenarnya, mengapa Dewi Lanjani hendak membunuhnya. Kemudian pemuda itu terus membuntuti Dewi Lanjani sampai ke puncak gunung ini, tapi menemui jalan buntu. Memang tidak mudah untuk menyelidiki lebih jauh lagi. Apalagi untuk masuk ke dalam bangunan istana itu.
Bangunan itu memang dijaga ketat, meskipun kelihatannya tidak ada seorang pun yang menghuni bangunan megah itu. Dan ini sudah dibuktikan sendiri oleh Rangga tadi, yang mencoba masuk ke dalam sana. Belum juga keinginannya sempat terlaksana, serangan sudah keburu datang.
"Temanku ada di dalam sana," jelas Rangga pelan seperti untuk dirinya sendiri.
"Sama. Calon ketua pengawalku juga ada di dalam sana," sahut Raden Wikalpa.
Rangga menatap pemuda yang berdiri di sampingnya.
"Aku melihat seorang wanita membawa Jaka Kumbara, calon ketua pengawalku. Aku sendiri tidak tahu, mengapa dia sampai bisa tidak berdaya begitu," jelas Raden Wikalpa.
Rangga masih terdiam. Bisa ditebak, kalau wanita yang dimaksudkan pemuda ini pasti Dewi Asmara Maut. Seorang wanita yang memiliki ilmu untuk melemahkan dan memperdaya laki. Gairah laki-laki akan bangkit tanpa disadarinya. Hal ini pernah terjadi pada Pendekar Rajawali Sakti itu, meskipun masih mampu melawannya.
Dan Rangga sempat berada di dalam istana itu, atas keinginannya sendiri untuk mengikuti Dewi Asmara Maut. Kalau memang Raden Wikalpa selalu mengamati bangunan megah itu, tentu juga melihat Rangga masuk ke dalam bangunan itu.
"Kau melihatku pernah masuk ke sana?" tanya Rangga ingin tahu.
"Ya! Tampaknya kau akrab sekali dengan wanita itu," sahut Raden Wikalpa tanpa berpaling sedikit pun.
"Semula aku hanya ingin menyelidiki saja. Tapi belum sempat melakukan sesuatu, Pandan Wangi sudah keburu datang. Dan sekarang dia berada di dalam sana," Rangga mencoba menjelaskan.
Tentu saja Pendekar Rajawali Sakti tidak mengatakan kalau di dalam kamar itu hampir saja ia terlena dan tidak sadar oleh rangsangan yang diberikan Dewi Asmara Maut. Untung saja ada seseorang yang memanggil wanita itu. Entah untuk keperluan apa. Yang jelas, gadis yang memanggil, baru diketahui Rangga setelah Raden Wikalpa menceritakan tentang dirinya.
Pada saat itu, dari dalam bangunan megah terlihat sebuah bayangan biru berkelebat cepat keluar. Rangga sedikit tersentak begitu mengetahui kalau bayangan yang berkelebat itu ternyata Pandan Wangi. Dan sebelum Pendekar Rajawali Sakti itu sempat bergerak untuk menjemput, mendadak saja dari dalam bangunan istana itu juga berkelebat sebuah bayangan lagi yang langsung menghadang Pandan Wangi.
"Celaka...!" desis Rangga begitu melihat Pandan Wangi sudah diserang seorang laki-laki tua, berjubah kuning gading.
Belum berapa lama mereka bertarung, dari dalam bangunan istana itu bermunculan orang-orang bersenjata beraneka ragam bentuknya. Mereka berlarian cepat ke arah pertarungan itu. Tentu saja Rangga tidak bisa lagi menahan diri ketika Pandan Wangi mulai dikeroyok tidak kurang dari sepuluh orang.
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melesat ke arah halaman depan bangunan istana. Cukup jauh juga jarak antara Rangga dengan tempat itu. Dan setibanya di sana, pemuda berbaju rompi putih itu langsung masuk dalam arena pertarungan. Segera dikerahkannya jurus-jurus dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti' yang dahsyat dan sukar dicari tandingannya.
Kedatangan Pendekar Rajawali Sakti membuat Pandan Wangi semakin bersemangat lagi. Bahkan gadis itu menggunakan dua senjata sekaligus. Kipas Maut di tangan kiri, dan Pedang Naga Geni berada di tangan kanannya. Dengan kedua senjata maut itu, Pandan Wangi seperti sosok malaikat pencabut nyawa.
Sementara Rangga masih menggunakan tangan kosong. Namun begitu, seorang lawan pun tidak berhasil mendesaknya, karena jurus-jurus yang dimainkan Pendekar Rajawali Sakti itu sangat cepat dan dahsyat luar biasa.
"Modar...!" seru Rangga tiba-tiba. Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya ke udara, lalu meluruk deras mempergunakan Jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Kedua kakinya bergerak cepat mengarah kepada salah seorang pengeroyoknya. Serangan yang cepat dan dahsyat itu tak bisa dihindari lagi. Sehingga....
Prak!
"Aaa...!" Jeritan panjang melengking seketika terdengar menyayat. Tampak orang yang menggunakan senjata rantai, berputaran sambil meraung-raung memegangi kepalanya. Dan sebelum orang itu sempat menyadari apa yang terjadi, Rangga sudah memberi satu pukulan keras lewat jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.
"Yeaaah...!"
Des!
"Aaa...!" Kembali terdengar jeritan melengking tinggi. Seketika orang itu terjungkal keras menghantam tanah setelah terlontar sejauh tiga batang tombak. Hanya sebentar dia mampu menggelepar, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi.
Empat orang yang juga mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti terkejut bukan main. Karena gerakan Rangga begitu cepat luar biasa, sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Dan sebelum mereka bisa menyadari, Pendekar Rajawali Sakti sudah kembali bergerak. Tubuhnya melayang berputaran dengan tangan terentang lebar ke samping. Kali ini jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' dikerahkan.
Tak lama kemudian, terdengar jeritan melengking dan menyayat saling sambut. Rangga yang sudah menguasai dengan sempurna jurus-jurus 'Rajawali Sakti', memang sukar ditandingi. Terlebih lagi oleh empat orang yang hanya memiliki kepandaian tanggung. Tak heran kalau mereka tidak sempat lagi menghindari serangan cepat dan dahsyat itu. Empat orang pengeroyok itu kini sudah menggelepar dengan dada koyak mengucurkan darah. Dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', kedua tangan Rangga memang seperti mata pedang saja. Tubuh manusia bisa terbelah bila terkena tebasannya!
Pada saat itu, Pandan Wangi juga sudah berhasil menjatuhkan tiga orang lawannya. Dan kini tinggal dua orang lagi yang tampaknya lebih tangguh dari yang lain. Terutama sekali laki-laki tua berbaju kuning gading yang memegang tongkat berkeluk tak beraturan itu.
"Serahkan satu padaku, Pandan...!" seru Rangga. Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu melompat. Langsung diserangnya laki-laki tua berbaju kuning gading. Terjangan yang cepat dan tidak terduga itu membuat laki-laki tua berbaju kuning gading jadi kelabakan juga. Semampunya tongkatnya dikibaskan mencoba menghalau serangan Rangga yang cepat itu. Namun serangan-serangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti itu memang dahsyat sekali. Tak heran dalam beberapa gebrakan saja, laki-laki tua berbaju kuning gading itu sudah terpekik terkena pukulan keras di dada.
"Akh...!"
"Nih, satu lagi... Hih! Yeaaah...!" teriak Rangga keras.
Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti itu melontarkan satu pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Serangan yang datangnya sangat cepat dan mendadak itu tidak bisa lagi dihindari.
Degkh!
"Aaa...!" Laki-laki tua itu menjerit keras.
Tubuhnya yang kurus terbungkus baju kuning gading yang longgar, terpental deras menghantam sebatang pohon. Dan hanya sebentar saja tubuhnya mampu menggeliat, kemudian tak bergerak-gerak lagi. Pada saat yang sama, Pandan Wangi juga sudah menyelesaikan pertarungannya, setelah menusukkan pedangnya ke perut lawan. Gadis itu langsung melompat begitu melihat lawannya telah tewas. Segera dihampirinya Rangga yang tampaknya seperti sedang berpikir sesuatu.
Sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti sangat heran juga, sebab dedengkot penghuni bangunan istana itu tidak muncul. Padahal pasti suara pertarungan tadi terdengar sampai ke dalam. Timbullah berbagai dugaan dalam benak Rangga. Mungkinkah Dewi Asmara Maut tengah mengatur siasat untuk menjeratnya kembali? Atau mungkin sengaja mengorbankan anak buahnya untuk memenuhi hasratnya lebih dulu? Lalu, ke mana anak buah Dewi Asmara Maut yang lain. Apakah hanya sekian jumlahnya...?
"Kakang," panggil Pandan Wangi.
"Ada apa?" tanya Rangga.
"Benarkah dia putra adipati?" Pandan Wangi balik bertanya.
"Tidak kuragukan lagi," sahut Rangga
"Kalau begitu, harus kusampaikan padanya kalau orang-orang di dalam sana sedang merencanakan untuk menyerang Kadipaten Watu Kambang," ungkap Pandan Wangi memberi tahu hasil penyelidikannya di dalam bangunan megah itu.
Rangga mengerutkan keningnya.
"Semula aku menduga kalau Dewi Asmara Maut yang memimpin. Tapi ternyata masih ada lagi, Kakang," lanjut Pandan Wangi.
"Siapa?" tanya Rangga.
"Raja Musang Hitam."
Kembali kening Rangga berkerut. Dia memang pernah mendengar julukan itu. Raja Musang Hitam adalah tokoh beraliran sesat yang sangat tinggi keandalannya. Selama ini dia selalu merajai rimba persilatan bagian timur. Dan Kadipaten Watu Kambang ini memang termasuk wilayah timur. Tapi apa maksud Raja Musang Hitam hendak menyerang Kadipaten Watu Kambang? Pertanyaan ini tiba-tiba saja timbul dalam benak Pendekar Rajawali Sakti itu. Satu pertanyaan yang belum bisa terjawab saat ini.
Rangga kemudian bergegas menghampiri Raden Wikalpa, diikuti Pandan Wangi. Pendekar Rajawali Sakti itu menyuruh Pandan Wangi untuk mengatakan apa saja yang diketahuinya selama berada di dalam bangunan megah bagai istana itu. Maka dengan gamblang, si Kipas Maut itu menceritakan semua yang diketahuinya.
"Raja Musang Hitam...," desis Raden Wikalpa setengah bergumam.
"Kau mengenalnya, Raden?" tanya Rangga.
"Tidak. Tapi aku pernah mendengarnya," sahut Raden Wikalpa.
Untuk beberapa saat mereka terdiam dengan pikiran masing-masing. Sebentar Raden Wikalpa memandang Pandan Wangi, dan sebentar kemudian beralih ke arah bangunan megah di depannya. Beberapa kali napasnya ditarik panjang-panjang, dan dihembuskannya kuat-kuat.
"Hm, aku ingat. Ayahku pernah bertarung dengannya ketika sama-sama masih muda. Dan aku sendiri belum lahir waktu itu. Memang, pernah kudengar kalau Raja Musang Hitam beberapa kali sering mencoba menyerang Kadipaten Watu Kambang, tapi tidak pernah berhasil. Hhh.... Rupanya kali ini dia ingin mengulangnya lagi," ujar Raden Wikalpa, pelan suaranya.
"Kau tahu persoalannya?" tanya Rangga.
"Kalau tidak salah, karena memperebutkan ibuku," sahut Raden Wikalpa.
"Dendam lama...," desah Rangga dalam hati.
Tapi kini bukan lagi persoalan pribadi antara si Raja Musang Hitam dengan Adipati Baka Witara. Persoalan itu sudah melibatkan banyak orang dari kalangan persilatan. Dan kalau mereka sampai benar-benar menyerang, sudah pasti prajurit-prajurit kadipaten tidak akan sanggup menghadapinya.
Rangga sudah beberapa kali berhadapan, sehingga sudah bisa mengukur kekuatannya. Pendekar Rajawali Sakti itu juga sudah mengetahui tentang kekuatan prajurit-prajurit kadipaten. Yang pasti, tidak akan jauh berbeda dengan prajurit-prajurit kadipaten lainnya. Mereka biasanya hanya mengerti ilmu olah kanuragan yang sedikit saja. Jangankan prajurit kadipaten, prajurit yang kuat sekalipun tidak akan sanggup menghadapi orang-orang persilatan yang rata-rata berkemampuan tinggi.
"Aku harus bertindak lebih dahulu sebelum mereka menyengsarakan rakyat," tekad Raden Wikalpa mantap.
"Jumlah mereka cukup banyak, Raden," Pandan Wangi memberi tahu.
"Berapa orang?" tanya Raden Wikalpa.
"Mungkin dua puluh, tiga puluh, atau mungkin juga lebih dari lima puluh orang. Aku tidak tahu pasti. Yang jelas, jumlah mereka cukup untuk menghancurkan sebuah kadipaten hanya dalam waktu satu hari saja."
"Lalu, mengapa waktu kita bertempur di sana, mereka tidak menyerang kita semuanya?" tanya Raden Wikalpa lagi.
"Itu memang sengaja, Raden. Raja Musang Hitam memang tidak ingin mengorbankan pasukannya secara sia-sia. Yang penting baginya menyusun siasat, lalu sama-sama menghancurkan atau dihancurkan," jelas Pandan Wangi.
Raden Wikalpa terdiam. Disadari kalau kekuatan prajurit Kadipaten Watu Kambang tidak seberapa. Sedangkan untuk meminta bantuan kerajaan, tidaklah mungkin. Masalahnya, Pandan Wangi bilang kalau mereka akan menyerang dua atau tiga hari lagi. Dan untuk meminta bantuan dari istana kerajaan, paling tidak membutuhkan waktu sedikitnya dua belas hari perjalanan pulang pergi.
"Kalian punya saran?" pinta Raden Wikalpa seperti putus asa.
Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan. Dalam keadaan seperti ini, memang sukar untuk berpikir wajar. Terlebih lagi keadaan sudah begitu mendesak. Dan mereka semua tentu saja tidak menginginkan Kadipaten Watu Kambang yang tenteram, damai, dan makmur, hancur karena persoalan dendam pribadi.
Tapi yang jelas, Raden Wikalpa tidak akan mungkin membiarkan si Raja Musang Hitam memenggal leher ayahnya. Untuk melakukan pertarungan pun, rasanya Adipati Baka Witara tidak mampu lagi. Ini karena usianya yang sudah demikian lanjut. Terlebih lagi, sudah puluhan tahun Adipati Baka Witara tidak pernah melatih jurus-jurusnya lagi. Malah Raden Wikalpa pernah mengalahkannya dalam satu kali latihan. Apalagi sekarang harus menghadapi si Raja Musang Hitam yang sehari-harinya jelas selalu bergelut dengan kekerasan.
"Apa tidak sebaiknya hal ini diberitahukan Adipati Baka Witara saja," Pandan Wangi memberikan saran.
"Bagaimana, Raden?" tanya Rangga agak mendesak.
Raden Wikalpa tidak segera menjawab, dan tampaknya sedang berpikir keras. Meskipun masalah ini menyangkut orang tuanya, tapi rasanya sungkan untuk melibatkannya. Dia ingin menyelesaikan persoalan ini tanpa melibatkan pihak kadipaten. Tapi calon adipati itu jadi berpikir juga setelah Pandan Wangi tadi memberitahukan kalau kekuatan musuh tidak mungkin dihadapi seorang diri saja.
"Kalian pasti berkemampuan tinggi. Bagaimana kalau kuminta untuk membantuku menumpas mereka...?" pinta Raden Wikalpa seraya memandangi Rangga dan Pandan Wangi bergantian.
Sedangkan yang dipandangi malah saling melontarkan pandangan. Permintaan Raden Wikalpa memang tidak pernah terpikirkan sama sekali. Terlebih lagi Rangga, yang sebenarnya lebih menyetujui pendapat Pandan Wangi untuk memberitahukan hal ini pada penguasa Kadipaten Watu Kambang ini. Namun tampaknya Raden Wikalpa ingin menyelesaikannya tanpa melibatkan seorang pun dari kadipaten.
"Raden, kalau hanya kita bertiga, rasanya tidak mungkin menghadapi mereka," kilah Pandan Wangi yang sudah tahu persis kekuatan orang-orang di dalam bangunan istana itu.
"Memang. Tapi kita bisa melakukannya dengan cara mengurangi kekuatan mereka sedikit demi sedikit," jelas Raden Wikalpa.
"Maksud Raden?" tanya Pandan Wangi tidak mengerti.
"Serang, lalu menghilang," usul Raden Wikalpa.
Pandan Wangi masih belum bisa memahami, sedangkan Rangga sudah bisa menangkap maksud Raden Wikalpa. Memang cara seperti itu bisa saja dilakukan. Tapi itu akan membuat mereka semakin berang. Dan tentu saja ini bisa lebih berbahaya. Mungkin belum separuh kekuatan lenyap, sudah membuat mereka menyerang Kadipaten Watu Kambang secara brutal. Bahkan bukannya tidak mungkin, akan membalas lebih menyakitkan lagi. Sedangkan untuk saat ini saja, mereka sudah kehilangan kekuatan yang tidak sedikit. Dan Rangga sudah bisa menduga kalau saat ini mereka pasti tengah menyusun rencana dan kekuatan yang lebih berlipat ganda.

***

43. Pendekar Rajawali Sakti : Huru-Hara Di Watu KambangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang