Mentari sudah muncul untuk mengawali pagi ini. Sinarnya yang menyilaukan pandangan menembus jendela kamar Rinai, memaksa gadis itu untuk membuka matanya meski terasa berat.
Rinai bergegas untuk memulai aktivitas hariannya. Meski hari ini hari libur,gadis itu tak ingin bermalas-malasan.
Rasanya ini akhir pekan yang memuakkan. Ferdi masih diluar kota, membuat putrinya ini bersahabat dengan kesunyian. Rinai memikirkan apa yang yang akan Ia lakukan hari ini setelah menyelesaikan tugas paginya untuk membersihkan diri. Mengajak Rayhan berbincang? Rasanya itu hal yang mustahil. Sadar Ia hanyalah virus yang harus dicegah bagi kakaknya itu.
Ntah apa yang membuat gadis itu merasakan sesak didadanya. Tidak. Ini bukan tentang Rayhan yang membencinya. Melaikan kan lelaki itu! Semenjak kejadian itu Bintang bahkan tidak pernah menemuinya meski sekedar meminta maaf. Meminta maaf? Mengharapkan seorang Bintang menyadari kesalahannya adalah harapan yang hampir mustahil untuk terwujud. Terakhir kali Rinai melihatnya ketika berjalan ke kantin, tanpa menyapa seolah tak melihat. Sebenarnya yang salah siapa?"Hallo, ada apa?" Rinai tersadar dari lamunannya kala benda pipih digenggamannya terasa bergetar.
"Aku mau ketemu." Ucap seorang dari balik telepon.
"Aku gak bisa." Jawabnya tanpa berfikir.
Ia harus menjauhi lelaki ini. Harus! Beberapa hari ini Ia tidak berinteraksi dengan Bintang. Suatu kemajuan bukan!? Kali ini Rinai harus menahan diri untuk tidak menerima tawaran lelaki itu.
"Ayolah Rinai, sebentar aja." Bujuknya.
"Memangnya ada apa?" Tanya Rinai yang tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
"Apa untuk ketemu dan melihat kamu saja aku harus punya alasan yang kuat?"
Rinai menggigit bibir bawahnya. Ia merasa bimbang dengan penolakannya. Pikirannya seperti diracuni, lelaki ini benar-benar telah merusak logikanya.
"Yaudah aku mau."
"oke, di tempat biasa." Ucap lelaki itu yang langsung memutuskan sambungan sepihak.
Persetan dengan rencana menjauhi Bintang, gadis itu langsung bangkit dan bersiap untuk bertemu Bintang. Sadar atau tidak, senyuman manis terukir diwajahnya. Mungkin saat ini Ia tak lagi mengingat Nyonya Rhayma yang merupakan Nenek Bintang. Kata-kata menusuknya, wajah gusarnya, tatapan sinisnya, bahkan kerutan diwajahnya kini menghilang seketika dari ingatan Rinai.
Tak memakan banyak waktu, Rinai sudah siap dengan jeans dan kaos lengan pendek berwarna hitam yang nyaris kebesaran. Rambut panjangnya terikat rapi kebelakang, menampakkan wajah indahnyanya dengan jelas. Sederhana, namun terlihat istimewa.Menyusuri anak tangga dengan sedikit tergesa-gesa, masih dengan senyuman dibibir. Namun langkahnya terhenti tepat di ruang keluarga yang menampakkan sosok yang sedang sibuk menonton televisi. Rayhan. Namun Rinai berhenti bukan karena ingin berpamitan atau sekedar menyapa Rayhan. Melainkan karena menyadari tali sepatunya terlepas. Gadis itu berdecak lalu menunduk untuk kembali mengikatnya.
Sepasang mata milik Rayhan melirik kearah Rayhan yang tengah sibuk dengan tali sepatunya. Perlahan Rayhan menatap gadis yang merupakan adiknya itu tanpa berkutik. Setelah selesai Rinai bangkit, mengarahkan pandangan kearah Rayhan yang kini menatapnya. Tatapan mereka sempat bertemu beberapa detik, namun dengan cepat Rayhan membuang pandangannya. Rinai yang menyadari itu kembali melanjutkan langkahnya. 'Andai kak Ray seperti seorang kakak pada umumnya pasti dia akan bertanya kemana aku akan pergi'. Pekiknya dalam hati. Namun Rinai menepis jauh-jauh harapan itu. Rayhan tidak melontarkan kalimat-kalimat menyakitkan seperti dulu saja sudah cukup baginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rinai
Teen FictionSemesta turut bersedih mnyaksikan sosok bermata indah yg dengan pelan menapak bumi, sendu membalut langkah langkahnya. Seolah berjalan tanpa tujuan. Siapa yg tahu jika didalam hatinya tertanam amarah yg sulit untuk di luahkan. Rasa sakit se...