Bab 13. Berusaha Mengikhlaskan Takdir

3.3K 126 6
                                    


"Buatku, cukup seperti ini. Duduk di sebelahmu tanpa berbicara, membuat rindu yang sehasta ini berderai. Andai waktu lupa cara bergerak?"" Reza.

***

Aira menatap kartu persegi mengkilat yang ada di tangannya. Goresan tinta hitam di lembaran lain berwarna putih cukup membuat kelopak mata gadis itu terasa berat dan sedikit panas, 'Setelah mengembalikan ini, tidak ada alasan lagi bagi kita untuk bertemu.'

Ia mengerjap berkali-kali, "perasaan ini, kenapa masih saja sama?" gerutunya dengan rasa perih yang hampir memenuhi rongga dada. Semakin terasa menyesakkan menerima sikap Hanif padanya dua hari ini, setelah lelaki itu berada di luar kota.

Aira merasa dirinya tak dipedulikan, untung saja kehadiran Muna cukup membuatnya merasa nyaman. Terlebih Bu Nyai Bad, yang tidak pernah absen menanyakan kabar, seperti menerima titah dokter dalam mengkonsumsi obat. Tiga kali sehari, tak pernah kurang. Aira merasa seakan mendapat pengganti sang ibu di tempat itu. Tapi Hanif, mengapa bahkan jika Aira tak menelpon, lelaki itu tak ingat untuk memberi kabar? Ia bersikap seolah mereka belum menikah, atau lebih tepatnya seperti tahun-tahun yang lalu, saat Hanif masih di Mesir.

"Apa Hanif tak mengingatku? Atau sesibuk itukah hingga tak sempat memberi kabar?"
Aira mendesah panjang, kesal dengan inginnya yang datang disaat tidak tepat.

Jika bukan karena Tahu dan Takwa Bah Kacung sudah memenuhi kepala, Aira tak ingin menelpon Hanif duluan.

Menunggu meski sampai mata terpejampun tak apa, sebab ia ingin tahu seberapa kehadirannya berarti bagi lelaki yang sudah menjadi imamnya itu.

Beberapa kali gadis itu memencet nomor Hanif, bermaksud meminta ijin ke kota. Namun satu kalipun panggilannya tak ada jawaban.
Aira memilih untuk mengirim pesan via whatsapp.

[Assalamualaikum, Mas. Aira mau minta ijin keluar pondok, mau ke kota membeli Tahu Takwa, bolehkan Mas?]

Segera ia kirim pesan itu. Lima menit menanti, room chat masih tertulis kata on line. Ia urungkan sejenak, menanti hingga ada kabar balasan.

Tak lama, ponselnya pun berdering. Aira segera meraih benda pipih itu, kemudian menggeser layar hijau panggilan.

[Assalamualaikum, Mas Hanif]

[Waalaikum salam. Maaf Humaira, tadi Mas sedang di ruangan pelatihan. Ini Mas sudah di luar. Kamu mau ke kota? Apa nggak sebaiknya nunggu Mas pulang?]

Aira memejamkan matanya, ‘orang udah kepingin masih disuruh menunggu.’

[Aira kepingin sekali,  Mas. Sudah dua hari ditahan. Hari ini sudah tak tahan lagi?]

[Hahaha ...] Tawa Hanif pecah di seberang sana.

[Emm ... maaf istriku. Sebenarnya boleh aja, tapi mau pergi sama siapa? Mas khawatir kamu tersesat?]

[Aira 'kan bukan anak kecil lagi, Mas. Nanti Aira tanya-tanya deh?]

[Tetap jangan, ajak Muna aja. Mas telpon dia, ya?]

[Nggak usah,  Mas. Aira bisa sendiri. Percaya sama Aira, ya?]

Hanif terdiam sejenak, membuat Aira ragu untuk meneruskan keinginannya. Namun, tak berapa lama ...

[Ya sudah, pesan taksi aja, ya? Biar aman. Langsung sebutkan mau kemana, biar nggak muter-muter.]

[Iya, Mas]

[Humaira ... maaf ya, Mas nggak bisa menemani?]

Aira menarik napas panjang, ada rasa sakit mendengar permintaan maaf Hanif padanya.

[Iya Mas, nggak papa.]

Aira mematikan ponselnya. Rasa perih semakin memenuhi dada. Ia alihkan pandangan sejenak keluar melalui celah jendela, langit biru yang dihiasi kupulan awan putih, terlihat seperti boneka salju yang begitu menggemaskan. Matanya mulai berkaca.

Humairah (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang