BINTANG

22 2 2
                                    

Aku terduduk di sudut kamar

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku terduduk di sudut kamar. Diam, tak bergerak. Kamar itu, selalu terasa sunyi ketika Riana, si pemiliknya pergi. Mataku seolah tak pernah bosan, menatap tumpukan buku yang disusun rapi dalam almari. Dari kamus kesehatan, diktat-diktat, hingga novel sastra maupun popular. Ya. Di sini aku menemukan banyak hal, dalam kamar bercat putih berukuran 3 x 2,5 meter ini.

Ornamen bintang berbahan fosfor terserak di langit-langit kamar. Mereka menyala dalam gelap. Merekalah yang kami pandangi, ketika Riana, perempuan cantik berlesung pipit itu merebahkan kepalanya di atas tubuhku. Aku bisa mengendus wewangian sampo yang terikat ditiap helai rambut hitamnya. Dan, aromanya menawanku.

Kami tidak pernah saling bicara. Walaupun, kami menatap satu titik yang sama. Bahkan, aku tak pernah tahu apa yang dipikirkannya. Acapkali aku merasakan cairan hangat jatuh membasahi tubuhku, yang ternyata adalah air matanya. Cairan itu berjalan pelan, melalui telinga dan sela rambut lurusnya. Ia selalu terlelap dengan sisa air mata yang mulai mengering di sudut mata.

Pernah, aku coba bertanya pada bintang-bintang yang terserak di langit-langit. Tentang sesuatu yang tengah dipikirkan perempuan berhidung bangir itu. Bertanya tentang sebuah alasan, mengapa ia menangis? Namun, tak pernah aku memperoleh satu jawaban apa pun! Kupikir, bintang-bintang itu terlalu pongah, terlalu sombong. Mereka mungkin tahu sesuatu, tapi mereka memilih merahasiakannya dariku. Sial...

"Bukankah setiap saat ia merebahkan kepalanya ditubuhmu?" tanya salah satu bintang padaku.

"Kau adalah kesayangannya. Dia mendekapmu sedemikian rupa. Membenamkan kepalanya, ketika ia merasa sedih ataupun lelah," ujar bintang lainnya, "rasanya aneh, kalau kau tanyakan kepada kami, apa yang terjadi padanya?"

Aku terdiam, demi menyadari ada sesuatu yang tidak benar. Bukankah, aku yang ada terlebih dahulu di kamar ini? Dan, aku pula yang menemaninya di malam-malam ketika kegelapan datang menyapa bumi. Bukankah dulu ia tertawa? Dan, selalu tampak bahagia? Ia selalu tersenyum, loh, sembari sesekali melantunkan tembang cinta, bersenandung suka cita. Namun, tiba-tiba semua berubah!

Aku, kah, yang kurang peka? Atau dia yang mulai tak mau bicara? Aku pun mulai menyelipkan setumpuk tanya untuk Riana.

"Tapi ia tak lagi mau bercerita," ujarku.

"Apa yang terjadi sebelum ini ?" tanya bintang itu, lagi.

"Tidak ada, hanya pembicaraan...ya sebuah pembicaraan tentang kebebasan. Sebuah pembicaraan tentang betapa tingginya seseorang ingin terbang. Dan, mungkin pada suatu masanya ia akan pulang."

"Pembicaraan apa itu ?"

"Aku tak tahu," ujarku pelan.

"Hei! bahkan kamu seolah-olah kekasihnya, bukan? Bagaimana mungkin kamu tidak tahu," ejek bintang yang tepat berada di atas kepalaku.

"Aku hanyalah sebuah pemberian," jawabku cepat.

"Oh ya?" ejek bintang di atasku, lagi. "Pemberian dari siapa? Kekasihnya, kah?"

"Ya. Dan, aku masih ingat, bagaimana keras usaha laki-laki itu untuk bisa mendapatkanku," ujarku kemudian.

"Lalu kemana pemuda itu?"

"Entahlah. Mungkin dia telah temukan dunianya?" ujarku pelan.

"Lalu?" tanya salah satu bintang yang berada di ujung jendela.

"Kenapa kalian jadi menginterogasi aku," elakku.

"Seharusnya kamu tahu, kemana tuanmu? Seseorang yang diutus Tuhan untuk membuatnya bahagia. Namun, nyatanya ia menghilang, bukan?" ujar bintang di dinding yang tepat berada di sisi kiriku.

Keheningan mulai merasuki ruangan itu, seiring masuknya langkah kaki Riana. Aku mulai merasakan tubuhku bergerak. Berpindah posisi. Ia menarik tanganku hingga menutup sebagian lehernya. Denyut vena jugularisnya dapat kurasakan. Tentunya, bersamaan dengan hembusan napas yang halus.

"Dia mungkin merasa tenang," bisik bintang di atas kepalaku.

"Mungkin," jawabku cepat, sambil menghirup dalam aroma sampo dari kepalanya.

"Kamuflase!" tiba-tiba sebuah pena berujar. Aku menatapnya.

"Kalian perdebatkan sesuatu yang tak berfaedah," ujarnya diplomatis.

"Ia telah tuliskan puluhan kepasrahannya dengan tintaku di atas sebuah buku. Itu yang ku tahu. Setelah, ia luluh lantakkan hidupnya dalam sumpah serapah!"

Aku terdiam.

"Bohong rasanya kalau kamu tidak tahu," ujar pena itu padaku.

Lagi aku terdiam.

"Hmmm...," bintang-bintang itu pun menatapku, nanar.

Entah, mengapa aku merasakan ruangan ini menjadi begitu sesak. Ya, mungkin aku tahu segalanya atau justru aku tidak mau tahu. Rasa sakit itu, pelarian itu, frustasi, dan tiap kamuflase-kamuflase yang ia nampakkan, bukankah, terlihat begitu nyata?

Mungkin, itu yang kurasakan ketika kali pertama ia membuka kardus, tempat pertama kali aku berada. Binar dimatanya terlihat begitu cantik. Serta merta aku jatuh cinta padanya. Dekapan hangatnya milikku dan hanya milikku. Aku yang mulai terbiasa menghirup aroma samponya yang lembut di atas tubuhku serta mendengarnya bercakap-cakap. Ya, tentu saja dengannya, seseorang yang disebutnya sebagai "Kekasih". Lelaki itu telah memberikan semangat di sebagian hidupnya, yang nyaris padam dalam luka serta kesedihan yang cukup dalam.

Pagi ini aku kembali melihatnya. Begitu khusyuk memotong tiap double tip yang berfungsi untuk melekatkan bintang-bintang di dinding kamar. Entah, berapa banyak lagi bintang-bintang yang akan ia tempelkan di dinding-dinding kamar atau bahkan sampai langit-langit kamar. Hingga disaat malam, ketika lampu-lampu kamar itu dimatikan. Fosfor-fosfor itu mulai menyala membentuk cahaya-cahaya imitasi seperti bintang di langit sana. Dan, ia pun mulai menatap titik demi titik, hingga air matanya kembali menetes, membasahi tubuhku. Sampai ia terlelap bersama iringan kidung cantik dari ponselnya.

Kumpulan bintang-bintang itu kembali memainkan perannya. Membentuk cahaya-cahaya hijau cantik yang memukau. Aku menatapnya. Tatapan mata itu hanya tertuju pada satu titik bintang yang ia telah susun sedemikian indah, sebuah lafaz Allah dan Muhammad. Ia berhasil menyusunnya. Gugusan bintang itu membentuk gugusan yang melafadzkan Asma-Nya, serta nama Kekasih-Nya.

"Ya Rabb, aku tidak tahu lagi rencana apa yang akan kau berikan padaku. Tapi setidaknya, hanya dengan menatap lafadz indah-Mu, aku telah yakinkan diri, untuk mempercayakan segalanya pada-Mu. Mungkin, aku begitu mencintainya. Namun, aku tahu, sesungguhnya tak sepantasnya aku mencintai suatu makhluk lebih besar daripada aku mencintai-Mu. Dan, kali ini aku tengah berusaha untuk jatuh cinta, pada fitrahku sebagai makhluk yang menghamba," gumam Riana disuatu malam. Setelahnya, kembali ia menarikku. Merebahkan kepalanya di atas tubuhku. Matanya terus menatap lafadz Asma Allah dan kembali ia menangis. Untuk kali ini, aku merasakan, jika air mata itu terlalu lama mengalir.

Hening. Bintang-bintang itu tak lagi bicara. Pena-pena itu pun sama. Mereka terdiam, seolah merasakan gersangnya jiwa. Begitu pula aku. Mungkin aku tak mampu merangkul atau menghiburnya, karena kami memang tidak pernah saling bicara atau bercerita. Hanya satu hal yang kutahu dan mampu kubaca. Ia terluka oleh cinta yang berulang. Saat ini pun, dia berusaha belajar membentuk sebuah ikhlas serta kepasrahan. Mungkin, di suatu masa, aku pun harus belajar ikhlas ketika ia lebih memilih tubuh lain sebagai tempatnya merebahkan kepala dan berbagi air mata.

Tapi tidak, seharusnya air mata itu tidak keluar lagi. Karena aku yakin, Tuhan telah menjanjikan satu hal padanya. Seorang sandaran jiwa sebagai perwujudan nahkoda, yang akan mengantarnya ke sebuah pulau kemerdekaan. Di mana hanya satu kebahagiaan yang tersisa. Semoga...[epl/]

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 23, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

BINTANGWhere stories live. Discover now