Siang ini Aldy sedang berada di taman rumah sakit tempat ibunya menjalani pengobatan. Ia menyendokkan sesuap nasi yang dibawanya dari rumah pada wanita dihapannya. Wanita itu tidak memberikan reaksi apapun. Tatapannya kosong memandang hamparan rumput hijau dihadapannya, wajahnya terlihat semakin menirus setiap harinya.
Mamah makan ya? Aa. Wanita itu meliriknya kesal dan kemudian menghempaskan sendok dihadapan mulutnya dengan kasar. Aldy menggigit bibir bawahnya sambil membersihkan bajunya yang kotor terkena hempasan sendok dengan menggunakan tisu.
Tatapan wanita itu yang kesal kini berganti jadi menyesal. Ardhi maafin mamah nak, mamah gak berniat begitu. Tangannya terulur mengelus wajah mulus Aldy. Aldy menikmati sentuhan jadi lentik ibunya dengan senang hati. Matanya menatap mata elang Aldy membuatnya menarik uluran tangan dan memasang tatapan tajam.
Kamu bukan Ardhi! Siapa kamu?! wanita itu berteriak histeris menyuruh Aldy untuk pergi. Pergi kamu! Mata Ardhi warnanya hijau, abu-abu, kamu bukan Ardhi! wanita itu terus berteriak menyuruh Aldy untuk pergi. Bahkan tangannya dengan tanpa segan mendorong tubuh Aldy agar menjauh.
Ini Aldy mah, anak mamah juga. Aldy berusaha meyakinkan ibunya tapi itu hanya membuatnya semakin histeris dan mengundang seorang perawat untuk datang menenangkannya. Mas ditunggu dokter di ruangannya. Aldy mengusap kasar airmata yang berhasil menerobos keluar sebelum mengangguk dan dengan berat hati meninggalkan ibunya yang masih terus meneriakkan nama Ardhi.
Apakah kepergian Ardhi terasa begitu berat hingga sukses mengguncang mentalanya? Mau sampai kapan ibunya akan terus menganggap Aldy tidak ada? Sampai kapan ibunya tidak menerima kepergian Ardhi? Sampai kapan? Apa Aldy harus menjadi Ardhi agar dianggap ada?
Brukk
Maaf, Aldy berjongkok untuk mengambilkan kacamata bening orang dihadapannya yang terjatuh. Iya gak apa-apa. Merasa mengenali suara itu membuat ia sontak menoleh dan sekektika matanya melebar melihat lelaki dihadapannya.
Dengan tergesa ia memberikan kacamata itu dan pergi dari sana selagi lelaki itu sibuk memakai kacamatanya. Ia mengembuskan napas lega saat berhasil bersembunyi dibalik dinding di belokan koridor.
Matanya masih mengawasi lelaki itu yang kini berjalan memasuki salah satu kamar. Ia tidak tahu itu kamar siapa tapi yang pasti ia tahu adalah bahwa ia mengenali lelaki tersebut dan lelaki itu dikenalnya cukup baik dengan image calon suami idaman yang melekat padanya. Namun daripada memikirkan tentang image lelaki tersebut Aldy lebih memilis segera menghampiri kamar itu untuk mengetahui siapa yang ditemuinya.
Ia tak bisa melihat wajah gadis yang tertutupi rambut panjangnya itu tapi ia bisa melihaat dengan jelas tulisan yang terpampang dibangsal gadis itu sebelum pintunya benar-benar tertutup rapat. Kedua alis tebalnya menyatu menandakan sang empu sedang berfikir ditengah kebingungannya.
Nadin? Ce we? Si double u? ce.we? ia menggaruk telinga belakangnya yang tak gatal, au ah bingung. Tak ingin terlalu memperdulikan ia lebih memilih melanjutkan langkah menuju sebuah ruangan dimana sang pemilik sudah menunggunya.
Regina: Al mau bebek sambe ijo bokap lu dong. Gua mau pesen oline tapi lupa nama restoranya
Aldy: Ia entar gua anterin
Regina: Emang lagi ngapain sih?
Aldy: Mau ketemu dokter
Regina: Lu sakit?
Aldy: Enggak
Regina: Yaudah, cepetan ya say
Aldy: Sip, ini gua langsung bilang bokap soal pesenannya biar nanti bisa langsung dianter
Regina: Lu yang anter
Aldy: Ashiaappp buat lu apa sih yang enggak
Regina: Dua ya beb. Satunya buat Raka :*
Aldy: Ajg(delet)
YOU ARE READING
Belum Sempat Dimulai
Teen FictionDalam cinta ada dua pilihan yang wajib dipilih: -Ungkapkan -Tak pernah terungkap