PROLOG

4.1K 116 8
                                    

Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Sunyi dan senyap menemani Brian dikala gelisah akan suatu hal ditemani cahaya rembulan yang mengintip dari balik kain tipis berwarna putih meski jendela itu selalu rapat tak terbuka sama sekali. Sosok lelaki berambut hitam legam itu tengah duduk dipinggir tempat tidur. Merenung dan gundah sambil menatap kedua telapak tangannya yang pucat. Sudah beberapa hari kesehatan tubuhnya menurun seiring harapan yang hendak putus.

"Apa sebaiknya aku kabur saja?"

Dia mulai bermonolog di tengah kesunyian. Berharap seseorang dapat menemani meski dirinya menolak keras. Tubuh itu rapuh tanpa memulai perjuangan. Tak lama kedua tangan Brian secara mendadak menunjukkan tanda bahaya lagi. Alarm tubuh yang selalu datang bersama rasa takut. Tangan itu gemetaran hebat dengan sesak nafas tak teratur. Itu semakin parah dan akan terus memburuk seiring berjalannya detik jam. Kedua mata Brian terbelalak saat melihat tangannya sendiri bergerak diluar kendalinya lagi dan lagi.

"Sebenarnya apa yang―

Perkataan Brian terpotong begitu saja ketika darah segar berwarna aneh mengalir lalu menetes di atas telapak tangannya sendiri. Dia pun dibuat syok oleh kondisi tubuhnya saat itu, meski seharusnya Brian sadar bahwa hal terburuk pasti akan segera terjadi. Darah yang biasanya berwarna putih keabuan kini berubah menjadi biru terang layaknya air laut Kimolos dari Yunani. Bila Brian melihatnya dari sisi lain, maka darah itu menunjukkan kilauan seperti glitter yang selalu menakutinya. Melihat hal itu dia semakin yakin, ada yang tidak beres dengan tubuhnya.

"Ada apa dengan diriku? Apa yang terjadi? Kenapa seperti ini?!"

Isi kepala Brian dipenuhi oleh banyak tanda tanya yang tak terbalaskan oleh logikanya. Dia butuh seseorang yang bisa membantu untuk menemukan jawaban itu. Dengan penuh tekad Brian berusaha meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas lalu menggerakkan jemarinya untuk menghubungi seseorang yang tak lain adalah orang terdekatnya. Brian menunggu beberapa menit dan saat panggilan itu mulai tersambung, dia langsung menggenggam erat ponselnya dengan tatapan penuh ketakutan.

"Hallo? Bri? Ada apa?"

Rasanya pita suara Brian tercekik oleh rasa takut. Dia tak mampu untuk mengeluarkan kata-kata agar seseorang yang sudah dia anggap sebagai saudara sendiri mau menolongnya. Resiko besar menggentayangi pikiran Brian, tetapi dia tak mau gejolak aneh dalam tubuhnya semakin menguasai ketakutannya. Brian tidak mau meninggalkan orang-orang yang sudah berusaha untuk mendukung dan berteman baik padanya. Selain itu, Brian sudah menganggap Bumi adalah rumah terbaik.

"Lo kenapa? Ada apa?"

"Tolong, Darius. Tubuh ini semakin tidak terkendali."

"Tunggu! Lo dimana sekarang?"

Tanpa sengaja handphone yang dia genggam remuk dan hancur jatuh ke atas lantai dingin. Kekuatan tak terkendali itu bisa merusak apa saja yang Brian sentuh. Dirinya semakin terpuruk dalam ketakutan dan membayangkan hal buruk itu kian membesar bahkan menghancurkan Mansion yang dia tempati dengan sekali sentuhan. Tak ada seorang pun bersama Brian untuk menemani juga mendukungnya. Apa yang harus dia lakukan dan bagaimana caranya agar dia terlepas dari situasi menakutkan itu? Tapi, dia ingin kabur kemana?

"Aku keluar dulu dari sini, urusan kemana nanti akan muncul dengan sendirinya."

Tanpa persiapan matang Brian hanya mengenakan jaket tebal dan masker hitam untuk menutupi identitas aslinya. Dia pun keluar dari kamar yang selalu mengurung kebebasannya dan langsung berlari dalam senyap menuju pintu keluar Mansion itu. Di sepanjang lorong Brian tak menemukan seorang pun penjaga, sehingga memudahkannya untuk kabur tanpa ketahuan.

Saat kakinya telah berdiri di atas tangga terakhir menuju lantai dilantai satu, lantai dimana ruangan kumpul dan dapur berada, dia melihat sosok pria tua tengah duduk di tengah ruang tamu dengan posisi membelakangi Brian. Pria itu tertunduk seolah tengah memikirkan sesuatu. Brian sangat tahu apa yang tengah dipikirkan oleh ayahnya dan merasa sangat bersalah telah menghancurkan keluarganya karena energi aneh yang bersarang di dalam tubuhnya. Sebenarnya itu bukan salah Brian, tetapi sepanjang hidup itu akan tetap dia anggap kesalahan terbesarnya. 

Keraguan Brian muncul ketika hendak meninggalkan pria itu, tetapi dia harus bertanggung jawab atas apa yang telah dia perbuat selama ini, meskipun kepergian Brian akan semakin membuat kondisi kekhawatiran ayahnya memburuk. Brian harus pergi kesuatu tempat yang sepi agar tidak melukai orang-orang disekitarnya untuk kedua kalinya.

"Maaf, tapi aku harus pergi."




[REVISI 2024]

The WastedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang