DUA

23 10 0
                                    

Kalau di bab ini hanya berisi ceritaku saja kalian mau membaca atau tidak? Semacam perkenalan, atau apa pun tentang diriku sendiri yang belum ku ceritakan di bab sebelumnya. Tidak penting ya? Awalnya juga aku mengira seperti itu, tapi setelah dipikir-pikir, harusnya aku memang memperkenalkan diri kepada kalian. Bukan supaya kalian mengingatku, tapi hanya untuk membantu supaya kalian tidak bingung dengan ceritaku setelah bab ini. Tidak apa-apa ya?

Aku, Nayyara Shakila Naureen.
Gadis kelas 1 SMA yang tidak punya teman di sekolah. Ah ralat, punya teman tapi cuma satu, Rinjani. Cuma gadis biasa yang selalu memakai kaos dan celana jeans sobek-sobek saja kalau pergi. Tidak suka memakai make up. Ada 2 hal yang paling aku benci di dunia ini, keramaian dan hujan. Kenapa ya? Menurutku berada di tempat ramai itu hanya membuat pusing, atau mungkin karena memang aku sudah terbiasa sendiri? Tidak tahu juga. Kalau soal tidak suka hujan, aku sendiri juga bingung, mungkin karena waktu hujan itu ayah pergi bersama wanita lain, jadi kalau hujan turun aku ingat ayah, dan aku benci hal itu. Tidak apa-apa ya semesta kalau aku benci hujan?

Panggil aku Nay saja, jangan Nayyara, itu terlalu panjang dan aku tidak suka. Jangan panggil Rein juga, tidak perlu di jelaskan alasannya bukan?

******

"Ayo berangkat tuan putri, nanti telat ujiannya"

Hari ini hari pertama ujian kenaikan kelas. Doakan semoga lancar ya semesta? Jangan minta aku bercerita pengalaman selama setahun sekolah ya? Bukan tidak mau bercerita, tapi memang tidak ada yang menarik sama sekali untuk di ceritakan. Setahun aku sekolah semuanya masih biasa-biasa saja. Dan cuma Jani saja temanku dari awal masuk sampai sekarang, di kelas aku juga jarang bicara, kecuali kalau ada yang bertanya baru aku jawab. Kata anak-anak di kelasku, aku menyeramkan karena tidak pernah berbicara. Sebenarnya tidak, mereka saja yang tidak tahu dunia ku seperti apa. Aku juga bingung kenapa Jani mau menjadi temanku yang katanya menyeramkan ini, mungkin cuma Jani yang bisa mengerti isi duniaku ya semesta?

"Sudah ku bilang jangan sering melamun!"
"Iya aku minta maaf"
"Mau berangkat atau tidak?"
"Ya berangkat, Aksa"

Tidak biasanya seorang Aksa jadi pendiam seperti ini saat bersamaku. Biasanya dia yang selalu cerita apapun yang di alami. Tapi yasudah, barangkali dia sedang memikirkan sesuatu juga.

"Nanti tidak usah jemput ya, Sa?"
"Memangnya kenapa, Nay?"
"Tidak apa-apa, lagian kayaknya aku pulang cepet deh, lagi mau naik bis kota."
"Terus menurutmu aku mau menuruti keinginanmu yang ini? Membiarkan kamu melamun di pinggir jalan sampai ketabrak truk?"
"Sa.. "
"Tunggu aku jemput saja."
"Tidak usah Sa, kali ini saja. Boleh ya?"
"Janji tidak melamun?"
"Aku janji."

Sampai di sekolah ternyata sudah ramai, padahal ini masih jauh dari bel masuk.

"Semangat ujian, tuan put-"
"Jani!!" teriakku saat melihat satu-satunya temanku sedang berdiri di depan kelas.
"Aku masuk dulu ya, Sa."

Setelah itu aku langsung masuk ke sekolah, menghampiri Jani yang ternyata sudah menungguku dari tadi.

"Sama Aksa lagi ya, Nay?"
"Menurutmu siapa lagi yang mau antar-jemput aku kalau bukan dia, Rinjani?"
"Coba deh Nay, buka hati kamu buat Aksa, aku lihat-lihat dia beneran sayang sama kamu."
"Kamu tahu aku tidak pernah percaya dengan kalimat itu, Jan."
"Kamu bukan tidak percaya, Nayyara. Cuma saja kamu terlalu takut. Takut kalau nanti Aksa akan seperti Kenan. Karena apa? Karena sampai saat ini kamu masih memikirkan Kenan, iya kan?"
"Sudahlah, Jan. Sudah mau masuk."

Memang seperti itu seorang Rinjani. Selalu berusaha membuatku membuka hati untuk Aksa. Ini bukan salah ku kan semesta? Bukan salah ku kalau tidak bisa membuka hati untuk Aksa kan? Toh sudah dari awal Aksa tahu kalau hati ku ini cuma untuk Kenan. Tapi sepertinya benar kata Rinjani. Apa aku harus melupakan Kenan lalu membuka hati untuk Aksa ya? Ah tidak tahu. Semuanya membingungkan.

******

Pulang sekolah kali ini menyenangkan. Bukan karena aku naik bis kota, tapi mungkin karena dengan naik bis kota, aku jadi ingat tentang Kenan. Aku bodoh ya semesta? Sudah tahu Kenan pergi entah kemana, tapi masih tetap saja menunggu. Tapi tidak apa-apa, "Ini namanya kamu benar-benar berjuang untuk Kenan" begitu kalau kata Ibu. Tidak masalah kan kalau bahas Kenan sedikit di bab ini?

Ingat tidak di bab sebelumnya saat aku bilang bakal menceritakan sesuatu kalau dia sudah disini lagi? Kalau aku ingin bercerita sekarang, tanpa dia, bagaimana? Boleh ya, semesta? Toh nantinya dia pasti baca buku ini, kan buku ini aku tulis memang untuk Kenan.

Jadi seperti ini, di bab sebelumnya saat aku pamit untuk berangkat sekolah, aku tidak benar-benar pergi ke sekolah. Iya, aku turun di tengah jalan, menangis sejadi-jadinya di pinggir jalan, di bawah hujan deras, setelah membaca surat itu. Tapi setelah itu, aku tidak ingat lagi apa yang terjadi, terakhir yang aku ingat, ada seorang laki-laki yang mengajakku untuk berteduh ke sebuah gubuk kecil dan aku diberi minum. Entah kenapa setelah minum kepalaku terasa sakit sekali kemudian aku pingsan, sepertinya. Setelah bangun, aku terkejut dengan keadaanku sendiri. Tanganku yang diikat di tepi ranjang, aku yang tanpa busana. Bisa dibayangkan bagaimana perasaanku, semesta? Hancur. Aku hancur.

Cukup sampai disitu saja ya? Aku belum siap untuk bercerita lebih lengkap. Boleh tidak kalau nanti dilanjut lagi kalau aku sudah siap?

Waktu itu aku tidak berani pulang. Aku takut, takut kalau Ibu tidak bisa menerimaku. Aku menangis di pinggir jalan. Dan, Aksa datang. Dia menolongku, semesta. Dia membawaku ke kedai kopi miliknya. Dia juga yang menjelaskan semuanya kepada Ibu. Dia orang baik. Beruntung sekali waktu itu Aksa yang melihatku dan menolongku. Terima kasih, Aksa.

"Jangan sering melamun, nak. Itu ponselmu bunyi dari tadi." ucap nenek tua yang duduk disampingku.
"Iya nek, tidak melamun kok."

Dan ternyata benar, banyak sekali telepon masuk dan pesan dari Aksa.

Aksa si keras kepala

|Sudah sampai rumah?
|Kenapa tidak diangkat telepon ku, Nay?
|Kamu dimana?
|Angkat, Nayyara!
|Pasti melamun ya? Sudah kubilang jangan melamun!

Ya seperti itu dan masih banyak lagi isi pesannya. Heran saja kenapa Aksa selalu berlebihan. Padahal kan aku sudah dewasa, sudah bukan anak SMP lagi. Ponselku bunyi lagi, tanda ada pesan masuk, sudah tahu kan dari siapa? Aksa.

|Kenapa cuma dibaca saja, Nayyara. Kamu ini semakin menyebalkan saja.
|Aku kerumah mu sekarang!

Sudahlah, biarkan saja. Percuma kalau dibalas tidak boleh pun dia akan tetap kerumah ku. Sebentar lagi juga aku sampai.

******

Benar saja, semesta. Saat sampai di depan rumah, sudah ada Aksa yang sedang mondar-mandir tidak jelas di depan pintu.

"Yaampun, Nay. Kamu tidak apa-apa? Kemana saja? Kenapa baru sampai rumah jam segini?"
"Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja kan? Sudah deh, tidak usah berlebihan seperti itu."
"Besok-besok tidak boleh naik bis kota lagi kalau seperti ini."
"Terserah kamu saja, Sa. Aku capek, mau istirahat."
"Yasudah aku pulang."
"Kenapa tidak masuk dulu? Ngobrol sama Ibu mungkin?"
"Tidak usah, aku juga masih harus ke kampus, ada urusan yang harus diselesaikan."
"Terus kenapa kamu kesini?"
"Cuma mau memastikan kamu baik-baik saja, soalnya telepon ku tidak diangkat, pesan ku juga kamu baca saja."
"Dasar manusia aneh."
"Ya, tidak apa-apa. Kan manusia aneh ini say-"
"Sudah sana. Nanti urusan mu di kampus tidak selesai-selesai."
"Siap, tuan putri."

Aku tahu apa yang akan kamu katakan, Sa. Tapi maaf, maaf belum bisa menerima. Maaf belum bisa membalas rasa.

******

Jangan lupa vote🖤🖤🖤🖤


Untuk KenanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang