Halte 12.
Aku dan Alex segera turun dari bus, dan berjalan memasuki halaman sekolah yang luas masih bersama dengan lelaki kutu buku tampan di sampingku ini. Aku memandangi padang rumput yang mengelilingi sekolah baruku, dengan gedung besar dan bentuk yang antik sekolah baruku terlihat keren dengan dinding yang terbuat dari bebatuan alam dan batu bata. Apalagi terdapat kolam ikan dan tempat pemandian burung disekolah ini, menambah kesan klasik dan mewah pada gedungnya dan sepertinya aku akan betah tinggal disini.
"Itu gedung apa?" tanyaku, Alex mengalihkan pandangannya pada gedung yang kutunjuk. Gedung bulat dengan permukaan kaca yang mengkilap, walaupun permukaannya terbuat dari kaca kami tak dapat melihat aktifitas di dalam gedung itu.
"Itu gedung asrama, semua siswa yang berada jauh dari rumah dan orang tua mereka akan tinggal di sana. Gedung itu milik sekolah, dan kurasa kau dan aku akan tinggal di sana." jawab Alex
"Apa maksudmu 'kau dan aku'?"
"Aku juga akan tinggal di sana, orang tuaku akan pindah ke London dan aku masih harus menetap di sini. Orang tuaku pasti tidak akan mengizinkan ku tinggal sendirian kecuali aku mau tinggal di asrama sekolah. Dan kau, rumahmu jauh bahkan sangat jauh, sekolah pasti akan memberikanmu kamar asrama agar kau aman dan tetap dalam pengawasan orang dewasa." aku mengangguk dan kembali memandangi pemandangan yang tersaji di depanku.
Dapatku dengar ponsel Alex berbunyi, ku kira awalnya ponsel ku yang berdering ternyata ponsel Alex. Alex berjalan menjauh dariku dan satu menit kemudian ia kembali berdiri di sampingku. Lalu, kami berjalan kembali dan tak kusangka aku sudah masuk ke dalam gedung sekolah baru ku! Tembok bata dengan bau rumput segar membuat ku releks berada disini.
Ah, hampir aku lupa karna terlalu terlena pemandangannya. Ngomong-ngomong dimana ruang konselor?, aku bertanya dalam diriku sendiri
"Kau tidak ingin ke ruang konselor? Kau kan murid baru." ujar Alex, aku hanya mengangguk kecil.
"Ya, aku ingin. Tapi aku tidak tahu dimana letaknya, sekolah ini bahkan lebih luas jika di bandingkan dengan perpustakaan kota di Indonesia. Dan aku pastikan akan susah mencarinya seorang diri."
"Mari, akan kuantarkan kau keruangan Pak Pense." tawar Alex.
"Tapi—tapi kan kau bilang kau ada kerja kelompok? Bagaimana jika teman-teman kelompokmu itu marah karna kau terlambat?"
"Aku memang sudah terlambat," jawab Alex santai.
"Lalu kenapa—"
"Itu salah mereka. Mereka bilang akan bertemu di sekolah, tapi tadi Veronica menelfon dan berkata bahwa mereka menungguku di rumah Lyle. Bagaimana bisa mereka mengganti jadwal tempat pertemuan tanpa memberi tahuku terlebih dahulu—ah, sudah lupakan saja." kata Alex yang memotong perkataanku.
"Mari kuantarkan," lanjutnya yang langsung menarikku menuju ruang kepala sekolah.
"Alex, memangnya akan ada konselor jika di hari libur seperti ini? Bagaimana jika aku sudah datang kemari dan dia tidak ada?" Alex tersenyum simpul, kuakui dia manis jika sedang tersenyum seperti itu.
"Dia pasti ada di sekolah ini, konselor tetap masuk meskipun sekolah sedang libur. Biasanya Pak Pense akan mengecek keadaan sekolah setiap hari libur ataupun melakukan sedikit perbaikan." Kami akhirnya sampai di sebuah pintu yang terbuat dari kayu mahoni, aku sangat mengenali wangi dari kayu pohon mahoni. Pintunya terlihat elegan dengan ukiran-ukiran cantik di pinggirnya, tergantung juga papan yang bertuliskan 'Counselor's Room' di depan pintu yang cantik itu. Dapatku rasakan bahwa Alex menyikut bahuku, ia mengisyaratkanku untuk segera memasuki ruangan kepala sekolah.
"Aku akan tunggu di bangku panjang itu," bisik Alex tepat di telingaku, kemudian ia berjalan ke arah bangku panjang yang terbuat dari besi, biasanya bangku itu terdapat di rumah sakit sebagai bangku tunggu pengunjung rumah sakit. Aku melirik Alex sejenak yang sepertinya telah tenggelam dalam buku yang ia baca, ia terlihat lebih tampan dari biasanya jika sedang membaca buku. Aku mengambil nafas dalam sebelum memasuki ruangan.
Aku mulai mengetuk pintu elegannya, samar-samar kudengar seseorang berteriak dari dalam menyuruhku untuk masuk. Dengan langkah ragu aku berjalan memasuki ruang konselor. Sebuah name tag yang terbuat dari kayu yang terdapat ukiran bernama 'Mr. Pense' terpampang di meja besarnya.
"Ah, kau pasti Azura Rahardian. Murid pindahan dari Indonesia itu, kan?" Pak Pense berdiri dari duduknya dan menjabat tanganku, aku tersenyum simpul hingga mengikutinya duduk setelah ia menyuruhku untuk duduk di bangku tamunya.
"Yes, Sir." ucapku berusaha seramah mungkin.
"Baiklah, ini jadwal, nomer loker, dan kunci asramamu, Nona Rahardian." Pak Pense memberikan ku sebuah kertas yang berisikan jadwal pelajaran ku satu tahun ini, kunci loker—beserta nomernya tentunya, dan kunci kecil berwarna emas. Kunci asramaku! Kunci yang terlihat mengkilat itu mengukirkan sebuah nomer.
"Tunggu—aku akan tinggal di asrama?" Pak Pense mengangguk mantap.
"Asrama laki-laki dan perempuan dipisah, tetapi tetap berada di gedung yang sama. Alasanku menaruhmu di asrama adalah agar kau masih bisa dapat pengawasan walaupun sedang jauh dari kedua orang tuamu."
"Baikalah, Pak Pense." aku mengambil semua yang telah diberikan kepada Pak Pense dan memasukannya ke dalam tas selempang milikku.
"Kau sudah bisa menempati kamar asramamu sekarang, Nona Rahardian."
"Terima kasih, tapi kurasa aku akan pindah besok saja." aku tersenyum, begitupun dengan Pak Pense.
"Sampai berjumpa lagi, Nona Rahardian. Dan semoga hari pertamamu menyenangkan!" aku tersenyum lagi padanya dan segera meninggalkan ruangan Pak Pense lalu duduk di samping Alex.
"Apa yang terjadi di dalam cerita itu?" tanya ku tiba-tiba, Alex sempat menenggang sejenak kemudian kembali seperti semula ia membaca.
"Ah, Ara kau sudah selesai rupanya," ujarnya tanpa menoleh padaku, ia bahkan tidak menjawab pertanyaanku. Menyebal.
"Novel itu terlihat menarik."
"Ya, ini memang novel terbaik sepanjang masa." Alex menutup bukunya, ia kemudian berdiri dan menatapku.
"Kau akan pindah ke asrama sekarang?" tanyanya tanpa ekspresi. Aku memutar kedua mataku.
"Kau seorang nerd yang dingin," celetukku, Alex terlihat mendengus kesal.
"Aku bukan nerd, dan berhenti memanggil ku dengan sebutan menjijikan itu!"
"Terserahmu, aku akan pulang. Kau akan pindah ke asrama kapan?" tanyaku yang berusaha tidak memancing amarahnya, aku sedang malas berdebat saat ini.
"Haruskah aku menjawab pertanyaan mu itu, Nona?"
"Tentu saja!"
"Sepertinya tidak usah, kau saja tidak menjawab pertanyaanku sebelumnya." jawab Alex santai, aku membelalakan mataku.
"Menyebalkan." kataku, kemudian mulai berjalan menjauhi Alex dengan hentakan di setiap langkah.
"Jangan marah padaku, Nona cantik! Kau akan menyesalinya jika itu terjadi." pekiknya, aku mengabaikan perkataan Alex. Memang apa pedulinya dengan ku? Aku bahkan baru mengenalnya sejam yang lalu! Tapi dia sudah semenyebalkan itu. Ugh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Las Vegas
ActionAzura Rahardian, gadis berdarah Indonesia itu termasuk gadis yang beruntung. Ia merupakan siswa yang berhasil melanjutkan pendidikannya ke luar negeri,Las Vegas. Karna sekolahnya itu, mulai saat itu pula ia harus terbiasa dengan budaya, kebiasaan, d...