P A S T

5 1 0
                                    

Jenara menutup hidungnya kuat. Berusaha supaya bau yang sangat dibencinya tidak menyeruak masuk ke pernapasannya. Dan memaksanya mengingat kejadian masa lalu.

"Ge,  masih lama? Capek banget nih!" keluh gadis yang kini ngos-ngosan memegangi lututnya.

"semangat, Na. Udah mulai bau belerang. Habis ini sampai puncak." Geovan mencoba menyemangati. Sudah separuh jalan mereka mendaki gunung.  Mana mungkin memilih menyerah dan turun kebawah.

Jenara menghirup udara. Berusaha memenuhi paru-parunya dengan oksigen. Benar kata Geovan.  Sudah bau belerang. Tapi jenara sudah sangat letih.

"kamu duluan aja, Ge. Aku disini nanti nyusul."

Sumpah demi tuhan!  Jenara merutuki dirinya karena menerima tantangan Geovan. Lalu menjadikannya penat, kepanasan, kotor,  kumal, bau belerang. Dan jangan lupakan jika kulitnya segera gosong.  Entah akan berapa banyak gocek yang akan dikeluarkannya untuk membeli skincare.

Jenara menggelengkan kepalanya.  Mengenyahkan kenangan bodoh dimasalalu.

"Jen,  kenapa si?"

Gadis itu mengabaikan pertanyaan sepupu lelakinya. 

Sampai kapan aku bakalan menghindari hal-hal yang pernah berhubungan sama Geovan.
Suara awan
Bau belerang
Gunung

Menghindari segala sesuatu yang pernah membuktikan jika Geovan pernah bersamaku.
Menghirup oksigen berdampingan.
Berbagi minuman bersama.
Menikmati terpaan angin berdua.

Lima tahun berlalu setelah berhentinya tangan itu menyentuhku. Suara yang tidak lagi menenangkanku.

Geovan sudah kembali pada hakikatnya.

Tanah.

"jen, lo ga punya asma atau gangguan pernapasankan?" tanya Galih dengan mimik wajah khawatir.

"gue... Gapapa." cicit jenara.

Pelupuk matanya mengembung air mata yang siap tumpah. Bau belerang semakin menyengat penciumannya. Sesak didadanya karena dua kemungkinan.  Belerang dan kenangannya.

"kalo lo ga bisa ikut ke tempat pengepulan belerang.  Lo dimobil aja, Jen."

Galih semakin khawatir. Galih mulai paham dengan apa yang dirasakan Jenara.

Patut saja Jenara agak aneh ketika Galih mengajaknya observasi ke tempat pengepulan belerang.

Jenara makin aneh ketika melewati kaki gunung. Mata jenara menyiratkan sesuatu. Memandang sedu jalanan yang dulu pernah Galih lewati bersama Geovan, Jenara, dan Yuri.  Tubuhnya disamping Galih namun pikirannya dikenangan beberapa tahun lalu.

Gelagatnya seperti merindukan suasana ini.  Namun juga membencinya.  Enggan merasakannya.  Lagi.

Rasanya menyejukkan dipikiran, Ge. Suasananya asri dan menenangkan. Tapi ini jauh berbanding terbalik dihati aku, Ge. Sakit, menyesakkan,  dan perih. Aku masih mengingat setiap detailnya, Ge. I miss you. I miss you. Aku lemah aku lemah. Aku kalah dan nyerah, Ge. Tanpa kamu semuanya ga lengkap.  Semuanya sakit. Semuanya melelahkan.

Jenara memilih kembali ke mobil dan menangis tersedu-sedu. Memandangi lereng gunung, pohon-pohon yang menjulang tinggi.

"Ge, ambilin daun itu. Bagus banget kalo buat koleksi." tunjuk jenara pada salah satu daun dipohon.

Geovan mengernyitkan dahinya sambil mengambilkannya.

"makasi."

Cup~

Jenara mencium pipi Geovan. Dan membuat lesung pipit dipipi pemuda itu nampak.

"kamu pasti ga tau ya kalo ngoleksi ginian. Aku udah punya banyak planning. Pergi ke Amazon nyari 40 jenis daun." jelas Jenara duduk disebelah Geovan yang sedang beristirahat di pos.

Tangannya terampil menata daun koleksinya.  Menjelaskan kepada Geovan betapa puasnya dia memiliki banyak koleksi daun-daun yang menurutnya unik.

Sedangkan Geovan tersenyum menatap gadis istimewa yang unik disampingnya.

Jenara menggeleng. Sampai kapan dia akan menangis. Sampai kapan dia akan meratapi.






Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 15, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

one shotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang