K O M I T M E N

9 2 0
                                    

Aku tersenyum sinis setelah membaca artikel tentang komitmen.

Namun aku tetap meneruskan membaca sambil sesekali mencibir.

Dilayar laptopku menyebutkan jika komitmen adalah suatu Keadaan dimana seseorang membuat perjanjian/keterikatan. Baik pada kepada diri sendiri maupun kepada orang lain.

Aku memandang meremehkan saat membaca beberapa komentar positif tentang komitmen.

Ada yang mengatakan jika komitmen bisa menjaganya dari perselingkuhan.

Katanya komitmen lebih kuat dari hubungan yang lain seperti pacaran contoh kongkritnya.

Ada yang lebih konyol!

Komitmen meminimalisir resiko sakit hati.
Apa tidak salah?  Bukankah itu pemicunya.

Aku tidak tau apa isi otak mereka. Semua tidak lebih berhubungan dengan cinta,  kasih sayang,  dan komitmen.

Menjijikkan!

Jika seperti yang sudah disebutkan komitmen dapat menjaganya dari perselingkuhan dan resiko sakit hati.  Lalu apa kabar dengan komitmen pernikahan orang tuaku?

Ayahku sudah menjabat tangan bapak bundaku.  Bersamaan mengucap ijabkabul dan mengesahkan hubungan komitmen mereka didepan tuhan, agama,  dan negara.

Disusul dengan bundaku mencium punggung tangan ayahku sebagai bukti mereka sudah sah menjadi sepasang suami istri yang bersumpah akan sehidup semati. 

Bersumpah saling mengayomi tidak akan saling menyakiti.  Akan saling menjaga untuk tidak memasukkan orang lain.

Bundaku sudah menyerahkan segalanya pada ayahku. Cinta tulusnya, kepercayaannya,  hidupnya, hatinya,  raganya.

Semua itu dibalas dengan cinta dan luka oleh ayahku.

Aku tidak mengira.  Jika ijabkabul dan ikrar janji didepan orang tua bundaku,  didepan tuhan tidak menjamin ayahku tidak ingkar.

Aku berpikir khilaf itu berapa kali sih?

Ada yang menyebutkan khilaf itu satu kali jika lebih maka bukan khilaf lagi.  Tapi kecanduan.
Apa perselingkuhan itu mengandung zat adiktif hingga membuat ayahku kecanduan.

Perselingkuhan atau zina nya yang membuat kecanduan?

Apa bunda kurang dalam memberi jatah?

Aku cekikikan sendiri dengan pemikiranku.

Bahkan suara tawaku terasa sangat keras didalam rumahku yang terlalu besar untuk aku tinggali berdua dengan nenekku.

Sendirian seperti saat ini bukan membuat aku tenang.  Tapi memang lebih nyaman seperti ini.

Ketika nenek keluar karena ada urusan dan aku sedang libur bekerja memilih untuk bermalas-malasan dikamar.

Aku mematikan laptopku.  Memutuskan merebahkan tubuh lelahku dikasur sambil menerawang ke langit-langit kamar.

Pemikiranku kembali bersuara..
Masih ingin berkomitmen?

Ketika bunda lelah mengurusku yang masih kecil.  Malam-malam membuatkan aku susu.  Dan ayah?  Seharusnya ayah tertidur disamping bundaku yang terbangun untuk membuatkan aku susu. Tapi lebih baiknya ayah menenangkan aku saat bunda kerepotan dengan rewelku. 

Faktanya,  ayah tidak berada ditempat yang dibutuhkan dan diingingkan.
Tidak ada yang tahu ayah kemana dimana.  Dan tidak ada yang berani menyalahkan jika ayah sudah membawa bekerja mencari nafkah sebagai alasan pulang kelewat malamnya.

one shotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang