Bagian 01

158 13 0
                                    


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Vote, karena Allah Maha Melihat.

Happy Reading

_______

Dua hal yang bagiku adalah suatu yang tidak boleh hilang dari hati. Keimanan dan rasa cinta. Tentu, dengan iman aku akan selalu merasa bahwa Allah dekat denganku. Keberadaan rasa cinta sudah menjadi fitrah bagi manusia. Bagaimana bisa manusia mencintai penciptanya tanpa diselimuti iman? Bagaimana bisa manusia beriman, jika tidak memiliki keingintahuan dan rasa cinta pada dzat yang menciptakannya.

Begitu pun saat aku tau bagaimana Ayah dan Bunda berjuang membesarkanku. Aku sadar hati mereka diselimuti rasa cintanya padaku. Dan aku harus melakukan hal yang sama padanya. Berjuang mencari biaya untuk kesembuhan Bunda.

"Beasiswa kamu udah cair. Seharusnya kamu sudah bisa melakukan pelunasan SPP kamu semester ini, Qalbi," ujar penasihat akademikku. Beliau tidak tau kalau uang beasiswaku sudah aku pakai untuk biaya cuci darah rumah sakit Bunda.

"Iya, Bu. Saya akan lunasi pekan depan."

Ibu Yuli memijit pelipisnya yang nyeri. Sepertinya, pihak keuangan sudah menginformasikan pihak penasihat akademik untuk memberitahu mahasiswanya agar segera melakukan pelunasan.

"Segera, Qalbi. Kalau bisa, jangan menunggu pekan depan. Kamu ini gimana sih? Uang beasiswa sebanyak itu kamu pakai buat apa?"

Aku hanya diam. Aku paling anti membicarakan permasalahan pribadi pada orang lain, sekalipun itu adalah penasihat akademik.

"Kalau kamu gak lakukan pelunasan, kamu gak akan bisa ikut UAS. Nilai kamu juga gak akan keluar. Otomatis beasiswa kamu akan dicabut. Resikonya lebih besar. Saya harap kamu bisa pertimbangkan itu."

Tubuhku rasanya melemas. Harapan satu-satunya aku bisa lanjut kuliah adalah beasiswa. Kalau dicabut, aku sudah tidak bisa membayarnya. Jangankan membayar kuliah, membayar untuk Bunda cuci darah pasti aku sudah keteteran.

"Iya, Bu. Terima kasih."

Langkahku terhenti di depan food court kampus. Bahkan, untuk makan pun aku harus menahannya agar bisa menghemat. Aku selalu percaya setiap orang memiliki rejeki ditangannya. Selama manusia masih bernapas, masih ada rejeki yang belum sampai padanya. Aku hanya perlu bersabar menantinya.

Baru lima detik aku memikirkan tentang rejeki, Shaki datang menghampiriku dengan semangkuk salad buah segar ditangannya. Pria itu menyodorkannya tepat dihadapanku. Namun, dia tidak pernah melihat mataku secara gamblang. Kami tidak pernah melakukan eye contact setiap kali berinteraksi karena Shaki benar-benar pria yang menjaga pandangannya bukan hanya padaku. Melainkan pada semua perempuan yang ia temui.

"A-apa ini?" Aku bertanya dengan suara gugup. Setiap berhadapan dengan Shaki, aku selalu gugup.

"Buat kamu. Aku belinya kebanyakan. Makannya di kelas aja. Dosen juga udah mau masuk."

Aku melihat jam di handphoneku dan tersisa 5 menit untuk mengisi perut.

"Astaghfirullah," lirihku.

"Makasih yah. Nanti aku ganti," ucapku buru-buru menuju kelas.

"Gak usah diganti. Aku ikhlas."

"Gak. Nanti tetap aku ganti." Kalau gak aku ganti, nanti hati aku jadi gak aman karena kebaikan kamu sama aku. Aku hanya mengutarakannya pada diriku sendiri. Tidak akan pernah aku menjadi Khadijah jika aku sendiri belum pantas untuk menuju ke jenjang yang lebih serius.

QALBI [NEW VERSION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang