BAGIAN 5

702 33 0
                                    

Di suatu tempat yang masih berada di daerah Gunung Gadakan, Rangga berdiri terkulai dengan tangan serta kaki terentang terikat rantai. Bahkan seluruh tubuhnya terlilit rantai baja hitam yang menyatu dengan dinding batu di belakangnya. Sebuah ruangan batu yang tidak seberapa besar menjadi sebuah kurungan buat Pendekar Rajawali Sakti.
Meskipun matanya terbuka, tapi kepala pemuda berbaju rompi putih itu terkulai lemas bagai tak memiliki tenaga. Perlahan-lahan kepalanya diangkat. Terdengar suara rintihan lirih, nyaris tidak terdengar. Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya berkeliling, kemudian memandangi tubuhnya sendiri.
"Uh...!" Pendekar Rajawali Sakti berusaha melepaskan belenggu pada seluruh tubuhnya, tapi rantai baja hitam itu sungguh kuat dan keras. Beberapa kali kekuatan tenaga dalamnya dikerahkan, tapi selalu gagal.
Rangga menghentikan usahanya ketika mendengar suara derit pintu. Buru-buru kepalanya dirundukkan hingga terkulai, dan digunakannya pernapasan perut. Maka kini seluruh otot-ototnya jadi lemas bagai dalam keadaan pingsan.
Rangga tetap diam dengan kepala terkulai. Telinganya mendengar suara langkah kaki yang mendekati, dan berhenti tepat di depannya. Dengan sudut ekor mata yang setengah terpejam, Pendekar Rajawali Sakti bisa mengetahui siapa yang datang. Tapi dia tertegun begitu mendengar kembali langkah kaki dari enam orang terdengar memasuki ruangan ini. Dan suara itu berhenti tidak jauh di depannya.
"Dia masih belum sadar juga," terdengar suara setengah bergumam.
Rangga sempat terkejut ketika mengenali suara itu. Jelas, itu suara seorang laki-laki muda yang di pipi kanan-nya terdapat luka codet memanjang. Ya, laki-laki itu pasti Sangaji. Pemuda itu memang pernah dipecundangi Pendekar Rajawali Sakti beberapa purnama yang lalu.
"Pandan, apakah kau mengenal pemuda itu?" tanya Sangaji.
Hampir saja Rangga mengangkat kepalanya ketika nama Pandan Wangi disebut. Betapa tidak? Sebab, mengapa kini Pandan Wangi bersekongkol dengan Sangaji. Itukah cara Pandan Wangi membalas dendam pada dirinya, karena cemburu melihat Rangga akrab dengan seorang wanita yang belum dikenalnya? Apakah Pandan Wangi terpedaya oleh Sangaji? Atau memang sengaja ingin melenyapkan Pendekar Rajawali Sakti? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benak Rangga. Tapi, belum juga terjawab, tiba-tiba....
"Dia.... Oh, tidak...! Kalian... kalian tidak boleh membunuh Kakang Rangga!" Pandan Wangi jadi histeris.
Gadis itu melangkah mundur beberapa tindak. Dipandanginya wajah-wajah yang berada di sekitarnya. Seketika itu juga raut wajahnya berubah menegang. Pandan Wangi menyadari kekeliruannya selama ini. Dia merasa terpedaya oleh Sangaji dan Eyang Bangkal. Gadis itu dirayu untuk mengikuti segala rencana mereka, yang menyebutkan tujuannya akan menangkap seorang tokoh sesat. Sehingga dia mau saja melakukan perintah dari pemuda yang pipinya codet itu. Kini setelah mengetahui 'tokoh sesat' itu adalah Rangga, gadis itu marah sekali. Dia merasa ditipu mentah-mentah. Sorot matanya begitu tajam menusuk langsung ke wajah-wajah yang berada di dalam ruangan berdinding batu ini. Salah satu di antaranya adalah Eyang Bangkal.
"Kubunuh kalian semua. Hiyaaat...!" teriak Pandan Wangi keras melengking tinggi.
"Pandan...!" sentak Sangaji terperanjat. Tapi si Kipas Maut itu sudah melompat menyerangnya sambil melontarkan dua pukulan beruntun disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Uts...!" Sangaji langsung mundur satu tindak. Kemudian secepat kilat tubuhnya dimiringkan ke kiri dan ke kanan, menghindari serangan yang dilancarkan Pandan Wangi. Begitu cepatnya Pandan Wangi menyerang, sehingga membuat orang-orang yang berada di ruangan ini terpana. Dan sebelum ada yang menyadari apa yang terjadi, Pandan Wangi sudah memutar cepat tubuhnya. Sungguh luar biasa kecepatannya. Seketika pedangnya sudah tercabut, dan langsung dikibaskan ke arah lima orang yang masih terpana dengan kejadian yang cepat ini.
"Awas...!" teriak Sangaji memperingatkan. Kelima orang yang memiliki kepandaian tinggi itu buru-buru berlompatan mundur, menghindari tebasan pedang Pandan Wangi yang begitu cepat luar biasa. Namun malang bagi dua orang berpakaian putih yang berada di belakang agak ke samping dari Eyang Bangkal. Mereka tidak sempat lagi menghindar, sehingga pedang si Kipas Maut itu langsung menyambar dadanya.
Jeritan panjang melengking saling susul terdengar, bersama ambruknya dua orang berbaju putih itu. Darah langsung menyemburat keluar dari dada yang sobek terbabat pedang berwarna merah itu. Pandan Wangi yang dalam keadaan mengamuk masih sempat melihat isyarat dari kerdipan mata Rangga yang menyuruhnya kabur. Tentu saja gadis itu terkejut bukan main, karena tidak menyangka kalau Pendekar Rajawali Sakti tidak pingsan seperti yang diduga semua orang.
Agak lama juga dipikirkannya arti dari kerdipan mata Pendekar Rajawali Sakti, namun karena sering berjalan bersama-sama, Pandan Wangi segera mengerti arti kerdipan mata Rangga yang menyuruhnya keluar dari tempat itu.
"Hiyaaat..!" Sambil berteriak nyaring, Pandan Wangi melentingkan tubuhnya. Maka seketika itu juga diterobosnya pintu keluar sambil membabatkan pedangnya beberapa kali. Kembali terdengar jeritan melengking tinggi, lalu terlihat lagi tiga orang berpakaian serba putih menggelepar di tanah. Dada dan leher mereka tertebas pedang si Kipas Maut.
"Pandan...!" panggil Sangaji berteriak lantang. Tapi Pandan Wangi sudah lenyap keluar dari ruangan berdinding batu ini.
Sementara Eyang Bangkal hanya bisa melongo melihat lima orang anak buahnya tewas hanya dalam beberapa gebrakan saja.
"Kejar gadis itu! Bunuh bila melawan...!" seru Sangaji berang.
Empat orang langsung bergerak cepat keluar. Sedangkan Eyang Bangkal masih berdiri terpaku merayapi lima mayat anak buahnya yang tewas terbabat pedang Pandan Wangi. Saat itu Sangaji bersungut-sungut memaki-maki. Kemudian dipandanginya Rangga yang masih terkulai. Keningnya langsung berkerut melihat wajah yang tertunduk lemas itu memucat bagai tak teraliri darah.
Bergegas pemuda berbaju putih ketat, dengan luka codet membelah pipinya itu menghampiri. Langsung dipegangnya pergelangan tangan Pendekar Rajawali Sakti itu. Hampir saja Sangaji terlonjak mundur begitu merasakan pergelangan tangan Rangga begitu dingin. Segera jari-jari tangannya ditempelkan di leher dan sekitar dada pemuda berbaju rompi putih itu. Dan kali ini dia benar-benar terlonjak mundur beberapa tindak.
"Mustahil...!" desis Sangaji. Sangaji memandangi Rangga yang terkulai dengan seluruh tubuh terbelenggu rantai baja hitam terikat ke dinding. Kepalanya bergerak menggeleng-geleng beberapa kali. Pandangan matanya memancarkan ketidakpercayaan. Tapi, buktinya Pendekar Rajawali Sakti sepertinya memang sudah tewas.
"Ada apa, Sangaji...?" tanya Eyang Bangkal yang masih berada di ruangan ini.
"Mustahil...! Tidak mungkin aku salah meramu obat!" desis Sangaji dengan nada suara sumbang.
Eyang Bangkal melangkah mendekati Rangga, kemudian memegang leher pemuda berbaju rompi putih itu. Eyang Bangkal melepaskan tangannya, maka kepala Rangga kembali terkulai lemas. Laki-laki tua bertubuh kurus agak bungkuk yang mengenakan jubah kuning itu memandangi wajah Sangaji yang tampak kebingungan.
"Aku tidak akan membunuhnya, sebelum dia kusiksa. Aku tidak menginginkan cara kematian yang begitu mudah untuknya!" geram Sangaji. Kepalanya menggeleng-geleng beberapa kali.
"Tapi dia sudah mati, Sangaji," tegas Eyang Bangkal pelan.
"Setan! Hiyaaat...!"
Sangaji melampiaskan kekesalan dengan menghantamkan pukulan ke dinding di sampingnya. Demikian dahsyat pukulan pemuda bermuka codet itu, sehingga....
Blarrr! Dinding batu yang tebal hitam berlumut itu hancur terkena pukulan bertenaga dalam tinggi. Suara ledakan terdengar memekakkan telinga. Debu mengepul menambah sesaknya udara di ruangan yang memang sudah pengap ini. Dinding batu itu berlubang cukup besar.
"Buang dia ke hutan!" dengus Sangaji berang.
Pemuda berbaju putih ketat yang pipi kanannya terdapat luka codet itu, langsung melangkah keluar sambil menghentakkan kaki saat melangkah. Sedangkan Eyang Bangkal masih tertegun sejenak. Walaupun dirinya termasuk tokoh tua yang berilmu tinggi, tapi masih juga terkagum-kagum melihat kekuatan pukulan Sangaji tadi. Dinding batu yang begitu tebal dan kuat itu, langsung hancur berkeping-keping hanya sekali pukul saja.
"Lepaskan dia," perintah Eyang Bangkal pada anak buahnya.
Tanpa banyak bicara, empat orang berpakaian serbah putih, langsung bergerak maju. Mereka melepaskan rantai yang membelenggu seluruh tubuh Rangga, kemudian menggotongnya. Eyang Bangkal berjalan paling depan, diikuti empat orang berpakaian serba putih yang meng-gotong tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Masih ada sekitar lima belas orang lagi mengikuti dari belakang. Mereka semua mengenakan pakaian serba putih dengan golok terselip di pinggang.
Mereka langsung keluar menyusuri lorong yang tidak begitu panjang. Ketika tiba di luar, hutan lebat langsung menghadang. Eyang Bangkal berjalan paling depan diikuti anak buahnya menembus kelebatan hutan. Empat orang masih menggotong tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang kelihatan pucat dan terkulai.
"Ayo, cepat..!" Eyang Bangkal memerintah anak buahnya untuk bergerak lebih cepat.
Mereka bergerak cepat menerobos hutan, hingga akhirnya sampai di tepi sebuah sungai. Di sinilah beberapa hari yang lalu mereka menjebak Rangga dengan menaburkan ramuan yang membuat orang tidak sadarkan diri, hanya dengan menyentuh air sungai itu saja. Bahkan jika tidak memiliki daya tahan tubuh yang kuat, bisa langsung tewas seketika. Apalagi bila meminumnya. Tapi air sungai ini bisa normal apabila ditaburkan obat penangkalnya yang berbentuk bulatan sebesar kepalan tangan bayi berwarna keperakan.
"Ceburkan dia ke sungai, biar disantap buaya liar," perintah Eyang Bangkal.
Empat orang yang menggotong Pendekar Rajawali Sakti itu, segera mendekati sungai. Tubuh Rangga diayun-ayunkan, lalu dilemparkan dengan kekuatan penuh. Tubuh pemuda berbaju rompi putih itu melayang ke tengah sungai. Namun sebelum tubuhnya menyentuh air, mendadak saja kembali terangkat naik dan melayang ke tepi.
"Heh...?!" Eyang Bangkal terbeliak kaget. Demikian pula orang-orang berpakaian serba putih yang berjumlah hampir dua puluh orang itu. Mereka seketika terpaku dengan mata membeliak lebar tidak berkedip.
Tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu terus melayang perlahan-lahan menuju ke tepi, kemudian mendarat di tepian sungai. Perlahan Rangga membuka mata, lalu menyunggingkan senyuman tipis. Wajahnya tidak lagi memucat. Dan tubuhnya juga tidak membiru. Pendekar Rajawali Sakti langsung mengayunkan kakinya ke depan beberapa langkah, kemudian berhenti setelah jaraknya dengan Eyang Bangkal tinggal dua batang tombak lagi.
"Heh...?! Bagaimana mungkin kau bisa hidup lagi...?!" agak bergetar suara Eyang Bangkal.
"Bukannya hidup lagi, Eyang Bangkal. Tapi aku memang belum mati," jawab Rangga kalem. Bibirnya tetap menyunggingkan senyuman tipis.
"Tidak...! Mustahil jika belum mati!"
"Seharusnya kau mengetahui apa yang kulakukan, Eyang Bangkal. Dengan menghentikan aliran darah dan menyumbatnya dengan hawa murni, ditambah pengaturan pernapasan melalui perut, maka orang akan seperti mati. Kau pun bisa melakukannya. Tapi sayang, kau dan Sangaji tidak bisa berpikir jernih. Bahkan malah cepat panik dan tidak tenang menghadapi persoalan," Ranga menjelaskan.
"Setan...! Kau menipuku!" geram Eyang Bangkal baru menyadari.
Memang apa yang dikatakan Rangga barusan benar adanya. Setiap orang yang berkecimpung dalam rimba persilatan pasti bisa melakukannya. Terlebih lagi jika sudah menguasai pengerahan hawa murni secara sempurna. Tak akan sulit mengelabui orang hingga tampak seperti sudah mati.
"Aku tidak menipu, Eyang Bangkal!" tegas Rangga sambil bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.
Bukan main geramnya Eyang Bangkal karena merasa dirinya terpedaya. Sebagai tokoh rimba persilatan, lebih baik kalah dalam pertarungan daripada terpedaya oleh akal cerdik seperti ini. Sesuatu yang sangat memalukan. Terlebih lagi yang memperdaya adalah seorang tokoh rimba persilatan yang tergolong muda dibandingkan dengan dirinya yang sudah banyak pengalaman.
"Kau harus mampus, Bocah Setan! Hiyaaat..!"
"Hap...!"

***

44. Pendekar Rajawali Sakti : Setan Pedang PerakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang