PROLOG

57 8 1
                                    

"Berhenti dulu sebentar ya peri cantik?"
"Ini dari tadi juga sedang berhenti di halte, kan hujan"
"Bukan itu maksudku, tapi kita, aku sama kamu, berhenti dulu sebentar ya, Rein?"

Kau tau semesta?

Bagaimana perasaan ku saat dia berbicara seperti itu? Takut. Takut saja kalau yang sedang dibicarakan sesuai dengan pemikiranku. Putus. Itu yang bisa aku tangkap dari pembicaraannya. Tapi kenapa semesta? Kita baik-baik saja dari kemarin. Dia yang tetap antar-jemput aku ke sekolah, dia tetap memberiku kabar. Bahkan kita tidak pernah berselisih sejak pertama kali sepakat untuk menjalin hubungan ini. Tapi kenapa sekarang dia berbicara seperti itu semesta? Tolong. Tolong beri tahu dia bahwa aku sangat benci di berbicara seperti itu.

"Rein?"
"Berhenti yang seperti apa maksudmu?" Tanyaku dengan air mata yang sudah lolos di pipi.
"Yaa, berhenti. Berhenti dulu. Maksudku, kita fokus saja dulu dengan diri kita masing-masing, cita-cita mungkin, atau apapun selain itu. Kamu paham maksudku kan, peri cantik?"
"Putus maksudmu?"
"Bukan seperti itu maksudku. Bagaimana ya, aku cuma ingin kita berhenti sebentar, untuk fokus sekolah, mewujudkan cita-cita, nanti kalau semuanya sudah terwujud kita seperti ini lagi. Setuju ya, peri cantik?"
"Omong kosong. Dari dulu juga kamu tidak pernah mempermasalahkan soal itu."
"Bukan cuma soal itu, peri cantik. Ada suatu hal yang mengharuskan aku pergi dari sini." Ucapnya tanpa berani melihat wajahku seperti tadi.
"Kemana? Pergi untuk apa?"
"Pergi untuk sesuatu yang penting intinya, tidak akan lama kok, aku janji."
"Aku mau pulang sekarang."
"Tapi masih hujan, Rein."
"Pulang sekarang atau aku pulang sendiri!"
"Yasudah ayo pulang."

Aku harus bagaimana semesta?

Menuruti keinginannya untuk berhenti sebentar dengan alasan seperti itu? Atau bagaimana? Aku takut semesta. Takut kalau nanti aku setuju untuk berhenti, dia benar-benar pergi.

Tahu tidak semesta?

Selama perjalanan menuju rumah, kami saling diam. Aku yang sibuk dengan pemikiranku tentang pembicaraan tadi. Dan dia yang entah sedang memikirkan apa.

"Sudah selesai melamunnya? Ini dari tadi sudah sampai rumah loh."
"Aku masuk."

Iya, Semesta. Aku langsung masuk tanpa mengucapkan apa-apa. Dia juga cuma diam saja, mungkin tahu kalau peri cantik-nya ini sedang marah. Dia langsung pulang, dengan wajah yang terlihat banyak pikiran itu. Ah tidak apa-apa, paling juga besok dia berubah pikiran untuk tidak jadi berhenti dulu sebentar.

******

"Ra, bangun sayang sudah pagi. Nanti terlambat ke sekolah." Teriak ibu dari dapur sepertinya.
"Ini sudah bangun, Bu. Sudah siap pergi ke sekolah juga."
"Ibu kira belum bangun. Sarapan dulu, nanti kalau Kenan datang ajak sarapan juga, hari ini ibu masak banyak"

Iya, itu Ibu ku. Malaikat paling kuat yang pernah ada. Kau tahu tidak kenapa Kenan memanggilku peri cantik? Karena aku terlahir dari malaikat yang cantik dan kuat seperti ibu, katanya. Bingung ya kenapa cuma ibu yang aku ceritakan? Ayah ku pergi. Meninggalkan aku dan ibu demi wanita lain itu. Ku kira itu saja sudah cukup menjelaskan kepada kalian tentang keluargaku bukan? Sebenarnya aku sangat benci membahas ini. Tapi tidak apa-apa, berbagi sedikit cerita menyakitkan bukan dosa kan, semesta?

"Ini ada surat buat kamu, Ra."
"Kok tumben bu, pagi-pagi ada yang kirim surat, dari siapa?"
"Kenan."
"Sekarang dia dimana?"
"Langsung pergi. Katanya minta maaf nggak bisa anter kamu ke sekolah hari ini. Sedang buru-buru sepertinya."
"Ara berangkat dulu, Bu."

Pagi yang awalnya cerah ceria itu kini berubah menjadi gelap. Mendung. Dan tak lama setelah aku turun dari bis kota kemudian hujan turun dengan lebat. Mungkin semesta tahu, sedang ada seorang gadis yang terlihat sangat menyedihkan duduk di pinggir jalan sambil menangis. Mungkin semesta tahu bagaimana perasaanku setelah membaca surat dari dia. Kalian ingin tahu bagaimana isi suratnya?

Untuk,
Peri Cantik

Selamat pagi peri cantik!
Maaf ya hari ini tidak bisa mengantarmu ke sekolah, naik bis kota saja dulu tidak apa-apa kan? Jangan lupa pakai masker. Kamu tahu aku benci kalau ada debu yang mengotori wajah cantikmu itu.

Maaf..
Maaf tidak bisa berbicara langsung dengan mu, Rein.
Maaf hanya berani berbicara lewat surat.
Maaf jika aku melukai perasaanmu.
Maaf jika aku membuatmu menangis pagi ini.

Aku harus pergi, peri cantik.
Pergi ke negeri kincir angin.
Seperti yang sudah ku katakan kemarin, ada suatu hal yang harus aku selesaikan dulu.
Kalau kamu bertanya kenapa harus Belanda, mungkin jawabannya karena memang di tempat itu semuanya bisa selesai.
Tidak lama, peri cantik. Kan aku sudah janji juga kemarin.
Percaya ya? Tunggu sampai aku pulang oke?

Maaf beribu maaf untuk keputusanku kali ini.
Aku pamit.

Kenan Adhitama Sejengga.


Seperti itu isi suratnya.
Bagaimana?
Bagaimana perasaanmu ketika membacanya?
Bagaimana perasaanmu ketika tahu orang yang kamu cinta pergi jauh dan tidak tahu kapan akan kembali?
Bisa tidak, semesta. Aku minta mesin waktu supaya bisa mengulang hari kemarin saat kehujanan di halte? Andai saja aku tahu bahwa itu saat terakhir bisa bersamanya sebelum dia pergi, mungkin aku tidak akan marah sama dia. Bodoh.

Kenan Adhitama Sejengga.
Laki-laki biasa yang bisa membuatku jatuh cinta saat pertama kali bertemu. Satu-satunya manusia yang memanggilku Rein hanya karena dia tau aku sangat benci hujan. "Biar kamu jadi suka hujan, hujan kan juga anugrah.", katanya. Satu-satunya manusia yang bisa memahami isi duniaku. Manusia yang berhasil menambahkan banyak warna di dunia ku yang semula abu-abu. Satu-satunya manusia yang berhasil membuat aku percaya dengan cinta. Dan sekarang, lihat semesta? Bahkan dia sendiri yang menghancurkan semuanya.

******

Halooo🖤🖤🖤🖤
Ini cerita pertama ku di wattpad.
Semoga sukaaaaa🖤🖤🖤🖤

Untuk KenanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang