BAGIAN 1

1.3K 33 1
                                    


"Hiya! Hiyaaa...!"
Debu mengepul tinggi ke udara, tersepak kaki kuda coklat belang putih yang dipacu cepat oleh seorang pemuda berbaju biru tua. Pemuda itu terus menggebah kudanya dengan kecepatan tinggi, sambil berteriak kencang. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang. Memang ada kekhawatiran terlintas di wajahnya. Dari kejauhan tampak debu mengepul tinggi ke angkasa. Pemuda berbaju biru tua itu semakin kencang memacu kudanya.
Tidak dipedulikan lagi kudanya yang sudah kelelahan. Demikian pula debu dan keringat yang membasahi tubuhnya. Kudanya terus digebah. Menuju sebuah lembah yang di tengah-tengahnya terdapat bangunan besar yang dikelilingi gelondongan kayu pohon yang besar dan tinggi, membentuk pagar. Bangunan itu lebih mirip benteng pertahanan, atau padepokan. Tapi melihat letaknya yang terpencil di tengah-tengah lembah, bangunan itu layak disebut sebuah sarang salah satu partai persilatan.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Pemuda itu kembali menggebah kudanya saat menoleh ke belakang. Terlihat gerombolan orang berkuda yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang itu semakin mendekati. Itulah yang dikhawatirkannya. Pemuda itu memang tengah dikejar-kejar karena suatu persoalan. Jarak mereka semakin dekat, membuat udara kian pengap oleh debu yang mengepul tinggi di angkasa.
"Hiegh...!"
Tiba-tiba saja kuda yang ditunggangi pemuda berbaju biru tua itu meringkik keras sambil mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi. Kuda coklat belang putih itu berhenti seketika. Malah penunggangnya nyaris terpelanting, kalau saja tidak cepat melompat turun dari punggung kudanya. Dua kali dia berputaran di udara. Kemudian mudah sekali kakinya mendarat di tanah, tidak jauh dari kudanya yang menggelepar-gelepar di tanah. Tampak pada bagian pinggul binatang itu tertancap sebatang anak panah yang cukup dalam. Sebentar kemudian kuda itu diam tidak bergerak-gerak lagi.
"Keparat...!" desis pemuda itu geram.
"Cepat...! Tangkap dan bunuh iblis itu...!" terdengar teriakan keras.
Dua puluh orang berkuda yang mengejar tadi serentak melompat, sebelum tunggangan mereka berhenti berpacu. Gerakan mereka sungguh indah dan ringan sekali. Dapat dipastikan rata-rata memiliki ilmu olah kanuragan yang cukup tinggi. Dengan golok terhunus, mereka mengepung pemuda itu dari segala arah.
"He... he... he.... Kau tidak akan dapat lari lagi, Bocah Keparat!" dengus laki-laki setengah baya yang berdiri tepat di depan pemuda berbaju biru tua itu.
Dia terkekeh-kekeh memamerkan baris-baris giginya yang hitam dan nyaris ompong. Tangannya memegang sebilah golok besar yang berkilatan dijilat cahaya matahari. Sedangkan pemuda berbaju biru tua itu pandangannya beredar ke sekeliling. Pengepungnya yang rata-rata bersenjatakan golok beraneka ragam, siap menunggu perintah. Pemuda berbaju biru tua itu mencabut pedangnya yang sejak tadi tersampir di pinggang. Tampak sebilah pedang keperakan yang panjang dan sangat tipis, berkilatan tertimpa cahaya matahari.
"Sudah kukatakan, jangan harap bisa melarikan diri, Palaka," tegas laki-laki setengah baya berbaju hijau daun itu.
"Hm.... Aku tidak melarikan diri, Guritan! Aku hanya menghindari keroyokanmu! Kalau kau berani, hadapilah aku secara jantan!" bentak pemuda yang dipanggil Palaka itu.
"Ha... ha... ha...," laki-laki setengah baya yang bernama Guritan itu hanya tertawa saja, lalu memberi aba-aba melalui jentikan dua jarinya.
Seketika dari empat jurusan, empat orang langsung berlompatan ke depan sambil berteriak keras. Kini pemuda berbaju biru tua makin terkepung rapat. Kaki mereka bergeser, sambil memainkan golok di depan dada.
"Haaat!" "Hiyaaat..!"
Dua orang yang berada di samping kanan dan di depan, langsung melompat sambil menebaskan goloknya ke arah Palaka. Secepat kilat pemuda itu mundur satu langkah, lalu tubuhnya dimiringkan ke kiri. Tebasan golok dari samping kanan hanya menyambar tempat kosong. Secepat golok itu lewat, secepat itu pula Palaka menghentakkan kakinya ke kanan. Dan kembali tubuhnya ditarik mundur, menghindari sabetan golok dari depan.
"Uts...!" Palaka buru-buru memiringkan tubuhnya ke kanan ketika datang satu serangan lagi dari samping kiri. Namun belum sempat tubuhnya diseimbangkan, datang serangan lain dari belakang. Kemudian dibarengi serangan dari arah kanan dan depan. Empat orang itu menyerang bertubi-tubi, disertai permainan golok yang cepat dan sangat gencar. Mereka menyerang secara bergantian, dan dalam tempo cepat.
Hal ini membuat Palaka kewalahan menghadapinya. Tidak ada kesempatan baginya untuk balas menyerang. Bahkan untuk mengambil napas saja, terasa sukar sekali. Ruang geraknya benar-benar tertutup. Tak ada celah sedikit pun untuk keleluasaan geraknya. Semuanya tertutup oleh kelebatan golok yang cepat. Sehingga hanya kilatan sinar keperakan yang tampak berkelebatan mengurung tubuh Palaka.
Deghk! Palaka terkejut ketika tiba-tiba sebuah tendangan keras mendarat di punggungnya. Dan begitu tubuhnya terjajar ke depan, sebilah golok menyambar cepat bagai kilat. Namun pemuda berbaju biru tua itu cepat-cepat mengibaskan pedangnya untuk menyampok tebasan golok yang mengarah ke dada.
Trang! Bunga api memercik saat dua senjata beradu keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Seketika Palaka merasakan pergelangan tangannya nyeri saat pedangnya beradu dengan golok salah seorang penyerangnya. Palaka menyadari kalau tenaga dalam yang dimilikinya seimbang dengan tenaga dalam lawannya. Itu berarti dirinya harus waspada dan berhati-hati dalam menghadapi mereka yang rata-rata memiliki tenaga dalam sama.
"Hiyaaa...!" Tiba-tiba saja sebelum Palaka bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, seorang lawan telah melancarkan serangan kilat. Goloknya yang besar dan berkilat, berkelebat mengincar dada pemuda berbaju biru tua itu. Secepat kilat Palaka mundur satu langkah, sehingga tebasan golok itu lewat di depan dadanya. Namun belum juga posisi tubuhnya bisa ditarik kembali, satu tendangan keras dari arah kanan, meluncur cepat sekali. Dalam posisi sulit seperti ini Palaka tidak sempat lagi menghindar.
Deghk!
"Akh...!" Palaka memekik keras agak tertahan. Kembali pemuda itu terhuyung karena bahunya terhantam tendangan keras mengandung pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi. Pada saat tubuhnya terhuyung, datang lagi satu serangan golok yang mengarah ke lehernya. Cepat sekali datangnya serangan itu, sehingga Palaka tidak bisa menghindar.
"Mati aku...," desah Palaka dalam hati. Pada saat yang genting itu, tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat cepat menyambar orang yang menebaskan golok ke leher Palaka.
Des!
"Akh!" orang itu memekik keras, tepat saat tubuhnya terpental jauh ke belakang. Tiga orang lainnya terperanjat. Namun sebelum sempat menyadari apa yang terjadi, bayangan putih itu kembali berkelebat cepat menyambar mereka. Kembali terdengar jeritan melengking panjang saling susul. Ketiga orang itu mental jauh ke belakang dan tersuruk di tanah. Hanya sebentar mereka mampu menggeliat. Sesaat kemudian, sudah tak bernyawa lagi. Bukan hanya para pengepung Palaka yang terperanjat menyaksikan kejadian itu. Bahkan pemuda itu terpaku dan mulutnya ternganga lebar, melihat empat tubuh tergeletak dengan leher koyak berlumuran darah. Empat orang itu tewas seketika. Kesunyian langsung mewarnai tempat ini.
"Ha... ha... ha...!"
Tiba-tiba terdengar tawa menggelegar memecah kesunyian yang terjadi. Semua orang yang berada di tempat itu kembali terkejut. Mereka kebingungan, karena tawa itu terdengar tanpa ada orangnya. Malah suara tawa itu menggema ke segala penjuru.
"Hantu...!" teriak salah seorang tiba-tiba. Seketika itu juga yang lainnya berlarian pontang-panting mengikuti orang itu. Mereka melompat ke punggung kuda masing-masing, dan langsung menggebahnya meninggalkan tempat itu.
"Hei! Kembali...!" teriak Guritan.
Tapi tak ada seorang pun yang mengindahkan teriakan Guritan. Menyadari hanya tinggal seorang diri di tempat ini, Guritan tidak ingin ambil risiko. Cepat dia berlari dan melompat naik ke punggung kudanya.
"Hiyaaa!" Guritan langsung mengebah cepat kudanya. Debu langsung membumbung tinggi ke angkasa ketika kuda hitamnya melesat kencang meninggalkan Palaka yang kini tinggal seorang diri di tempat sunyi ini.
"Hm...," Palaka menggumam kecil. Pandangan pemuda berbaju biru tua itu beredar ke sekeliling. Tak seorang pun terlihat di tempat yang sunyi ini. Suara tawa menggelegar itu pun sudah tidak terdengar lagi, tepat saat Guritan pergi menyusul teman-temannya.
"Aku tidak tahu, siapa dirimu. Tapi jika kau bermaksud baik, keluarlah. Kita bisa bicara baik-baik," kata Palaka, agak lantang suaranya.
Untuk sesaat suasana sunyi sepi. Tak terdengar suara sedikit pun kecuali angin yang berhembus perlahan menebarkan udara dingin. Palaka mengedarkan pandangannya berkeliling. Telinganya dipasang tajam-tajam agar bisa mendengar suara sekecil apa pun, tapi tetap saja tidak terdengar apa-apa.
Namun tidak lama kemudian, terdengar siulan yang tidak beraturan bunyinya. Suara itu datang dari arah belakang pemuda berbaju biru tua itu. Perlahan-lahan Palaka memutar tubuhnya, dan langsung terperanjat. Ternyata di depannya sudah duduk seorang pemuda berbaju putih bersih agak ketat. Sama dengan Palaka, dia juga mengenakan ikat kepala berwarna putih. Wajahnya cukup tampan, dan kulitnya kuning langsat. Tapi ketampanan wajahnya ternoda oleh luka codet memanjang yang membelah pipi kanannya, hingga batas bibir. Palaka memandangi pemuda yang usianya tidak berbeda jauh darinya. Atau mungkin juga masih sebaya. Sedangkan pemuda berbaju putih itu tampak tidak mempedulikan. Bibirnya yang agak monyong terus mengalungkan siulan yang tidak beraturan iramanya.
"Kau tadi yang membunuh mereka...?" tanya Palaka langsung menebak.
"Hanya sekadar menyelamatkan nyawamu. Kelihatannya kau perlu bantuan," sahut pemuda berbaju putih itu kalem.
"Aku memang terdesak. Tapi tidak ada niatan di hatiku untuk membunuh mereka. Kau menambah beban persoalanku saja!" dengus Palaka kurang senang dengan pertolongan pemuda itu.
"Kendalikan dulu dirimu, Palaka...," masih terdengar tenang suara pemuda berbaju putih itu.
Palaka tersentak kaget. Betapa tidak...? Laki-laki muda berbaju putih ini mengetahui namanya. Dari mana pemuda itu mengetahui namanya...? Pertanyaan ini yang mengganggu benak Palaka, di balik keterkejutannya yang amat sangat.
"Dari mana kau mengenalku...?!" tanya Palaka, agak keras suaranya.
"Tidak terlalu sukar untuk mengetahui namamu, Palaka. Bahkan aku juga tahu tujuanmu datang ke daerah ini. Kau hendak menuju lembah itu, bukan...?" masih terdengar tenang nada suara pemuda berbaju putih itu. Bahkan sedikit pun tidak berpaling memandang Palaka yang berdiri tidak seberapa jauh di depannya.
Sementara itu Palaka terus memandangi. Tatapan matanya memancarkan ketidakpercayaan kalau pemuda yang belum dikenalnya ini mengetahui tentang dirinya. Bahkan mengetahui tujuannya datang ke lembah ini. Mendadak saja ada perasaan khawatir di hatinya, yang memancar lewat sorot matanya.
"Bagaimana kau bisa tahu tentang diriku? Siapa kau sebenarnya?" tanya Palaka. Nada suaranya terdengar tajam.
"Aku Sangaji. Tentang dirimu, kuketahui dari seseorang yang patut dipercaya. Itu sebabnya aku langsung datang ke sini. Tapi kedatanganku rupanya agak sedikit terlambat," sahut pemuda berbaju putih itu kalem.
"Siapa yang mengatakan itu padamu?" kejar Palaka ingin tahu.
"Sayang sekali, aku sudah berjanji untuk tidak mengatakannya padamu."
"Lalu, apa maksudmu menemuiku?" tanya Palaka lagi.
"Hanya untuk mengatakan agar kau jangan ke lembah sana. Terlebih lagi benteng itu," sahut Sangaji ringan seraya menunjuk ke arah benteng di tengah lembah sana.
"He...! Kau tidak bisa seenaknya melarangku!" bentak Palaka sengit.
"Aku hanya menyampaikan amanat saja. Terserah jika kau tidak sudi mendengarnya," terdengar ringan sekali suara Sangaji.
"Huh! Kau sudah menambah persoalanku, malah sekarang akan membuat persoalan lagi!" dengus Palaka memberengut.
Palaka membalikkan tubuhnya, kemudian berjalan meninggalkan tempat itu. Tujuannya sudah jelas, lembah yang terletak di bawah lereng tebing itu. Sama sekali tidak dihiraukan peringatan pemuda berbaju putih yang mengaku bernama Sangaji itu.
"Kau pasti akan memerlukan aku, Palaka. Aku akan menunggu di sini," ujar Sangaji setengah berteriak.
Palaka benar-benar tidak peduli lagi. Malah semakin dipercepat ayunan kakinya. Pemuda berbaju biru tua itu berjalan dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Sehingga dalam waktu singkat sudah menempuh perjalanan begitu jauh.
Sementara Sangaji masih tetap duduk bersandar pada pohon. Dipandanginya Palaka yang semakin menjauh. Tampak di bibir tipisnya terulas senyuman kecil. Palaka menghentikan ayunan langkahnya ketika tiba di depan pintu gerbang benteng yang berada di tengah-tengah lembah ini. Pemuda itu seketika tertegun melihat daun pintu gerbang benteng telah hancur berantakan. Perlahan-lahan kakinya terayun memasuki benteng itu. Dan kini, dia kembali tertegun. Bola matanya terbeliak lebar.
"Apa yang terjadi di sini...?" desis Palaka dalam hati.
Kakinya terayun kembali semakin jauh memasuki benteng itu. Matanya beredar ke sekeliling. Tampak dua buah bangunan besar yang berada di dalam lingkaran benteng itu sudah hancur tidak berbentuk lagi. Bau anyir darah tercium menusuk hidung, terbawa hembusan angin yang cukup kencang.
Perlahan-lahan pemuda itu melanjutkan langkahnya. Beberapa kali kakinya terpaksa harus melangkahi mayat-mayat yang bergelimpangan tak tentu arah. Palaka dapat mengenali sebagian besar mayat-mayat itu dari pakaiannya, kecuali beberapa mayat yang berjubah putih.
"Oh...! Eyang...!" sentak Palaka ketika matanya tertumbuk pada sesosok tubuh yang terbaring di antara tumpukan balok yang menghitam hangus.
Bergegas Palaka menghampiri sosok tubuh tua berjubah putih yang tertelungkup itu. Ketika tubuh laki-laki tua dibalikkan, pemuda itu terkejut. Ternyata sebagian wajah mayat laki-laki tua itu sudah hancur. Bergegas diletakkannya kembali mayat laki-laki tua yang tadi dipanggilnya eyang itu. Untuk beberapa saat dipandanginya mayat laki-laki tua itu. Lalu, ditariknya napas panjang, dan terasa berat sekali.
"To... looong...!" tiba-tiba terdengar rintihan lirih.
Palaka langsung memalingkan kepalanya ke arah suara rintihan lirih itu. Tak ada yang bergerak, meskipun banyak mayat yang bergelimpangan.
"Siapa di situ...?" kembali terdengar rintihan lirih.
"Di manakah kau, Kisanak?" tanya Palaka, agak keras suaranya.
"Di sini...."
Palaka langsung menghampiri ketika melihat sepotong tangan menyembul dari reruntuhan balok kayu dan batu yang tengah bergerak-gerak lemah. Gerakan tangan itu baru terhenti begitu Palaka dekat.
"Paman...!" sentak Palaka begitu melihat adanya gambar seekor macan tercetak pada tangan yang kotor berlumuran darah kering dan debu.
Bergegas pemuda itu mengangkat balok-balok kayu dan bebatuan yang menimbun laki-laki yang dipanggil paman oleh Palaka. Puing-puing itu dilemparkannya begitu saja, tidak peduli kalau jatuh menimpa mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitarnya. Palaka semakin bersemangat saat sudah bisa menyingkirkan sebagian reruntuhan yang menimbun seorang laki-laki setengah baya.
"Paman..., Paman Tirta...," panggil Palaka seraya membersihkan kotoran dan darah kering di wajah laki-laki setengah baya itu.
"Ohhh...," laki-laki setengah baya itu hanya mampu merintih lirih.
Palaka bergegas mengambil tempayan yang berada tidak jauh dari tempat itu. Airnya masih ada setengah.
"Ohhh.... Apakah kau Palaka...?" terdengar lirih suara Paman Tirta.
"Benar. Aku Palaka, Paman," sahut Palaka sambil terus membawa tempayan.
Paman Tirta kembali merintih lirih, kemudian terbatuk-batuk. Laki-laki setengah baya itu mencoba bangkit duduk, tapi Palaka cepat-cepat mencegah.
"Palaka, cepatlah kau pergi dari sini sebelum mereka datang kembali," ujar Paman Tirta pelan, hampir tidak terdengar. "Kau tidak usah mengobatiku, Palaka! Percuma...! Aku telah terkena racun...!"
"Apa yang terjadi di sini, Paman?" tanya Palaka tidak peduli dengan peringatan laki-laki setengah baya itu.
"Oh.... Palaka..., cepatlah kau pergi. Mereka pasti akan datang lagi ke sini."
"Siapa mereka, Paman? Apa yang mereka inginkan di sini?" tanya Palaka mendesak.
"Oh...," Paman Tirta mendesah seraya menghembuskan napas panjang. Tubuhnya tampak semakin lemah.
"Paman...."
"Palaka! Pergilah ke Karang Setra. Temui Pendekar Rajawali Sakti di sana...," suara Paman Tirta terputus.
"Paman...!"
"Katakan padanya tentang keadaan di sini. Berikan cincin ini padanya. Dia pasti bisa mengerti jika cincinku kau berikan padanya...," setelah berkata demikian, Paman Tirta terbatuk-batuk.
"Paman...."
"Cepatlah pergi, dan jangan sampai ada yang tahu kedatanganmu ke sini!"
Paman Tirta kembali terbatuk-batuk. Kali ini dari mulutnya menyemburkan darah kental berwarna kehitaman bercampur cairan hijau kekuningan. Palaka terkejut melihatnya.
"Paman...!" sentak Palaka ketika kepala laki-laki setengah baya itu terkulai.
Diguncang-guncangkan tubuh laki-laki setengah baya itu sambil terus memanggil namanya. Tapi Paman Tirta sudah tidak bernyawa lagi. Telapak tangan Palaka mengusap wajah pamannya itu. Sebentar pemuda berbaju biru tua itu tertunduk, kemudian melepaskan cincin dari jari manis laki-laki setengah baya itu.
"Akan kulaksanakan amanatmu yang terakhir, Paman," ujar Palaka lirih.
Perlahan-lahan pemuda berbaju biru tua itu bangkit. Tubuh laki-laki setengah baya yang sudah tidak bernyawa masih dipandanginya. Kemudian kakinya melangkah perlahan, meninggalkan benteng yang sudah tidak berbentuk itu. Hanya bagian pagarnya saja yang masih kelihatan utuh. Tapi seluruh bagian dalamnya sudah tidak beraturan lagi. Sungguh pemandangan yang tidak sedap dipandang mata.
"Kasihan kalian...," desah Palaka lirih.

***

44. Pendekar Rajawali Sakti : Setan Pedang PerakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang