Pagi baru saja mengunjungi mayapada ini. Matahari masih mengintip malu-malu dengan pancaran sinarnya yang menyemburat dari balik sebuah gunung yang angkuh menjulang tinggi. Sementara kabut masih menyelimuti seluruh permukaan bumi ini, dan hanya sedikit saja yang tersibak. Di antara gumpalan kabut itu, tampak sesosok tubuh tua terseok-seok berjalan menuruni lereng gunung itu. Bajunya yang putih hampir tidak terlihat lagi warnanya, dikotori oleh debu dan darah kering.
Walaupun beberapa kali jatuh terguling, namun dengan susah-payah orang tua itu bangkit kembali. Bahkan melangkah lagi, walau dengan kaki terseret. Beberapa kali dia mengeluh sambil memegangi dadanya. Tampak darah masih mengucur pelahan dari sudut bibirnya. Tiba-tiba langkahnya terhenti dan kepalanya terangkat ketika mendengar langkah kaki kuda yang sepertinya tidak jauh terdengar.
“Hoooi...!” teriak laki-laki tua itu sekeras-kerasnya. Namun kemudian dia terbatuk, dan jatuh bergulingan ditanah berumput yang masih basah oleh embun.
“Hoooi...! Tolooong...!” laki-laki tua itu tidak mempedulikan nyeri yang menyerang dadanya, dan kembali berteriak keras.
Suara teriakannya menggema, menyelusup di antara pepohonan, lalu terpantul dinding-dinding bebatuan di lereng gunung ini. Laki-laki tua itu kembali terbatuk, dan berusaha bangkit berdiri. Namun sebelum bisa berdiri, terlihat dua ekor kuda berpacu cepat menuju ke arahnya, muncul dari gumpalan kabut yang mulai memudar.
“Tolong...,” rintih laki-laki tua itu. Tubuhnya langsung jatuh terkulai ketika dua orang penunggang kuda yang mungkin telah mendengar teriakan laki-laki tua itu tiba. Tampak seorang penunggang kuda mengenakan baju rompi putih dan berwajah tampan, melompat cepat turun dari punggung kudanya. Tubuhnya tegap berotot, menyiratkan keperkasaannya.
Sementara seorang lagi adalah wanita cantik. Bajunya biru muda, diimbangi oleh bentuk tubuhnya yang ramping. Dia bergegas mengikuti, memburu laki-laki tua yang tergeletak di tanah dalam keadaan terluka cukup parah.
“Paman Legiwa...,” desis gadis berbaju biru, mengenali laki-laki tua itu.
“Cepat cari air, Pandan,” perintah pemuda berbaju rompi putih.
Gadis berbaju biru yang ternyata memang Pandan Wangi, bergegas meninggalkan tempat itu untuk mencari air yang diminta pemuda tampan berbaju rompi pulih itu. Pemuda itu tak lain Rangga yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti. Dipindahkannya Paman Legiwa ke tempat yang agak nyaman, dan dibaringkannya perlahan-lahan sekali. Sebentar diperiksanya tubuh Paman Legiwa. Pada saat itu, Pandan Wangi sudah kembali lagi.
“Mana airnya?” tanya Rangga langsung.
“Tidak ada,” sahut Pandan Wangi seraya mengangkat bahunya.
Rangga mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Hutan ini memang subur, tapi di sekitarnya tidak ada sungai satu pun. Sementara Pandan Wangi berdiri saja di samping Pendekar Rajawali Sakti itu. Matanya memandangi laki-laki tua yang pernah bertemu dengannya tidak jauh dari tempat ini, dan masih di lereng gunung ini juga.
“Luka dalamnya cukup parah. Beberapa tulang iganya patah. Aku tidak mungkin bisa menolongnya, Pandan,” jelas Rangga seraya berpaling memandangi Pandan Wangi.
“Aku kenal seorang tabib di sini,” Pandan Wangi memberi harapan.
“Jauh?” tanya Rangga.
“Setengah hari berkuda. Itu pun kalau tidak ada halangan,” jawab Pandan Wangi.
“Percuma saja, Pandan Wangi. Belum sampai ke tempat tabib itu, dia pasti sudah tidak tertolong lagi. Kau lihat, mulutnya terus mengeluarkan darah.”
“Hentikan saja jalan darahnya, Kakang,” usul Pandan Wangi.
“Tidak ada gunanya, Pandan. Orang yang melakukan pukulan memiliki tenaga dalam tinggi. Apalagi arah pukulannya sempurna sekali, sehingga seluruh aliran jalan darahnya terbuka lebar. Kalau kututup dengan totokan, pernapasannya juga akan tersumbat, itu berarti mempercepat kematiannya.”
“Tapi kita harus coba menolongnya, Kakang,” desak Pandan Wangi.
Rangga terdiam beberapa saat, kemudian membalikkan tubuh laki-laki tua itu hingga menelungkup. Jari-jari tangan Pendekar Rajawali Sakti itu kemudian menekan-nekan punggung Paman Legiwa yang tidak sadarkan diri.
“Mungkin dengan cara ini masih bisa tertolong,” ujar Rangga agak mendesah.
“Apa yang kau lakukan tadi, Kakang?” tanya Pandan Wangi ingin tahu.
“Memperlambat aliran darah dan mengurangi rasa sakitnya. Tapi itu hanya untuk sementara saja. Mungkin sampai setengah hari,” jelas Rangga.
“Sudah cukup, Kakang. Ayo kita segera berangkat...!” seru Pandan Wangi cepat.
Gadis itu bergegas menghampiri kudanya, lalu melompat naik. Sebentar kemudian, dituntunnya kuda Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu Rangga sudah memondong tubuh Paman Legiwa, dan langsung melompat naik ke punggung kudanya. Kemudian dengan cepat kuda hitamnya digebah.
“Hiyaaa!”
“Hiyaaa...!”
Seketika itu juga kedua ekor kuda itu berlari cepat menuju timur. Rangga sengaja berada di belakang Pandan Wangi yang mengetahui tempat tabib yang dimaksudkan. Mereka harus bergerak cepat agar laki-laki tua ini bisa tertolong. Sehingga kedua pendekar muda itu memacu cepat kudanya, tidak mempedulikan kalau jalan yang dilalui sangat lebat oleh pepohonan dan semak belukar. Mereka terus menggebah cepat kudanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
43. Pendekar Rajawali Sakti : Huru-Hara Di Watu Kambang
ActionSerial ke 43. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.