Rinai mendekap tubuh kecilnya yang kedinginan. Hujan mengguyur tanpa henti. Gadis itu melangkah perlahan dengan isakan.
"Rinai" Seseorang tanpa ragu menariknya kedalam pelukan.
Rinai tak tahu pasti dari arah mana makhluk itu muncul. Haruskah Tuhan mengirimkan sosok itu dalam dalam keadaan seperti ini? Dengan segera Rinai mendorong tubuh kekar itu.
"Hujan Rin, ntar kamu sakit." Ujarnya memayungi Rinai dengan tangannya. Sedang tubuhnya sendiri dibiarkan terguyur hujan.
"Hujan tidak pernah menyakitiku seperti apa yang kamu lakukan."
"Hujan bahkan memberi kebahagiaan yang tak pernah seorang manusiapun mampu memberikannya padaku."Lelaki itu menariknya pelan, mengajaknya meninggalkan tempat itu. Secepatnya Rinai menarik kembali lengannya dan berlari sekencang mungkin meninggalkan sosok itu.
"Maafkan aku Rinai." Teriaknya berharap Rinai mau berhenti.
Namun Rinai terus berlari, emosinya meluap luap. 'Maafmu tak bisa memperbaiki apapun' pekiknya dalam hati. Rinai terus berlari, berharap tak seorangpun yg mampu mengikuti langkahnya. Sehingga suara keras terpecah dibelakangnya, suara itu terdengar mengancam. Tanpa ragu gadis itu menoleh.
"BINTAAANGGGG..."
"Kak, kak Rinai gak kenapa-kenapa kan? " Suara dari balik daun pintu menarik Rinai kembali ke alam sadar.
Rinai mengerlipkan matanya, melihat sosok perempuan tua yang kini tersenyum tulus kepadanya. Menyadari semua hanya mimpi, gadis itu menghembuskan nafas lega.
"Kak Rinai mimpi buruk ya?" Tanya wanita itu khawatir.
Rinai masih terdiam. Mengingat ingat apa yang baru saja terjadi dialam bawah sadarnya. Mungkin Bibi Nuri benar, dia baru saja bermimpi buruk.
"Yasudah, Bibi kebawah dulu ya, menyiapkan sarapan dan susu untuk kan Rinai dan kak Rayhan."Gadis itu mengagguk menyetujui. Bibi Nuri tersenyum sebelum meninggalkan kamar Rinai.
Rinai menuruni anak tangga, sudah siap dengan seragamnya. Matanya tertuju pada ruang makan, mendapati dua orang lelaki yang tengah menyantap sarapan tanpa suara.
"Selamat pagi Ayah" Sapa Rinai sembari menarik kursi untuk duduk.
"Selamat pagi sayang. Anak ayah sudah sehat? "
Rinai mengangguk penuh semangat. Paginya di hiasi oleh senyuman sang Ayah yang menjadi sumber semangat baginya. Perlahan matanya melirik kearah sosok dihadapannya yang sedari tadi tak sedikitpun menyempatkan waktu barang sedetik untuk sekedar meliriknya. "Selamat pagi kan Ray. "Ray hanya menoleh sejenak tanpa menjawab. Hening. Suasana menjadi canggung, Rinai tetunduk. Apakah salah menyapa seorang kakak?
Ayah dari kedua anak itu berdehem, mecairkan suasana. Rinai meraih roti dengan cepat melahapnya. Perasaannya kini tak bisa dijelaskan. Terlebih melihat tatapan kebencian yang selalu Rayhan tujukan padanya."Ray"
Ray menoleh menanggapi sapaan ayahnya sambil terus mengunyah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rinai
Teen FictionSemesta turut bersedih mnyaksikan sosok bermata indah yg dengan pelan menapak bumi, sendu membalut langkah langkahnya. Seolah berjalan tanpa tujuan. Siapa yg tahu jika didalam hatinya tertanam amarah yg sulit untuk di luahkan. Rasa sakit se...